Sekitar bulan September dan Oktober
tahun ini (2025), rasanya udara sudah semakin panas. Banyak orang mengatakan
semakin panas, iklim sulit diidentifikasi dan cuaca tidak lagi terduga. Pagi
dingin, eh… siangnya sangat panas. Menyikapi isu ekologis semacam ini, semua
orang lembag agama, termasuk gereja, NGO dan masyarakat untuk berefleksi
terkait berbagai peristiwa ekologis yang telah terjadi.
Kegiatan KONAS ini
dilatarbelakangi berbagai pemikiran dan reflektif. Saya memuat ulang pemikiran
KONAS sebagai berikut:
“Dalam dekade
terakhir, dunia, termasuk Indonesia, kian merasakan dampak nyata dari krisis
iklim dan meningkatnya frekuensi bencana alam. Banjir, tanah longsor,
kekeringan, gelombang panas, dan badai tropis tidak lagi menjadi peristiwa yang
jarang terjadi, melainkan kenyataan sehari-hari yang melanda
komunitas-komunitas lokal. Situasi ini menghadirkan luka ekologis yang
mendalam, terutama bagi kelompok rentan: masyarakat miskin, perempuan,
anak-anak, dan komunitas adat yang kehidupannya sangat bergantung pada alam.
Lebih dari sekadar fenomena alam, krisis iklim telah menjadi krisis kemanusiaan
yang menyentuh dimensi moral, spiritual, dan keadilan sosial.
Dalam realitas seperti
ini, Gereja dipanggil untuk hadir bukan hanya sebagai ruang ibadah atau
komunitas spiritual yang berpusat pada kehidupan liturgis, melainkan sebagai
agen ketangguhan dan keadilan. Gereja memiliki mandat iman untuk menghadirkan
kabar baik bagi dunia yang sedang merintih. Kehadiran Gereja di tengah bencana
bukan sekadar dalam bentuk bantuan darurat, tetapi juga dalam upaya membangun
kesadaran ekologis, menguatkan kesiapsiagaan komunitas, mendampingi pemulihan,
serta mendorong perubahan kebijakan publik yang lebih adil bagi bumi dan
manusia. Dengan demikian, panggilan Gereja bersifat transformatif: membawa iman
yang diwujudkan dalam aksi nyata demi kehidupan yang lebih bermartabat.
Peran oikumenis dalam
konteks ini menjadi sangat penting. Krisis iklim dan bencana tidak mengenal
batas denominasi maupun institusi. Tantangan global ini menuntut solidaritas
yang melampaui sekatsekat gereja dan lembaga. Gereja-gereja dari berbagai sinode,
lembaga pelayanan Kristen, akademisi, dan komunitas iman dipanggil untuk
bersatu, merumuskan strategi bersama, dan meneguhkan arah baru gerakan
oikumenis yang berlandaskan iman sekaligus relevan dengan konteks zaman.
Solidaritas ini bukan hanya simbolis, tetapi harus diwujudkan dalam jejaring
kerja yang kokoh, saling menopang, dan mampu memobilisasi daya serta dana
secara mandiri untuk menjawab tantangan kemanusiaan dan ekologis.
Di tengah urgensi
inilah, Konsultasi Nasional (KONAS) Gereja-Gereja hadir sebagai ruang
perjumpaan, refleksi, dan konsolidasi bersama. KONAS menjadi wadah di mana
Gereja-gereja dan lembaga Kristen dapat saling berbagi pengalaman,
mengidentifikasi tantangan, merumuskan strategi baru, dan menyusun arah gerakan
oikumenis yang lebih mandiri. Melalui ibadah, diskusi teologis, gelar wicara
(talk show), refleksi kelompok, dan pleno, KONAS dapat melahirkan rumusan
teologi yang meneguhkan komitmen pada keadilan iklim dan pengurangan risiko
bencana. Lebih jauh lagi, KONAS menjadi momentum profetik: menyuarakan
kepedulian gereja terhadap bumi dan kehidupan, memperdalam komitmen
solidaritas, serta menyusun peta jalan (roadmap) aksi bersama yang dapat
diimplementasikan hingga ke jemaat dan lembaga di tingkat lokal.
Konsultasi Nasional Gereja - Gereja
bertujuan untuk meneguhkan kemandirian oikumenis dalam menghadapi krisis iklim
dan risiko bencana melalui refleksi iman, perumusan strategi teologis dan
praksis, serta penguatan jejaring solidaritas lintas sinode, lembaga, dan
mitra, sehingga Gereja mampu hadir sebagai agen ketangguhan dan keadilan bagi
komunitas dan ciptaan Allah.”
Semoga upaya dan kerjakeras
untuk menghadirkan bumi yang inklusi pada akhirnya menghadirkan warisan baik
bagi anak cucu di kemudian hari.