GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Kamis, 20 September 2018

SLAMETAN DAN GEREJA: Sebuah Tinjauan Kritis Terhadap Prilaku Slametan Jemaat Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Pedesaan

Oleh: Pdt. Imanuel Teguh Harisantoso, M.Si

Pdt. Imanuel Memimpin doa di sawah
Banyak orang berpendapat, sekarang sudah memasuki era-postmodern. Sebuah era yang jauh meninggalkan tahap-tahap pemikiran seperti yang diungkapkan Auguste Comte sebagai the primitive theological stage dan the trancient metaphisical stage, (and the final positive stage), yang “berbau” primitif, tradisional, budaya dan simbol-simbol merupakan sesuatu yang sudah ketinggalan zaman dan tidak patut untuk dipertahankan, apalagi dilestarikan. Berbeda  dengan Sarwodadi N. Nagoro[1] yang mengatakan, perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi, termasuk didalamnya kebudayaan dari luar sudah demikian gencar masuk ke bumi Nusantara, sehingga mempengaruhi cara pandang dan pola pikir para generasi muda penerus bangsa dalam memahami dan memaknai arti pentingnnya kebudayaan sendiri, padahal warisan budaya leluhur yang adi luhung sarat dengan hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana kita menjalani hidup dan kehidupan ini dengan baik, benar dan berhasil menurut adat dan tradisi sendiri yang sifatnya sangat universal dan luwes, serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi zaman apapun.[2]
Persiapan Kenduren
Sampai dengan hari ini saya berani mengatakan, bahwa generasi orang Jawa dalam rentang usia 1 – 50 tahun, terutama yang tinggal dan hidup di kota-kota besar banyak yang tidak memahami budayanya sendiri. Pola pikir, pola hidup, kebiasaan dan tradisi Jawa yang kaya akan falsafah hidup jauh dari kehidupan mereka, termasuk slametan  yang menjadi fokus tulisan ini tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan mereka. Nilai-nilai ke-Jawa-an “kalah” oleh nilai-nilai import yang dianggap lebih modern dan maju. Masyarakat seolah memburu modernitas dengan budaya konsumerisme, persaingan jasa dan produk-produk komunikasi (ilmu dan teknologi) dan meninggalkan segala sesuatu yang “berbau” etnik.
Berdasar pengamatan saya selama pelayanan di GKJW Jemaat Manukan – Surabaya (November 2003 – Juli 2004), hampir seluruh pemuda gereja (usia 17 – 30 tahun) dan sebagian besar warga dewasa (31 – 45 tahun) tidak memahami dengan baik dan benar tentang tradisi Jawa slametan, padahal tidak jarang keluarga-keluarga Kristen yang mengadakan “kebaktian syukur” memperingati hari (3 hari, 7 hari, 40 hari dsb) kematian anggota keluarga dan syukuran-syukuran lain yang kental dengan tradisi Jawa. Hal yang sama juga terjadi sepanjang pengamatan saya di GKJW Jemaat Tulangbawang – Malang (Agustus 2004 – Juli 2005). Mereka “membungkus” tradisi dan kebiasaan tradisional Jawa yang berhubungan dengan slametan dengan kata “syukuran”.
Kenduren di sawah Sidomulyo Ambulu - Jember
Hal diatas bertolak belakang dengan kehidupan warga GKJW yang berada di Jemaat Bedali, yang terletak sisi barat kaki gunung Kelud, daerah perbatasan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar. Pengalaman pelayanan di tempat ini (Maret 2003 – Oktober 2003), saya merasakan bahwa hampir seluruh kehidupan manusia merupakan sebuah ritual. Mengapa demikian? Dalam setiap tahap kehidupan dan peristiwa selalu dikaitkan dengan kepercayaan adanya kuasa gaib yang terlibat. Dari peristiwa penghitungan dan pencarian hari baik untuk perkawinan, kehamilan pengantin putri, sampai dengan kematian selalu disertai dengan slametan. (Lebih lanjut dibahas dalam bahasan slametan sebagai life – cycle rituals). Warna ke-Jawa-an warga di Jemaat Bedali sangat kental.
Serupa dengan Jemaat Bedali adalah GKJW Jemaat Sidomulyo – Jember. Dalam participant observation selama pelayanan sepanjang Juli 2005 – Juli 2011 saya memahami bahwa tradisi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan jemaat. Slametan sebagai tenger (peringatan) atas peristiwa tertentu yang terjadi (kelahiran misalnya) adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Warga jemaat tidak hanya mengadakan slametan untuk menghayati dan memperingati peristiwa dan atau kejadian yang terjadi dalam kehidupannya, tetapi slametan dilakukan sebagai yang bertalian dengan penggarpan sawah (akan dibahas lebih lanjut pada bagian slametan sebagai ritual masyarakat agraris).
Menu Kenduren
Kebiasaan slametan tidak hanya dilakukan di jemaat-jemaat yang berlabel jemaat ndesa, tetapi di sekitar Salatiga juga merupakan hal yang lumrah. Enam bulan (Juli – Desember 2011) tinggal di Jl. Soka RT 01 RW 07 Sidorejo Lor Salatiga saya seringkali diundang tetangga untuk mengikuti acara kendurenan dan atau slametan. Slametan  yang sering dilakukan adalah slametan yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan manusia, misal memperingati hari kematian anggota keluarga.
Fakta diatas menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena adanya kelompok masyarakat yang dengan gigih menghayati kehidupan etniknya di tengah-tengah perkembangan zaman dan perubahan yang pesat. Tradisi mereka tidak tergerus oleh datangnya budaya-budaya dari luar. Hal itu bertentangan dengan masyarakat perkotaan. Situasi diatas tidak hanya menggambarkan pertentangan sosial antara masyarakat pedesaan yang kaya dengan tradisi leluhur dan masyarakat perkotaan yang sarat dengan kemajuan tehnologi dan  ilmu pengetahuan yang menekankan metode-metode keilmuan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sesuatu yang tersembunyi dari kenyataan sosial yang nampak. Gunung es yang nampak mungkin tidak sebesar yang tidak kelihatan. Pertanyaan kritis yang muncul, nilai apakah yang membuat masyarakat Jawa di pedesaan tetap mempertahankan tradisi mereka? Dan bagaimanakah nilai tersebut mempengaruhi hidup dan kehidupan mereka?

Slametan: Apa itu?
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan slametan yang perlu dijelaskan disini. Pertama,  Slametan adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan”.[3] Koentjaraningrat menjelaskan Slametan adalah tradisi yang dilakukan orang Jawa dengan suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.[4]
Kedua, bancaan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, yaitu yang berkaitan dengan masalah dumduman (pembagian) terhadap kenikmatan, kekuasaan dan kekayaan.[5] Hal ini dimaksudkan supaya solidaritas sosial tetap terjaga dan terhindar dari konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil.
Ketiga, kenduren adalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang dicita-citakan.[6]
Ketiga istilah diatas, slametan, bancaan dan kenduren mengacu pada harapan akan adanya keselamatan. Slametan adalah kata yang populer dikalangan orang-orang Jawa. Slamatan (= selamatan) tidak dapat dilepaskan dari pandangan dan alam pikiran religius Jawa, karena hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun, baik dari manusia, mahluk lain maupun kuasa-kuasa gaib yang ada, terhindar dari hal-hal yang menjebak mereka, sehingga gagal memperoleh kebahagiaan hidup dunia akherat.
Menurut Koentjaraningrat[7] upacara selamatan (= slametan) dapat digolongkan kedalam beberapa macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pertama, selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti slametan kehamilan sampai dengan kematian dan upacara saat-saat setelah kematian. Kedua, selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen padi. Ketiga, selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ruwatan = ngruwat), janji sembuh dari sakit atau janji-janji yang lain (kaul).
Dalam upacara selamatan seringkali dibuat sesajen. Adalah penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap mahluk halus, di tempat-tempat tertentu, seperti dibawah tiang rumah, di persimpangan jalan, di kolong jembatan dan di bawah pohon-pohon besar, di tepi sungai, serta tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung daya gaib (angker).
Simbol-simbol ritual yang berwujud sesaji, ubarampe (dan tumbal) merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk  mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah bentuk akumulasi budaya Jawa (yang abstrak). Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai srana untuk “negosiasi” spiritual kepada hal-hal yang gaib. Dan kepercayaan kepada roh halus, khususnya danyang (roh pelindung), sering diwujudkan dalam bentuk slametan.
Pelaku mistik kejawen meyakini (juga) dengan membakar kemenyan, pada saat ritual merupakan perwujudan persembahan kepada Tuhan. Kukus (asap) dupa kemenyan yang membumbung ke atas, tegak lurus, tidak mobat mabit ke kanan kiri, merupakan tanda bahwa sesajinya dapat diterima. Ujub (doa) yang diucapkan biasanya, “Niat ingsun ngobong menyan talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwaos”. Artinya: Saya berniat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan cahaya kumara, asapnya diharapkan sampai ke surga dan dapat diterima oleh Tuhan.[8]
 
Ada tiga alasan mengapa orang Jawa melakukan mistik kejawen: pertama, orang Jawa pernah menjadi bangsa jajahan. Pengaruh penjajah, zaman kolonial beserta dengan keyakinannya sangat dimungkinkan mempengaruhi dan bercampur dalam kemasan mistik kejawen. Kedua, kaum kejawen sangat inklusif. Ia terbuka terhadap apa yang baik dan itu diterima dengan senang hati, termasuk didalamnya pengaruh keyakinan. Ketiga, kaum kejawen memiliki tradisi spiritual yang kuat. Tradisi pemujaan terhadap yang adikodrati, yang diwujudkan dalam ritual slametan.[9]
 
Suwardi  mengatakan, slametan adalah inti dari tradisi kejawen. Slametan, merupakan permohonan simbolik kepada Tuhan, didalamnya lengkap dengan simbol-simbol sesaji dan dalam pelaksanaanya diucapkan mantra-mantra (Baca: doa-doa) tertentu. Slametan dipandang sebagai representasi harapan yang penuh pengorbanan dan tulus iklas – lahir batin. Karenanya dapat dikatakan slametan adalah tindakan ritual dari teks-teks religi wong Jawa


Unsur-unsur Umum dalam Slametan
Unsur-unsur umum yang terdapat dalam slametan (menurut Rachmat Subagya) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Doa.
Doa selalu menyertai setiap slametan entah itu diucapkan oleh pelaku sendiri ataupun oleh pengantara yang disebut tukang ujub, orang yang dituakan yang khusus menaikan doa dalam setiap slametan atau pemuka agama. Doa itu tradisional dan seringkali diucapkan dalam bahasa khusus dan kuno, sehingga mendekati mantra atau pesona. Doa seringkali berupa nazar.

Perhitungan angka.
Perhitungan angka gaib (neptu) dari hari, bulan, tahun dan dari mana orang berasal mempunyai tempat yang dalam menentukan tanggal slametan. Tetapi sekarang pemahaman orang tentang homologi antropokosmis yang mencerminkan sikap terhadap alam ini mengalami kemerosotan nilai dan berubah menjadi tahyul. Misalnya: anak yang dikithan bersama-sama jumlahnya harus genap, tetapi hari kithan harus ganjil.

Mutilasi.
Mutilasi atau pengudungan anggota badan lazimnya merupakan bagian dari upacara slametan. Misalnya: memangkas rambut, memotong kulub kemaluan, mendabung ujung gigi (mengikir). Hal ini dimaksudkan sebagai bukti dalam percobaan dan penderitaan atau sebagai korban pertama kepada Tuhan untuk menguduskan keseluruhan.

Santapan bersama.
Dalam setiap slametan selalu terdapat unsur sedekah, hajat, syukuran atau kenduri dengan makan bersama. Inilah partisipasi  dalam peristiwa yang dirayakan oleh orang lain dan mengikat solidaritas bersama.

Gotong-royong.
Gotong-royong dilakukan dalam bentuk sumbangan dari orang yang bukan keluarga untuk menutup biaya peralatan slametan. Jumlah yang diberikan sesuai dengan apa yang diterima dahulu atau yang diharapkan nanti. Gotong-royong kekeluargaan ini merupakan investasi modal menganggur dan menjadi alat pengikat persaudaraan.


Slametan sebagai life – cycle rituals
Seperti sudah disinggung diatas bahwa slametan juga dihubungkan dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari.  Disebut slametan sebagai life – cycle rituals, karena pemahaman keyakinan Jawa slametan dilakukan secara periodik, berulang pada tahap-tahap pertumbuhan seseorang, mulai dari bakal hidup (janin dalam kandungan), kelahiran sampai dengan kematian dan pasca kematian. Pada fase-fase tertentu atau usia-usia tertentu dalam kehidupan orang Jawa selalu menadakan slametan sebagai inisiasi supaya ia terbebas dari segala yang tidak baik.
Slametan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sidomulyo meliputi: slametan hamil tujuh bulan (mitoni), kelahiran (brokohan), upacara potong rambut pertama, upacara untuk menyentuh tanah pertama kali (tedak siti), kematian dan upacara saat-saat setelah kematian, meliputi geblak atau surtanah, diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Nelung dina, upacara selamatan kematian seseorang  yang diselenggarakan pada hari ketiga setelah meninggal. Mitung dina, dilakukan pada hari ketujuh stelah kematian seseorng. Matang puluh dina dan  nyatus dina, adalah upacara kematian yang dilakukan setelah empat puluh hari dan seratus hari pasca kematian seseorang. Dilanjutkan mendak sepisan dan mendak pindo, upcara kematian yang dilakukan pada tahun pertama dan kedua setelah kematian seseorang. Yang terakhir adalah upacara nyewu, dilakukan bertepatan dengan seribu hari setelah seseorang meninggal. Ada yang menyebut tradisi terkhir ini dengan nguwis-nguwisi, artinya yang terakhir.

Slametan sebagai ritual masyarakat agraris
Masyarakat Sidomulyo dan Bedali menurut pengamatan saya tidak dalam kategori primitiv. Mengapa demikian? Akses ke pusat pemerintahan dan perekonomian relatif mudah dan terjangkau, kira-kira 7 – 8 Km desa. Jalan-jalan sudah beraspal, meskipun jalan di kampung masih makadam (tumpukan batu kali dan pasir). Kalau diperhatikan sistem pengolahan dan penggarapan tanah pertanian rata-rata sudah menggunakan tehnologi pertanian modern. pembajakan tanah pertanian sudah menggunakan tenaga mesin, traktor sedang tenaga sapi dan kerbau sebagai sarana membajak sudah tidak ada lagi. Sumur bor, lengkap dengan mesin pompa airnya hampir dimiliki oleh setiap petani, baik pemilik  maupun petani penggarap. Dan ketika panen padi pun sudah menggunakan mesin perontok padi. Ini menunjukan masyarakat Jawa sangat terbuka dengan adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi disekitarnya. 

Meskipun disisi lain mereka tetap mempertahankan nilai-nilai filosofis dan kepercayaan mistis yang tinggi. Slametan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Khusus slametan di sawah sebagai yang bertalian dengan penggarapan sawah, penanaman dan panen padi mitos tentang pasangan Sri dan Sadono. Mite Jawa mengisahkan kepada kita Sri dan Sadono kenyataannya adalah sepasang saudara laki-laki dan perempuan, anak Sri Mahapunggung, penguasa Kerajaan Medang Kamulan. Sri kemudian mengejawantah di dalam padi, dengan mati dan dikuburkan di bumi. Lalu ia bertemu dengan Wisnu (Sadono), yang telah lahir kembali dalam air, dan berlangsunglah perkawinan, yang mengakibatkan padi tumbuh subur. Inilah awal siklus kehidupan yang menyebabkan padi menjadi matang, setelah bulir-bulir itu jatuh ke bumi dan mati.

Pertumbuhan padi dari benih sampai bulir yang matang tidak dipandang sebagai proses tumbuh-tumbuhan semata, melainkan dapat diperbandingkan dengan proses pertumbuhan manusia. Kehidupan padi sepenuhnya bergantung pada kekuatan spiritual, yang menurut pandangan keagamaan Jawa disebut dewi padi (dewi sri), roh nenek moyang, matahari dan bulan. Dalam semuanya itu ibu padi merepresentasikan seantero lahan, serta dipandang sebagai yang memiliki nilai daya hidup dan memberi pertumbuhan.[10] Hal ini menunjukan bahwa dalam peristiwa pengolahan sawah dan proses penanaman padi dipandang selaku manifestasi mahluk mistis dan mereka mengambil bagian secara ritual dalam pengembangbiakan padi. 

Masyarakat di Sidomulyo biasanya  mengadakan ritual pada saat menjelang pengolahan tanah, menjelang tanam padi dan sehari sebelum padi dipanen. Dalam ritual ini dibawa juga sesajen yang besarannya disesuaikan dengan hitungan hari yang dimaksud. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir sesajen tidak selengkap zaman dulu – mungkin pengaruh lingkungan dan malu kalau dianggap tetangganya sebagai gugon tuhon atau tahyul. 

Contoh slametan menjelang panen padi. Pada sore atau malam sebelum pemotongan padi dimulai petani mengadakan ritual di sawah. Biasanya dilakukan di pojok-pojok petak sawah. Petani membawa sesajen seperti: Janur kuning, bunga, kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, air kendi, api, bungkusan nasi dengan pisang dibawa sambil membakar kemenyan.[11] Doa yang diucapkan adalah:
Nyaosaken salam taklim kula dumateng ingkang njagi sabin; nyaosi (ngopah-opahi) mbok Sri ingkang njagi rina kalawan wengi. Wiwit mbok Sri mrekatak ngantos dumugi sepuh wonten ing tegal kepanasan supados ingkang loka tinebihna, ingkang kebak sami dumugiya. Panggihane mbok Sri punika: sega liwet, tukon pasar, kembang, tampingan, suri, jungkat, kaca, perlu kangge dahar lan busana mbok dateng mbok Sri. Perlu badhe mboyong mbok Sri alantaran pak . . . ., dipun boyong dateng lumbung sageda tumpuk undung nentremaken mbok Sri sarta pinetuk ing gedang raja, banyu ing kendi.
Artinya: salam syukur kami kepada ibu Sri yang menjaga siang malam sawah ini, mulai bertunas sampai matang; semoga dijauhkanlah dari kosong, datanglah padi penuh. Untuk perkawinan ibu Sri kami bawakan hiasan dan makanan, dapatlah diantarkan sebagai ratu ke istana (lumbung padi).[12]
 Tangkai padi dekat tempat slametan dipotong (diambil sedikit) sebanyak bilangan hari slametan. Tangkai padi tersebut dibalut dengan kain seperti pengantin, disebut pengantin pari (= padi). Petani membawa tangkai padi keempat pojok sawah yang akan dipanen. Selanjutnya uba rampe atau makanan yang dibawa dalam acara slametan diperebutkan. Semakin ramai semakin bagus, karena menunjukan roh-roh halus menerimanya. 

Ritus ini dilakukan setiap tahun penanaman padi oleh para petani, meskipun mereka sudah beragama Islam atau Kristen. Kehadiran agama asing (Islam dan Kristen) tidak menghilangkan kepercayaan asali mereka sebagai orang Jawa. Islam dan Kristen diterima dengan baik, tanpa permusuhan. Inilah simbol bahwa orang Jawa sangat berpegang pada keharmonisan.


Slametan sebagai wujud keharmonisan jagad alit dan jagad ageng
Berbagai bentuk dan macam slametan  yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sidomulyo bukanlah sesuatu yang baru lahir, tetapi memiliki akan budaya dan tradisi yang kuat dalam sejarah tempo dulu. Slametan selalu berhubungan dengan mitos dan daya-daya magis yang menyertainya.  Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang berada di sekitarnya, misal: pohon yang besar, tempat-tempat angker, air atau sungai, sawah dan tempat-tempat lain memiliki roh penunggu yang berkuasa. Dan jika tidak diadakan slametan, maka roh-roh tersebut akan mengganggu ketentraman dan kebahagiaan manusia. Itulah sebabnya mereka selalu berusaha ingin mengharmoniskan dan “mendamaikan – menyatukan” alam semesta (makrokosmos = jagad ageng) dengan dirinya (mikrokosmos = jagad alit). Mereka meyakini bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Keadaan dirinya adalah representasi dari alam semesta, karena apa saja terdapat dalam dirinya. Sama halnya bahwa manusia adalah miniatur jagad raya. Untuk itu manusia berusaha untuk “bernegosiasi”, menyatukan jagad ageng dan jagad alit dengan menjalankan laku tertentu, yaitu slametan.

Alam semesta atau jagad ageng  identik dengan jagading manungsa atau jagad alit yang harus diselaraskan. Keharmonisan keduanya akan menghadirkan kebahagiaan dan ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dalam prinsip hidup rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan hidup rukun hubungan sosial menjadi tentram. Kondisi sosial budaya tidak goncang, karenanya keseimbangan diri dan alam semesta terjaga. Menjaga keharmonisan jagad ageng  dan jagad alit menjadi dasar keseimbangan emosi (emotional equilibrium), sehingga tidak terjadi konflik dan menghadirkan kedamaian.

Bagi masyarakat Desa Sidomulyo yang masih memegang kepercayaan aslinya esensi keyakinan mereka (the religion of Java)[13] adalah pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur yang diwujudkan dalam dalam sikap mistik dan slametan. Secara lahiriah mereka memuja kepada roh dan kekuatan lain (politeisme?), namun esensinya tetap tertuju kepada Tuhan yang diyakini berkuasa atas jagad raya ini.

Slametan: teologi masyarakat pedesaan Jawa (sebuah uji coba)[14]
Slametan, baik yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia maupun yang bertalian dengan penggararpan sawah dan panen padi adalah kekayaan traidisi yang dimiliki masyarakat Desa Sidomulyo dan Bedali yang notabene beragama Kristen. Apakah slametan dipahami sebagai kekuatan spiritual yang pantas dan layak dipertahankan? Dalam rangka kegiatan Bulan Kesaksian dan Pelayanan (Bulan Kespel), yang dibuka bersamaan dengan kebaktian kenaikan Tuhan Yesus ke surga jemaat Sidomulyo mengawali kegiatan tersebut dengan acara Kebaktian Syukur Panen Padi dan Persiapan Tanam Tembakau yang  bertempat di tengah sawah. Perlu diketahui bahwa dalam kegiatan tersebut jemaat (dihimbau untuk) membawa nasi takir (nasi kotak) sebanyak empat buah, per kepala keluarga. Dan bagi Kelompok Tani (perkumpulan para petani yang ada di dusun Sidomulyo) menyiapkan nasi tumpeng lengkap dengan uba rampainya.

Menggagas kegiatan kebaktian syukur panen di tengah sawah tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak tantangan dan pendapat yang mewarnainya. Ada yang mengatakan hal tersebut sama saja dengan: slametan, nguja setan, klenik dan gugan Tuhan, dll. Tetapi tidak sedikit pula yang antusias, memahami sebagai bentuk syukur atas campur tangan Tuhan dalam dunia pertanian.

Kurang lebih satu bulan sebelum kegiatan yang disebut  “methik pari” dimulai, saya melontarkan gagasan tersebut dalam khotbah minggu dengan sebuah pertanyaan? Pernahkah jemaat sebelum mengawali kegiatan mengolah sawah, menanam dan sesudah musim tanam, dilanjutkan pada masa panen, berdoa kepada Tuhan?  Menyitir ungkapan Paulus kepada jemaat di Korintus, “Jemaat yang mengolah sawah, menanam dan mengaliri air ke lahan, tetapi Tuhan-lah yang memberi pertumbuhan, Tuhan-lah yang pada akhirnya memberikan buah dan hasil panen yang melimpah” (band. I Kor. 3:6-9). Teriknya panas matahari yang tidak membakar dan derasnya air hujan adalah campur tangan Tuhan, berkat dan anugerahNya dalam memenuhi kebutuhan hidup petani dan tanaman yang ditanamnya. Karenanya tidak ada salahnya, jika para petani bersyukur kepada Sang Penguasa jagad di sekitar lokasi tanamannya.

Rupanya apa yang saya sampaikan menjadi pergumulan bersama dan pembicaraan di lingkungan jemaat dan masyarakat. Berbagai pendapat warga tentangnya mulai bermunculan. Terlebih ketika panitia Kespel menindaklanjuti dalam bentuk kegiatan “methik pari”. Seperti diatas ada yang pro dan kontra. Ada “ketegangan” pendapat yang terjadi, tetapi semua itu menjadikan jemaat semakin banyak belajar memahami keterkaitan budaya dan iman yang selama ini dipercayai.

Dalam pergumulan itu warga masyarakat dan jemaat menemukan sesuatu yang khas dari slametan. Sebuah nilai religi yang patut untuk dikembangkan sebagai mahluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti diuraikan diatas bahwa dalam slametan  terdapat unsur doa, permohonan kepada yang disebut Tuhan, mutilasi, makan bersama dan gotong-royong  adalah nilai-nilai spiritual Jawa yang harus dijaga dan dimaknai ulang sesuai dengan kondisi zaman dan situasi masa kini.

Pertanyaannya, bagaimana kita mendialogkan budaya slametan dengan Injil yang kita yakini sebagai sumber kebanaran? Dan bagaimana kita berteologi dalam konteks kehidupan petani Jawa seperti ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menuntun kita kepada tindakan nyata untuk menjawab tantangan yang ada. Sebelumnya, kita mesti memahami apa teologi itu? Teologi adalah sebuah penghayatan iman Kristen (yang muncul) pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dan asumsi dasar dari teologi kontekstual disini, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan Firman-Nya, Allah yang hadir dalam Rupa Manusia Yesus adalah Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa sejarah umat manusia. Artinya, bahwa teologi harus memperhatikan tradisi yang ada. Karena tradisi adalah sumber kasaksian tentang upaya umat Kristen untuk mencari penyataan Allah dalam pengalaman praksis manusia dan memahami kehendak Allah di sepanjang zaman.

Teologi kontekstual adalah teologi yang fungsional. Teologi yang terasing dari konteksnya ia berada di “awang-awang”, tidak membumi dan tidak akan mampu berfungsi menjawab pergumulan yang ada. Teologi yang fungsional (baca: berfungsi) adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life.”  Ia mengalami perkembangan – lestari –  “sesuai” dengan kondisi zamannya.  Teologi kontekstual merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dan “konteks”; antara “kerygma” dan kenyataan hidup yang kontekstual. 

Pertanyaannya adalah bagaimana cara mempertemukan kabar kesukaan dalam Alkitab dengan kehidupan praksis dan atau menemukan core Injil dalam budaya setempat? Tradisi slametan, misalnya. Pengalaman penulis berjemaat di GKJW selama ini, menjumpai tradisi kenduri (baca juga: kenduren atau selamatan) dalam jemaat meskipun tidak sedikit yang “dibalut” dengan kata “syukuran”. Kebiasaan (baca: adat) masyarakat Jawa yang beragama Kristen, baik yang berdomisili di kota, terlebih di pedesaan selalu mengadakan slametan dalam peristiwa-peristiwa tertentu sebagai tenger (peringatan). Sejak seorang ibu hamil (pitonan=7 bulan), melahirkan (brokohan, pasaran, selapanan, tedak siti, ulang tahun) sampai dengan “peringatan” peristiwa kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, bahkan pendhak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun,  dst.).   Setiap peristiwa tersebut selalu diwarnai dengan kenduri, selamatan untuk memohonkan berkat dan doa restu bagi yang bersangkutan (yang di selameti) dan juga kirim doa bagi orang  yang sudah meninggal.

Yang menarik (bagi penulis ketika melayani Jemaat Bedali) adalah yang menyelenggarakan slametan diantaranya juga anggota Majelis Jemaat (yang notabene Penatua atau Diaken), orang-orang yang dituakan dan dianggap memiliki kemampuan teologi lebih. Tidak hanya itu, bahkan “doa” slametan dibawakan dalam dua versi. Pertama, disampaikan oleh “tetua adat”. Biasanya “pendoa” menguraikan doanya sesuai dengan uba-rampai sajian kenduri. Apapun jenis hidangan sesajen “diterangkan” artinya dalam doa, misal (kurang-lebih demikian), “skol suci lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para sakabatIpun (kalau muslim, ditujukan kepada Muhammad Rasululah), pisang ayu kangge mbok dewi Pertimah....) Selanjutnya, “doa” dilanjutkan oleh sesepuh jemaat – bisa jadi Penatua, Diaken, Vikarist (dan mungkin Pendeta). Doa ini disampaikan secara Kristen. 

Ini mengingatkan saya pada doa dan atau tembang yang dilantunkan Coolen dalam pengajaran moral-nya kepada penduduk Ngoro, “Gunung Semeru kang winarni tenger tanah pulo Jawi, tetepo anggen kawulo tetani, ing karemenane Sri-sesono kang warni pari. Ingkang ngideni Allah ingkang mohosuci, Iyo ilah a-ilelah Yesus Kristus Roh Allah” (Philip van Akkeren; 1994, 124). Ia juga melakukan hal yang sama dengan masyarakat Jawa-Kristen sekarang ini, yakni mencampur-adukan rumusan teologi antara kepercayaan Jawa dengan kekristenan. Sinkritisme-kah?  Atau justru yang dilakukan mereka adalah peng-kontekstual-an teologi? Tidak mudah memang untuk menjawabnya, karena jawaban yang dibutuhkan bukan sekedar YA atau TIDAK.  

Hal ini (sebenarnya) sangat berkaitan dengan kepercayaan pribumi sebelum agama-agama besar dunia merambah tanah Jawa, yakni “agama” animisme, dinamisme, dan kepercayaan pada roh orang mati. Bagi orang Jawa setiap benda (baik mati maupun hidup) mempunyai daya. Ada roh-roh atau tuhan yang menungguinya, yang biasanya disebut danyang. Nah, kepada danyang-danyang penunggu atau penguasa benda-benda itulah “doa-doa” ditujukan, termasuk uba-rampai kenduren: Apem untuk roh orang yang sudah meninggal, jenang abang dan jenang putih bagi danyang air dan tanah atau daratan. Pisang untuk mbok dewi Pertimah, dll. 

Dalam doa slametan orang Jawa-Kristen dan contoh doa yang dibawakan Coolen, memang mengikuti tradisi yang ada. Padahal dalam iman Kristen doa hanya ditujukan kepada Tuhan saja, tidak kepada yang lain. Dilihat dari sini jelas yang mereka lakukan salah. Mereka tidak kritis terhadap budaya yang ada, tetapi yang patut dicermatri adalah adanya tambahan doa yang disampaikan “tua-tua jemaat”, yang melambangkan bahwa penguasa dari seluruhnya adalah Tuhan Yesus yang imani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, bahwa ada ilah-ilah lain selain Yahwe. Dan yang paling berkuasa adalah YAHWE. 

Sebagaimana sudah disinggung (sedikit) diatas, bahwa kenduren dan atau selamatan yang dilakukan oleh orang Jawa-Kristen adalah buah dari uangkapan syukur atas keberhasilan yang diperoleh. Yakni tanah tempat mereka menanam mengasilkan buah dengan baik. Air yang dibutuhkan sebagai sumber penghidupan tersedia. Yang istimewa mereka terbebas dari hama, penyakit atau gangguan dari roh-roh yang diyakini penunggu tempat tersebut. Selanjutnya, memohon doa restu tidak hanya kepada sanak-saudara atau tetangga yang di undang kenduri,  tetapi juga kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal untuk memberkati keluarga atau pekerjaan selanjutnya.

Slametan itu sendiri, menurut saya adalah rumusan teologi orang Jawa dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan. Itu artinya jika kita deal-kan secara kreatif dan inovatif dengan Injil, antara “konteks” slametan dan “teks” tidak ada yang perlu dipermasalahkan sebagai sebuah pertentangan. Justru sebaliknya, harus diarahkan dan diberi makna Kristen seperti halnya upacara bodong suku Toraja.

Berangkat dari pengalaman tersebut, yang kemudian saya sebut pengalaman teologi   sebagai orang Jawa, kita harus tetap memelihara tradisi tersebut dengan tidak memandang sebelah mata atau menganggapnya sebagai yang kafir, tetapi diterima sebagai kasanah teologi Jawa.

Karenanya dalam menggagas slametan: teologi masyarakat pedesaan Jawa (sebuah uji coba), yang perlu diperhatikan (paling tidak) adalah pertama, doktrin. Sebagai kelompok agama, memang perlu membangun kehidupan imaniah secara sistematis. Tetapi sangat penting kita memahami latar belakang munculnya sebuah doktrin atau ajaran. Bagaimana latar belakang sosial-budayanya, kondisi lingkungannya, zamannya, dll. Supaya kita tidak jatuh pada “terpenjara oleh doktrin”, tetapi lepas dari frame Alkitab. Alkitablah dasar utama kita merumuskan pemahaman teologi yang kemudian kita refleksikan dalam konteks tertentu.

Kedua, mengembangkan sikap pastoral kultur.  Sikap mau mengerti terhadap budaya setempat. Tidak serta-merta menolak atau meremehkan budaya yang ada lantaran tidak mengerti apa falsafah budaya atau adat-istiadat tersebut muncul. Dengan pastoral kultur dikembangkan sikap kristis terhadap apresiasi budaya yang dipertahankan, sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan penghayatan iman, entah menyangkut refleksi atau aksi iman.

Ketiga, mengembangkan sikap transformasi budaya (Richard Nieburh). Prinsip yang perlu dipegang adalah: bukan menerima atau menolak, tetapi menerima bagian tertentu dari budaya dan menolak bagian tertentu dari budaya. Karena memang tidak ada budaya Kristen, tetapi yang  ada adalah budaya setempat yang diwarnai iman Kristen. Sehingga dalam kaitannya dengan kenduren, bagaimana kita men-transformasi-kan budaya kenduren menjadi budaya yang bernafaskan iman Kristen. Sanggupkah anda????

Daftar Pustaka
CM., D. Suwadji, Tatacara Wilujengan Katolik (kalangan sendiri – belum dipublikasikan). Gersik, 2004. 

Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa (Rev.). Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2006.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Red.). Jakarta: Djambatan, 1970. 

Harisantoso, Imanuel Teguh, Menggali Ulang Teologi GKJW: Teologi Kenduri sebagai sebuah ujicoba. Duta. Edisi 05, 2006, 20 – 21.

Pusat Studi Pariwisata UGM (Penyunting), Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal. Yokyakarta: Pilar Politika, 2004.

Subagya, Rachmat, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan-Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981.



[1] Ketua Umum Paguyuban “Cahya Buwana”, Paguyuban Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
[2] Tjaroko HP Teguh Pranoto (at. Al), Tata Upacara Adat Jawa. (Yogyakarta, Penerbit Kuntul Press, 2009), 11 – 12.
[3] Purwadi, Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal. (Yogyakarta: Pustakan pelajar, 2005), 22.
[4] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Red.). (Jakarta: Djambatan, 1970), 341.
[5] Purwadi 22.
[6] Purwadi 26.
[7] Koentjaraningrat  341.
[8] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa (Rev.), (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2006),  248.
[9] Suwardi Endraswara 13.
[10]  Philip van Akkkeren, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja di Jawa Timur. (Jakarta: BPK-GM, 1994), 23 – 24.
[11] Zaman dulu hal semacam ini dilakukan bersama-sama, karena sifat solidaritas dan kolektifitas. Biasanya ada pawai para petani bersama seorang pawang – ahli doa – dan anak-anak kecil yang nantinya akan memperebutkan sesaji yang sudah didoakan. Tetapi sekarang hal ini tidak dilakukan persis seperti dulu. Pelaku slametan di sawah cenderung sembunyi-sembunyi dan dilakukan hanya oleh pemilik dan atau penggarap sawah.
[12] Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia. (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan  dan Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981), 126 – 127.
[13] Bagi mereka agama adalah ageman aji, artinya agama Jawa adalah pedoman hidup. Aji berarti kesaktian, yang kokoh, yang tak tergoyahkan dan inilah petunjuk yang dimaksud. Jadi agama Jawa adalah pituduh jati  yang sering disebut juga pepadhang (petunjuk yang jernih). Atas dasar pepadhang orang Jawa mendapatkan ketentraman dalam hidupnya.
[14] Imanuel Teguh H., Menggali Ulang Teologi GKJW: Teologi Kenduri sebuah uji coba. Duta. Edisi 05, 2006, 20 – 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...