GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Rabu, 01 Mei 2013

MEMBERDAYAKAN SUAMI ISTRI MEREALISASIKAN DIRI SEBAGAI KELUARGA HARMONIS GKJW

Pengantar
Dalam kehidupan sehari-hari persoalan seputar perceraian bagi warga GKJW di Kabupaten Jember (mungkin juga secara umum) menjadi lebih kompleks, karena menyangkut beberapa aspek didalamnya: persoalan hukum, ekonomi, sosial, dan psikologis. Bagi beberapa orang perceraian merupakan satu-satunya jalan keluar atau penyelesaian, meskipun perceraian itu sendiri akan mendatangkan permasalahan baru bagi aktor yang terlibat didalamnya.
Semakin meningkatnya perceraian yang terjadi dalam kehidupan warga Jemaat GKJW  di Kabupaten Jember merupakan sebuah refleksi atau otokritik (self-criticism) Gereja, terutama atas program kegiatan pembangunan  yang ber-tema-kan Wujudkan keluarga Allah yang menjadi rahmat bagi semua orang, selama tahun 2005-2010. Tulisan ini bukan bermaksud mengevaluasi terlaksananya tema tersebut, tetapi berkaitan dengan tema “keluarga” dalam penelitian ini, penulis mencoba merefleksikan bagaimana pemberdayaan suami istri mampu merealisasikan diri sebagai keluarga Allah yang menjadi rahmat bagi semua orang? Sekaligus saran bagi Gereja secara umum dan GKJW secara khusus menanggapi persoalan keluarga yang timbul di tengah pelayanan Gereja.

 Hubungan Suami Istri Jati Diri GKJW
Sebutan keluarga harmonis GKJW adalah sinonim dari keluarga Allah, yang secara tidak langsung menunjuk pada jati diri Greja Kristen Jawi Wetan.[1] Keluarga, berawal dari hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan menjadi lambang yang hidup dan penampilan misteri GKJW dan ikut berperan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.[2] Hubungan suami istri atau keluarga adalah perwujudan dari kehadiran Gereja, GKJW. Dengan demikian, suami istri dan kemudian anak yang terikat dalam keluarga menjadi jalan bagi GKJW dan Gereja secara umum dalam menghadirkan dirinya di dunia.
Gagasan memberdayakan hubungan suami istri merealisasikan diri sebagai keluarga harmonis GKJW, terinspirasi dari kenyataan semakin meningkatnya perceraian warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember. Kondisi suami istri dan keluarga, serta sosial-masyarakat seperti itu paling tidak juga berpengaruh terhadap kondisi Gereja dimana mereka bergereja. Meskipun penelitian korelasi keduanya di GKJW Jember belum pernah dilakukan.[3]
Hubungan cinta kasih seorang laki-laki dan perempuan dalam keluarga memiliki keunikan yang “terekspresikan dalam dan melalui keberadaan dan perbuatannya, intelektualitas dan keinginanya, kesadaran dan hatinya”[4] masuk dalam persatuan satu dengan lainnya membentuk satu komunitas melalui perkawinan, terutama komunitas keluarga. Keluarga adalah jalan pertama dan sasaran utama bagi Gereja dalam memenuhi tugas pelayanannya.
Bagi penulis, amat berarti memahami hubungan suami istri sebagaimana memahami hubungan antar anggota dalam sebuah Gereja, seperti yang diamanatkan oleh PKP IV GKJW, bahwa yang dimaksud “keluarga Allah”[5] adalah jati diri GKJW. Tidak terlalu berlebihan, ketika penulis membuat sinonim keluarga sebagai Gereja atau “Gereja mini”. Keluarga warga GKJW adalah jati diri GKJW. Meskipun ada banyak cara yang berbeda dan saling melengkapi untuk memahami arti Gereja, tetapi secara umum mengandung dimensi kesatuan (union), persekutuan (koinonia), cinta kasih (diakonia) dan komunitas sebagaimana dimensi kehidupan suami istri dalam keluarga.[6] Dan sebagai upaya merealisasikan hubungan suami istri menjadi jati diri GKJW, keluarga harus terlibat secara aktif dalam apa yang disebut oleh GKJW sebagai pancalogi pelayanan, yaitu: teologi, persekutuan, kesaksian, cinta kasih dan penatalayanan.[7]

Teologi Perkawinan GKJW
Dalam diskusi kecil dengan mantan ketua dan sekretaris umum Majelis Agung GKJW[8] mengatakan, GKJW belum memiliki rumusan atau ajaran tentang perkawinan yang secara menyeluruh memberikan pedoman bagi majelis[9] gereja untuk melaksanakan pendampingan keluarga, baik yang berhubungan dengan pra-perkawinan maupun pasca-perkawinan. Sementara yang menjadi acuan GKJW adalah Pranata tentang Perkawinan[10] yang memuat 17 pasal tentangnya, dan buku katekisasi perkawinan, yang baru terbit lebih kurang lima tahun-an yang lalu,[11] sehingga proses pendampingan dan pemberdayaan suami istri dalam mewujudkan jati diri GKJW mengalami kesulitan bahan-bahan referensi atau buku ajar[12] sebagaimana yang dimaksud oleh GKJW sendiri. Dapat dipastikan, secara praktis pendampingan keluarga juga mengalami kendala, sehingga pelayanan yang bersifat integrasi dan sinergis antar komisi dan lembaga sulit untuk dilaksanakan.
Jikalau kita memperhatikan pemahaman warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember tentang perkawinan, mereka meyakini sebagaimana ajaran dan doktrin yang diterima selama proses katekisasi pra-nikah, bahwa perkawinan mereka bukan hanya buah usaha manusia, melainkan mengandung dimensi illahi. “Perkawinan adalah pranata Tuhan Allah”. Pemahaman yang sama seperti itu disampaikan juga dalam liturgi pemberkatan perkawinan, yang menuntut calon mempelai menjawab pertanyaan Pendeta dengan jawaban, “Ya, saya percaya, pasangan saya adalah jodoh pemberian Tuhan sebagai mitra yang sepadan.” Permasalahanya, bukan sekedar doktrinasi “perkawinan adalah pranata Tuhan Allah atau karya manusia”, tetapi bagaimana melibatkan suami istri dan keluarga merasakan misteri karya keselamatan Allah yang diperuntukan bagi ciptaanNya, termasuk dirinya. Dalam bahasa sosiologi, terutama teori pertukaran, bagaimana pasangan suami istri menghayati keunikan pertukaran dalam hubungan dyadic yang dibangun atas dasar cinta kasih.
Memang tidak mudah  membangun wacana dan pemikiran teologi yang menyeluruh tentang perkawinan, yang kemudian dapat disebut teologi perkawinan GKJW, tetapi paling tidak penulis merefleksikan masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan warga GKJW di Kabupaten Jember  dalam kaitannya dengan mengaktualisasikan hubungan suami istri sebagai jati diri GKJW. Tentunya, diharapkan ini menjadi ransangan untuk dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan teologi perkawinan GKJW dalam bentuk yang lebih konkrit. Penulis sependapat dengan Maurice Eminyan[13] yang mengembangkan empat dimensi persatuan pasangan suami istri yang diekspresikan dalam ritus perkawinan Gereja Ortodoks. Empat dimensi yang kemudian disebut “teologi perkawinan dan keluarga” adalah a). Dimensi diakronis (sejarah) pasangan; b). Keselamatan sebagai persekutuan dengan Allah; c). Aspek relasi antar pribadi, dan; d). Keterbukaan pasangan suami istri terhadap anak-anak dan dunia.
Pertama, dimensi dakronis (sejarah) maksudnya, pasangan suami istri yang menikah diingatkan kembali pada peristiwa penciptaan pasangan manusia pertama. Mereka dipersatukan dengan pasangan-pasangan suami istri yang lain dalam sejarah Gereja, dan dipanggil untuk hidup sebagai pasangan dengan mengubah diri menjadi “ciptaan baru”, yang pantas memasuki Kerajaan Allah. Dengan cara yang demikian pasangan suami istri dapat hidup lestari dalam ruang dan waktu yang nyata.
Kedua, dimensi ini termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan keselamatan dan kekekalan hubungan suami istri sebagai pasangan pertukaran, serta anak-cucu dan keturunan mereka dalam persekutuan melalui jalan ketaatan kepada perintah-perintah Allah.
Ketiga, berkenaan dengan hubungan pribadi antara suami dan istri, dan juga relasi mereka dengan anak-anak di kemudian hari. Relasi ini dimengerti sebagai persatuan, cinta kasih, damai dan kesejahteraan baik spiritual maupun fisik. Hubungan suami istri baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik membangun relasi-relasi yang demikian itu.
Terakhir, adalah keterbukaan hubungan suami istri terhadap orang lain. Suami istri harus membuka diri terhadap kemungkinan mempunyai anak dan atau sebaliknya, dan pada saat yang sama terbuka terhadap hubungan yang lebih luas terhadap orang bahkan kelompok agama lain.
Perlu juga penulis sampaikan, berkaitan dengan hasil penelitian, bahwa faktor perbedaan latar belakang agama juga menjadi persoalan tersendiri dalam keluarga, baik persoalan keyakinan maupun dalam hal-hal praktis yang bersifat liturgis.[14] Mengingat kondisi masyarakat yang plural, tidak menutup kemungkinan terjadi perkawinan antara laki-laki perempuan yang menikah dengan melakukan konversi agama oleh salah satu pasangan dan atau menikah dengan tetap mempertahankan keyakinan masing-masing.[15] Memperhatikan kemungkinan (atau kenyataan) yang demikian penulis merasa bagi GKJW di Kabupaten Jember dan tentunya GKJW secara sinodal sangat penting dikembangkan pemahaman teologi perkawinan yang inklusif, terbuka untuk mereka yang berbeda keyakinan.

Suami Istri sebagai Persekutuan
Berkaitan dengan pemahaman teologi diatas, tentunya GKJW perlu mengembangkan pemahaman persekutuan atau koinonia perkawinan yang bersifat inklusif. Persekutuan yang inklusif atau terbuka diantara suami istri sebagai pribadi yang berbeda dan perlu mengintegrasikan pertukaran diantara mereka secara terus-menerus pertukaran yang dilakukan. Terbuka sebagai pribadi yang berasal dari latar belakang yang berbeda: keluarga, pendidikan, lingkungan, suku, bahasa, dan juga agama.
Dalam liturgi perkawinan GKJW, pasangan suami istri mengungkapkan perjanjian timbal balik diantara mereka, “Dalam nama Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus, saya (mempelai) mengambil (pasangan mempelai) sebagai suami/istri untuk seumur hidupku. Dan saya berjanji akan mencintai, baik dalam suka dan duka.”[16] Janji perkawinan ini juga dapat diucapkan dengan cara yang berbeda, model pertanyaan yang disampaikan oleh pendeta, “Mempelai yang berbahagia, apakah saudara berjanji akan saling mengasihi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suka maupun duka, dalam kegagalan maupun keberhasilan, dalam keadaan sehat atau sakit dan selalu saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari selaku suami istri yang telah dipersekutukan oleh Tuhan? Bagaimana jawab saudara, apakah berjanji?”[17] Selanjutnya, kedua mempelai akan menjawab secara bersama-sama, “Iya, saya berjanji”. Kata-kata khidmat seperti ini semestinya mendapat perhatian dan tekanan, bukan sekedar liturgi pemberkatan perkawinan yang terbatas hanya di gedung gereja saja. Dalam liturgi perkawinan tersebut tercermin bahwa suami istri atau keluarga adalah persekutuan pribadi-pribadi yang diikat oleh cinta kasih, melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. [18] Cinta kasih suami istri seperti halnya keunikan hubungan pertukaran dalam kelompok dyadic adalah kekuatan utama dalam keluarga, karena tanpa cinta kasih suami istri dan tentunya keluarga, tidak akan mengalami dan merasakan kerukunan dalam berhubungan dan tidak dapat menyempurnakan hubungan itu sendiri.
Jikalau kita memperhatikam dengan seksama, “kalimat” janji perkawinan di atas memiliki persamaan dengan kata-kata Yesus dalam peristiwa perjamuan: “Ambilah, inilah Tubuh-Ku.”[19] Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya, seluruh pribadi-Nya kepada manusia,[20] karena cinta kasih-Nya dan untuk selama-lamanya. Demikian juga yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dalam perkawinan, ketika mereka saling memberi dan menerima, karena cinta kasihnya dan untuk selama-lamanya.[21] Dari sini, dapat dikatakan suami istri “mempunyai tugas yang utama, yakni menghayati dirinya sebagai persekutuan hidup yang dilandasi cinta kasih dan berusaha terus-menerus untuk  mengembangkan hidup rukun antar anggotanya.[22]

Suami Istri sebagai Diakonia
Cinta kasih perkawinan diarahkan pada kedalaman dan kekayaan persatuan yang mesra, itulah realitas spiritual dan hubungan dyadic yang unik dan mendalam untuk memperkukuh persekutuan hidup pasangan suami istri.
Semangat pelayanan cinta kasih dalam keluarga hendaklah dilakukan pertama-tama di antara pasangan suami istri sendiri, melalui kepatuhan atau ketundukan penuh kasih satu kepada yang lain dalam keunikan hubungan yang tidak dimiliki oleh kelompok sosial yang lain. Melalui kesiapsiagaan untuk menyenangkan dan mendukung, membantu dan mendorong, saling memberikan diri mereka sendiri, take and give diantara suami istri dalam pengertian baik penghargaan intrinsik maupun ekstrinsik. Suami istri sebagai pasangan pertukaran saling memberikan diri, bahkan jikalau diperlukan mengorbankan diri bagi pasangannya, tanpa harus memperhitungkan berapa cost yang dibutuhkan untuk mendapatkan reward cinta kasih.
Seperti halnya prinsip pertukaran sosial, adalah sebuah proses “memberi” supaya pada akhirnya “diberi. Diakonia suami istri pun perlu dibangun dan dijiwai semangat mengamalkan cinta kasih dan semangat melayani (= memberi) yang lain, terutama pasangan sebagai pribadi melalui pengabdiannya kepada sesama. Selanjutnya, pelayanan penuh cinta kasih suami istri tidak boleh tinggal berada dalam batas-batas hubungan itu sendiri, keluarga, tetapi juga dibawa ke luar rumah serta diperluas kepada setiap orang yang membutuhkannya.

Suami Istri sebagai Wujud Kesaksian
Perkembangan dan kemajuan zaman modern, selain menghasilkan buah kebaikan, yakni peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan hidup masyarakat, juga memunculkan berbagai permasalahan yang dapat mengganggu kehidupan keluarga.[23] Semakin meningkatnya permasalahan keluarga yang berakhir dengan ketetapan pengadilan, putusnya hubungan suami istri atau bercerai di Jemaat-Jemaat GKJW se-Kabupaten Jember, mengingatkan keluarga, bahwa tidak sedikit kesulitan, konflik dan permasalahan berat yang dihadapi keluarga. Bahkan tidak jarang kedewasaan iman dan keyakinan perihal perkawinan dan keutuhan rumah tangga juga terguncang oleh terpaan beban berat keluarga di zaman modern.[24]
Dalam situasi seperti, setiap keluarga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember dituntut untuk berani memberikan kesaksian iman dan kesetiaanya dalam hubungan perkawinan yang telah mereka sepakati. Ada norma dan nilai-nilai khusus (particularistic value) dalam hubungan pertukaran suami istri yang harus tetap dan terus dipelihara sebagai konsekuensi dari janji perkawinan mereka. Memelihara kesetiaan dan janji atau komitmen perkawinan dengan tetap berbagi penghargaan entrinksik dan ekstrinsik di tengah semakin meningkatnya permasalahan keluarga dan perceraian adalah wujud kesaksian hidup.

Suami Istri sebagai Penatalayanan
Penatalayanan yang dimaksud dalam poin ini mengacu pada Pranata GKJW adalah kegiatan “mengusahakan dan mengelola secara bertanggung jawab segala daya, dana dan sarana pemberian Tuhan Allah dalam rangka memenuhi panggilanNya”,[25] sebagai suami istri. Menunjuk pada kata “daya”, “dana”, dan “sarana” mengandung arti bahwa pasangan suami istri memiliki kekayaan untuk semakin mengintegrasikan ikatan perkawinannya yang sudah ada, baik kekayaan yang bersumber dari hubungan itu sendiri yang bersifat intrinsik maupun kekuatan  dari luar yang bersifat ekstrinsik.
Kemampuan suami istri dan keluarga mengelola, menatalayani daya, dana dan sarana yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik ini akan sangat berpengaruh terhadap terintegrasinya hubungan suami istri dalam keluarga terputusnya hubungan suami istri. Bagi keluarga yang memiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya, maka mereka akan mengalami kesulitan untuk memupuk menyatunya (union) hubungan suami istri. Sebaliknya bagi mereka yang sadar akan tanggung jawab “mengusahakan dan mengelola” sumber daya yang dimiliki, sudah dapat dipastikan hubungan suami istri semakin intim, dan semakin sulit pihak lain untuk terlibat dalam hubungan mereka.[26]

Permasalahan Keluarga Akankah Pernah Selesai?
Ketika pribadi-pribadi, baik perempuan maupun laki-laki hendak menikah, mereka menaruh harapan yang besar terhadap perkawinan sebagai jalan menuju kesejahteraan hidup berumah tangga dan berkeluarga.[27] Namun, menuju aktualisasi hubungan suami istri dan keluarga GKJW yang harmonis seringkali terhambat oleh masalah-masalah yang muncul, baik disebabkan oleh hubungan itu sendiri maupun oleh pihak luar.[28] Persoalan yang hampir selalu melilit keluarga GKJW di Kabupaten Jember, mungkin juga terjadi pada keluarga secara umum, sehingga membuat suami dan atau istri sebagai leader tidak berdaya adalah masalah relasi dan hal-hal praktis, seperti ekonomi, sosial dan kebiasaan. Persoalan keuangan keluarga,[29] pekerjaan suami (dan istri), relasi suami istri, relasi suami istri dengan orang lain dalam masyarakat seolah tidak pernah selesai, sehingga membuat suami istri hanya berkutat pada persoalan-persoalan semacam ini. Persoalan hubungan suami istri akan tetap ada, selama lembaga perkawinan masih ada. Karena kesulitan keluar dari “rutinitas” persoalan keluarga yang demikian, maka suami istri juga terkendala dalam memperjuangkan aktualisasi diri mewujudkan keluarga GKJW yang menjadi rahmat bagi semua orang.
Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukan, bahwa masalah relasi dan hal-hal praktis seringkali dijadikan alasan sebagai penyebab permasalahan rumah tangga, bahkan putusnya hubungan suami istri atau perceraian. Persoalnya sekarang, jikalau keluarga-keluarga GKJW di Kabupaten Jember dan Jawa Timur  secara umum masih “terbelenggu” lilitan persoalan keluarga, maka akan mengalami kesulitan mewujudknan keluarga Allah yang menjadi rahmat bagi semua orang. Untuk menghadirkan kesejahteraan keluarga yang dimaksud, diperlukan upaya yang sistematis dan sinergis. Salah satunya mempersiapkan tim pendamping pelayanan pastoral keluarga dalam pengertian pelayanan keluarga inklusi, sehingga diharapkan menguatkan, menyehatkan, dan memperkokoh hubungan suami istri dalam keluarga,[30] hingga mereka dapat merealisasikan diri sebagai jati diri GKJW, keluarga harmonis yang menjadi berkat bagi sesama.

Tim Pendamping Pastoral Keluarga Perlu Dipersiapkan
Seperti diungkapkan dalam pengantar diatas, permasalahan keluarga dan semakin meningkatnya perceraian warga Jemaat-Jemaat GKJW di Kabupaten Jember merupakan permasalahan yang kompleks. Kasus-kasus perceraian yang terjadi tidaklah sederhana, sehingga dapat disimpulkan dengan “masalah komunikasi”, “konflik rumah tangga”, “adanya perselingkuhan”, “perbedaan latar belakang agama” atau sejenisnya. Persoalan tanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi dan keuangan keluarga misalnya, bukanlah persolan yang berdiri sendiri dan harus diselesaikan secara “parsial”, tetapi besar kemungkinan permasalahan tersebut jalin menjalin dan terajut menjadi satu dengan permasalahan yang lain. Konflik rumah tangga yang tidak kunjung terselesaikan, sangat dimungkinkan ada kaitannya dengan faktor komunikasi keluarga yang terjadi selama ini; komunikasi “macet” dapat dimungkinkan karena beban perasaan atau psikologi: adanya tekanan orang tua suami istri atau bahkan tekanan lingkungan-sosial secara tidak langsung.[31] Karenanya, pendampingan keluarga, hubungan suami istri supaya dapat berdaya dalam mengatasi persoalan yang menghambat dan menghalangi aktualisasi diri menjadi keluarga harmonis GKJW atau mendampingi hubungan suami istri merealisasikan jati diri GKJW bukanlah persoalan mudah.
Pengalaman yang dialami oleh pribadi-pribadi dan keluarga warga GKJW yang mengalami perceraian di Kabupaten Jember, merasakan tidak adanya pelayan atau tim pendamping keluarga yang “mempunyai hati” untuk mendampingi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan atau bahkan masukan yang dibutuhkan, ketika mereka sedang menempuh jalur hukum untuk  mengatasi permasalahan keluarga.  Dalam konteks perceraian-pendampingan warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember, bahwa Pelayan Jemaat[32] kurang memiliki sense atau kurang kesiapsediaannya untuk terlibat sungguh-sungguh dalam pelayanan pastoral keluarga. Pelayan Jemaat dengan mudahnya menyerahkan begitu saja tanggung jawab pendampingan keluarga kepada petugas yang ditunjuk. Misal, “Ya, urus saja ke pengadilan”.
Keluarga-keluarga membutuhkan tim pendamping yang “mempunyai hati” dan “pandai-terampil” dalam pendampingan. Tim pendamping yang “mempunyai hati” pada pastoral keluarga adalah Pendeta Jemaat yang pertama-tama memiliki kesadaran akan kepentingan masalah-masalah keluarga dan menggutamakan kepentingan keluarga (preferential option for family).[33] Bagi penulis, persoalan keluarga, apapun namanya tidak boleh dianggap remeh, karena kehancuran keluarga dalam rumah tangga akan membawa dampak yang sangat besar bagi keberadaan Gereja dan perjalanan pelayanannya.
Dalam konteks Jemaat-Jemaat GKJW di wilayah administrasi Kabupaten Jember, dan mengingat masih terbatasnya referensi-referensi tentang pemahaman perkawinan yang lengkap yang diterbitkan MA GKJW, penulis berpendapat perlu dipersiapkan tim pendaping pastoral keluarga. Pendamping keluarga, yang memperlengkapi diri dengan “kepandaian dan ketrampilan” mendampingi keluarga. Tim pendamping dengan bekal ilmu teologi, sipritual, sosial, hukum dan pastoral yang diperolehnya harus mampu menganalisa mengapa dan bagaimana persoalan hubungan suami istri mempengaruhi stabilitas kehidupan keluarga, sehingga ia dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada keluarga yang bersangkutan.
Secara umum, diharapkan tim pendamping pastoral keluarga ini menjadi rujukan bagi keluarga-keluarga GKJW yang mengalami dan membutuhkan pendampingan yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapi. Sehingga dapat dipastikan mereka mendapatkan pendampingan yang optimal, dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan etis yang bertanggung jawab.

Kesimpulan
Suami istri merupakan hubungan antar pribadi, didalamnya mengandung dimensi kesatuan (union), persekutuan (koinonia), dan cinta kasih (diakonia), sebagaimana dimensi Gereja secara umum. Untuk dapat mengaktualisasikan hubungan suami istri dalam ikatan kesatuan, persekutuan dan cinta kasih sebagai jati diri Gereja sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengelola dan mengusahakan sumber daya intrinsik dan ekstrinsik yang dimilikinya.
Harapanya, bagi keluarga dan tentunya suami istri mampu mengelola dan mengusahakan sumber daya yang dimiliki untuk semakin mengintegrasikan hubungan perkawinan yang sudah dijalani, tetapi jikalau terjadi kendala dalam meraih tujuan tersebut, dibutuhkan adanya tim pendamping pastoral keluarga yang akan membimbing, menguatkan, dan memperkokoh hubungan suami istri. Dengan kata lain, rekomendasi yang perlu diperhatikan GKJW dan Gereja secara umum untuk menghadapi persoalan keluarga seperti yang dihasilkan dalam penelitian adalah:
1.        Perlunya teologi perkawinan yang khas pergumulan GKJW.
Teologi dalam perkawinan bagi penulis adalah sesuatu yang vital dan mutlak harus ada, sebagai dasar pijakan atas pelayanan perkawinan dan termasuk didalamnya sebagai “pranata” mengurai persoalan-persoalan keluarga yang muncul di kemudian hari. Teologi perkawinan yang dibutuhkan adalah sebuah teologi mampu menerangi setiap persoalan-persoalan keluarga yang muncul, baik pra-perkawinan (misal: rencana perkawinan beda agama) maupun pasca perkawinan, seperti persoalan perceraian suami istri.
 2.        Perlunya dipersiapkan tim pendamping pelayanan keluarga.
Dari hasil penelitian ini penulis memberi kesimpulan meningkatnya perceraian warga GKJW yang terjadi di Kabupaten, salah satunya adalah tidak adanya tim pendamping pelayanan keluarga dengan kemampuan dan ketrampilan (skill) memadai yang mempunyai “hati”, yang menyediakan diri untuk melayani dan mendampingi setiap keluarga-keluarga yang membutuhkan pendampingan. Penulis berharap tim pendamping ini dapat segera dipersiapkan dengan baik.
3.        Pelayanan keluarga inklusi.
Mengingat ragam dan kompleksnya persoalan keluarga, maka penulis menyusun rumusan pelayanan keluarga inklusi adalah sebuah pelayanan dengan metode dan materi khusus untuk keluarga-keluarga yang memiliki kelebihan di bidang lain, tetapi tertinggal dengan yang lain di bidang yang lainnya. Misal: suami atau istri dalam sebuah rumah tangga yang aktif dalam kegiatan dan pelayanan gerejawi (kognitif dan motorik), tetapi secara ekonomi ia kurang beruntung. Artinya, pelayanan keluarga perlu memperhatikan siatuasi dan kondisinya (context), dan bersifat kasuistik.
Sedangkan bagi kepentingan pengembangan pemahaman dan pelayanan terhadap keluarga, baik oleh GKJW secara khusus, maupun oleh lembaga pendidikan perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang topik-topik yang berkaitan dengan persoalan keluarga, misal hubungan perceraian dengan tradisi atau culture, psikologi perkawinan dan perceraian, hubungan perceraian dengan perekonomian keluarga dan lain sebagainya. Semoga.


[1] Tema PKP dijabarkan menjadi dua subtema. Subtema pertama (tahun 2005-2007) adalah “Keluarga harmonis GKJW berbagi kasih dengan sesama” dan subtema kedua (tahun 2008-2010), “Keluarga harmonis GKJW berbela rasa dengan sesama”.
Dan penjelasan tema tersebut adalah sebagai berikut wujudkan merupakan perintah, namun bukan dilakukan atas kewajiban tetapi kesadaran sebagaimana firman Tuhan Yesus: “Sebagaimana Bapa mengutus Aku, maka Aku mengutus kamu.” (Yoh. 20:21). Keluarga Allah adalah istilah yang dipakai untuk menyebut diri keluarga besar GKJW (Efs. 2:19) dan keluarga Kristen (Maz. 128:1-6). Menjadi Rahmat adalah bagian tujuan dibentuknya keluarga (yang berawal dari perkawinan) oleh Tuhan.... Keluarga besar GKJW dipanggil ikut melaksanakan rencana karya-Nya di dunia ini.... Atas pemberlakuan kasih, kebenaran, keadilan dan damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara. Di sinilah yang dimaksud dengan istilah menjadi rahmat. Bagi Semua Orang adalah tanpa dibatasi oleh perbedaan. Artinya bahwa rahmat itu diberikan kepada siapapun dan apapun, tanpa harus membedakan agama, suku, golongan, status sosial dsb.
Tema pelayanan ini diangkat berdasarkan diskusi bahwa, “1). Keluarga Kristen sebagai bagian keluarga Allah merupakan bagian penting dalam pendidikan dan  pengembangan serta penghayatan iman; 2). Keluarga Kristen adalah saluran berkat/rahmat Allah kepada semua orang; 3). Tiga pokok (trisus – persekutuan, kesaksian dan cinta kasih – penulis) masih sangat penting dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara setidak-tidaknya sampai enam tahun mendatang (2005 – 2010 – penulis); 4). Oleh karena itu fungsi keluarga Kristen sebagaimana tersebut diatas perlu makin diwujudkan dan ditingkatkan. (Akta dan Catatan Sidang Majelis Agung GKJW ke 92/2002. Artikel 62: Tema dan Subtema PKP IV tahun 2005 – 2010, 31 – 32).
[2] Tata Gereja GKJW bab II pasal 4 menyatakan, “Greja Kristen Jawi Wetan dipanggil oleh Tuhan Allah untuk ikut serta melaksanakan karyaNya di dunia ini” (pasal 1) dan “Greja Kristen Jawi Wetan dipanggil oleh Tuhan Allah untuk juga bertanggung jawab atas pemberlakuan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara” (pasal 2). Tata dan Pranata GKJW, 5.
[3] Meminjam istilah Maurice Eminyan, Keluarga adalah sel utama dan sangat vital bagi masyarakat dan Gereja. Tidak mungkin masyarakat, demikian juga Gereja akan sehat tanpa keluarga yang sehat pula. Eminyan,  Teologi Keluarga. 8.
[4] B.R. Agung Prihartana MSF., Pastoral Keluarga dalam Al. Bagus Irawan MSF (ed.),  Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011. 242; Ini juga yang dimaksud dalam teori pertukaran, hubungan dyad, dalam hal ini hubungan suami istri merupakan pertukaran yang unik, dimana pihak lain tidak dapat terlibat dalam pertukaran tersebut.
[5] Gereja berasal dari bahasa Yunani kyriake oikia yang berarti keluarga Allah.
[6] Eminyan,  Teologi Keluarga,  207-208.
[7] GKJW, Program Kegiatan Pembangunan IV. Malang: Sinode GKJW, 2004,  1.
[8] Wawancara dengan mantan Ketua MA GKJW, Bambang Ruseno dan Sekretaris Umum Drijandi Sigilipu, 4 November 2012. Dikatakan, yang ada hanya berupa artikel-artikel yang digunakan untuk pembinaan-pembinaan keluarga dalam konteks lokal Jemaat. Selebihnya, belum ada.
[9] Pendeta, Penatua, Diaken dan Guru Injil.
[10] Pranata tentang Perkawinan memang memberikan penjelasan, bahwa “perkawinan adalah pranata Tuhan Allah”, maksudnya “Tuhan Allah sendiri yang menata, memprakarsai, mengijinkan dan menuntun adanya perkawinan itu (Kej. 1:28; 2:18-24; Mat. 19:4-6). Meskipun demikian, dalam pemilihan jodoh warga yang bersangkutan berperan secara aktif, sebab perkawinan tersebut berupa ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri (memori penjelasan bab 1 pasal 1 ayat a). Tetapi di tempat yang sama, bagian umum, dikatakan, "Pranata tentang Perkawinan ini disusun dengan mengacu antara lain kepada Tata Pranata GKJW yang lama (1982), Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Tata dan Pranata GKJW. 176
Catatan: Pranata yang lama yang dimaksud, juga mengacu pada Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.
[11] Buku ini memuat “perkawinan menurut Pranata GKJW” pada halaman 14-24 dengan uraian yang sangat singkat. Sebagian besar halaman dalam topik yang sama, diisi oleh penjelasan penafsiran terhadap ayat-ayat Alkitab Kej. 1:27-29; 2:18-24; Mat. 19:1-12; 1 Kor. 7:1-16; 39-40 dan beberapa ayat yang berhubungan dengan cinta kasih perkawinan.
[12] Bahan katekisasi yang dimaksud GKJW adalah “yang diajarkan di dalam katekisasi yaitu firman Tuhan Allah yang termuat di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan pokok-pokok pengajaran yang berlaku di Greja Kristen Jawi Wetan” (pasal 5, Pranata tentang Katekisasi). Dijelaskan dalam memori penjelasannya, “yang dimaksud dengan pokok-pokok pengajaran yang berlaku di GKJW adalah kaidah-kaidah, dan ajaran yang dianut GKJW seperti umpamanya Tata dan Pranta, sejarah GKJW dsb.” Sedangkan mengenai bahan ajar, “Majelis Agung menyediakan bahan katekisasi itu sesuai dengan macamnya sebagai pegangan pokok” (pasal 6). Untuk memperkaya pengetahuan “guru” dan “murid” diperbolehkan menggunakan buku-buku bacaan lain. GKJW, Tata dan Pranata GKJW. 146-147, 150.
[13] Eminyan,  Teologi Keluarga,  227-229.
[14] Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga yang berasal dari perbedaan keyakinan agama, secara praktis dalam hal-hal yang bersifat liturgis (sepertinya) mereka dapat menerimanya dengan baik, tetapi sebenarnya persoalan keyakinan tidak seperti itu. Misal, istri “kedua” responden A, karena menikah dengan A ia memeluk agama Kristen. Selama hampir tiga tahun, ia baru memutuskan untuk menerima tanda baptis dan sangat kelihatan bahwa ia merasa berat untuk meninggalkan keyakinan pertamanya.
[15] Tata Gereja GKJ, pasal 49 tentang Peneguhan Pernikahan dan Pemberkatan Perkawinan Gerejawi, pasal 7 menyebutkan: Bagi  mempelai yang salah satunya bukan warga gereja, berlaku ketentuan tambahan, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis bahwa:
a.     Ia setuju bahwa pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati di GKJ.
b.     Ia memberi kebebasan kepada suami/istrinya untuk tetap hidup dan beribadat di GKJ.
c.     Ia setuju keluarganya dididik secara kristiani.
d.     Ia memberi kebebasan bagi anak-anak mereka apabila atas keinginannya akan bergereja di GKJ.
[16] GKJW, Tata Ibadah (cet. II). Malang: MA GKJW, 2001,  59-60.
[17] GKJW, Tata Ibadah,  53.
[18] Prihartana, Pastoral Keluarga, 243; GKJW, Lebih dari Permata (bahan ajar katekisasi perkawinan). 23.
[19] Markus 14:22.
[20] Alkitab seringkali menerangkan bahwa Yesus digambarkan sebagai mempelai laki-laki sedangkan Gereja sebagai mempelai perempuan. Band. Yoh. 3:29.
[21] Eminyan,  Teologi Keluarga,  232-233.
[22] Prihartana, Pastoral Keluarga,  244.
[23] Prihartana, Pastoral Keluarga,  246.
[24] Disatu sisi responden percaya bahwa perkawinan dalam kekristenan itu terjadi sekali sepanjang hidup, tidak boleh bercerai, tetapi ketika terjadi permasalahan yang seolah-olah tidak dapat diselesaikan dengan tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga, mereka memilih bercerai dengan alasan, “mungkin ini kehendak Tuhan.”
[25] Pranata GKJW. Tata Gereja, bab 4 pasal 6 ayat 6. 6; Pranata tentang kegiatan pelayanan di bidang penatalayanan, bab 1 pasal 1. 292
[26] Yang dimaksud pihak lain adalah kemungkinan adanya PIL atau WIL atau bahkan orang tua dan saudara terlibat dalam hubungan suami istri untuk dapat merenggangkan ikatan perkawinan mereka semakin kecil.
[27] Baca Motivasi Perkawinan dan Pemahaman Perceraian.
[28] Baca Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di GKJW se-Kabupaten Jember.
[29] Bambang Ruseno, mengatakan keluarga adalah lembaga yang paling parah mendapatkan gempuran di zaman globalisasi dan modern ini. Utomo, Keluarga Tumbuh Bersama,  3.
[30] Band. Utomo, Keluarga Tumbuh Bersama,  3.
[31] Misal, ketika pergi ke Gereja, suami atau istri selalu berangkat sendirian. Dari rumah mungkin sudah terbeban karena tidak dapat ke Gereja bersama-sama, sesampai di Gereja selalu ditanyai pendeta Jemaat “Mana pasangannya?” Atau “Sendirian?”. Ungkapan-ungkapan semacam ini secara tidak langsung menjadi beban psikologis dalam hubungan suami istri, yang secara tidak langsung berdampak pada relasi suami istri selanjutnya.
[32] Yang dimaksud adalah Pendeta Jemaat, Penatua, Diaken (dan Guru Injil – kalau ada).
[33] Prihartana, Pastoral Keluarga,  251.

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...