Yesus bagi Orang Non-Religius
(John Shelby Spong, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008)
(Tinjauan terhadap John Shelby Spong, hal. 161 - 243)
Apa yang dilakukan John Shelby Spong dalam upaya mencari gambaran Yesus asli adalah sebuah cara
dan kesadaran baru untuk membicarakan dan menyelidiki pengalaman Alkitab.
Menurutnya, sampai dengan sekarang ini tidak sedikit tidak sedikit tokoh-tokoh
pembaharu, pemikir teologi baik di kalangan Katolik maupun Protestan diancam
oleh rasa ketakutan. Takut menerima
konsekuensi dari tindakan berpikirnya yang “kontroversial” yang berbeda dengan
pemikiran gereja sebagai sebuah lembaga keagamaan.
Kekristenan dan Katolik sekarang lebih memilih untuk
mengambil tidak bersentuhan dengan situasi masa kini, mereka lebih tradisional,
pemikiran dan teologinya lebih bertahan, lebih menyerang dan lebih histeria.
Untuk memahami Yesus asli (menurut Spong) harus masuk
kedalam pengalaman periode lisan sejarah kekristenan. Kurun waktu sebelum
ingatan akan Yesus dituliskan oleh para pengikut dan murid-murid-Nya. Disanalah kita mencari Yesus yang melampaui
Kitab Suci, melampaui kredo, melampaui doktrin, melampaui dogma dan melampaui
agama itu sendiri. Dalam konteks dan traidisi inilah dipahami dalam ingatan
para pengikut-Nya, Yesus adalah Jalan menuju kepenuhan dan keutuhan kehidupan.
Jika dipahami dengan seksama Alkitab Kristen yang
menceritakan tentang Yesus, kisah Yesus yang ditulis oleh para penulis Injil
selalu mengaitkannya dengan akar keyahudian. Apa yang dikerjakan dan dilayankan
oleh Yesus pada masa hidup-Nya ke-empat Injil menekankan keterkaitan Yesus dengan pusat religius bangsa Yahudi, yaitu
Sinagoge dan Bait Allah. Hal ini dengan jelas diuraikan dalam tulisan-tulisan
Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Misal: (Setelah dibabptis, Yesus) masuk ke
dalam rumah ibadat (= Sinagoge) dan mengajar. (Mark. 1:21; lihat juga 6:2). Yesuspun
berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan
memberitakab Injil Kerajaan Allah (Mat. 4:23; lihat juga, 12:9; 13:54). Sementara
itu Ia mengajar di rumah-rumah ibadat di situ dan semua orang memuji Dia (Lukas
4:15; lihat juga, 6:6; 13:10). Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum ketika
Ia mengajar di rumah ibadat (Yoh. 6:59).
Lebih lanjut Lukas mengsahkan kebiasaan yang dilakukan
oleh Yesus dengan mengajar orang banyak di pusat keagamaan Yahudi – Sinagoge
dan Bait Allah – dilanjutkan oleh para pengikut-Nya. Petrus, setelah peristiwa
Pentakosta berkhotbah di Yerusalem sebagai pusat kegiatannya adalah Bait Allah
(Kisah 3:11-26). Dan, Paulus berulangkali hadir di Sinagoge pada hari Sabath
dan mengajar tentang Yesus (Kisah 13:14; 14:1; 17:10; 18:4, 19).
Hal ini menandakan dengan kuat bahwa sebelum Injil
ditulis Yesus sudah ditafsirkan melalui Kitab Suci Iberani dan dalam proses
penafsiran ini kisah Yesus dibentuk oleh kisah Yahudi. Artinya, dalam
Sinagoge-lah kisah Yesus diingat dan dibentuk selama periode lisan. Sehingga,
sekali lagi untuk memahami gambaran Yesus asli kita perlu menempatan diri dalam
dunia Yudea abad pertama.
Untuk memahami dunia Yudea, termasuk didalamnya liturgi
Sinagoge yang secara pasti membentuk ingatan Kristen, bisa berangkat dari
tekstual liturgi Sinagoge yang terdapat dalam Kisah 13:13-16. Dalam tradisi
Sinagoge, liturgi yang ada diawali dengan pembacaan
Hukum Taurat, ke-lima kitab Musa Kejadian sampai dengan Ulangan. Ini dibaca
secara berkelanjutan pada setiap hari Sabath. Kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan Kitab Nabi-nabi: pertama, Nabi-nabi terdahulu. Ini meliputi Kitab
Yosua, Hakim-Hakim, 1 dan 2 Samuel berakhir 1 dan 2 Raja-Raja. Setelah itu baru
membaca Kitab Nabi-Nabi kemudian (dimulai Kitab Yesaya Pertama, Yeremia dan
Yehezkiel dan gulungan berikutnya adalah “Kitab 12 Nabi”, yang sering disebut Nabi-Nabi
kecil. Bacaan-bacaan diatas diselingi Mazmur pujian dan doa, dilanjutkan dengan
khotbah. Dalam liturgi seperti inilah Paulus berkhotbah tentang Yesus yang
diawali pada kisah-kisah Alkitab Iberani.
Muncul pertanyaan, bagaimana para murid memahami kisah
Yesus? Kisah Yesus yang dituturkan oleh para penulis Injil lebih pada
tafsiran-tafsiran lewat kehidupan ibadah orang Yahudi, ketimbang tuturan-tuturan
harfiah. Dan kisah Yesus ini beroleh makna hanya pada mereka yang beribadat di
Sinagoge dan Bait Allah, sedang diluar tidak. Yang terpenting bagi penulis
Injil adalah apa yang Yesus maksudkan dan apa yang mereka percaya telah mereka
temukan melalui Yesus.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keterkaitan hubungan
antar Paskah Yahudi dan penyaliban Yesus lebih merupakan hubungan liturgis,
ketimbang hubungan historis. Untuk itulah para murid memahami Yesus sebagai Anak domba Paskah yang dalam kalender
liturgi Yahudi dikenal sebagai Yom Kippur
atau Hari Pendamaian. Anak domba Paskah dan anak domba Yom Kippur
dipandang sebagai yang menawarkan bentuk “keselamatan” melalui penumpahan
darah.
Sebagai simbol Yom Kippur Yesus ditafsirkan dalam dua
peran, yaitu sebagai domba yang tidak bercacat yang menjadi korban Yom Kippur,
sekaligus domba yang menanggung dosa seluruh umat , menjadi kambing hitam. Dalam
terang apokaliptik Yahudi, Yesus juga ditafsirkan dalam dua peran sang Mesias.
Ia dipandang sebagai “Anak Manusia” surgawi, hakim terakhir dan juga sumber
keutuhan kehidupan sekarang ini dalam dunia ini.
Dan masih dalam keterkaitan dengan tradisi suci yang dirayakan
dan diingat di Sinagoge, Yesus juga dipahami oleh para murid sebagai: pertama, citra sang “hamba” membungkus
ingatan akan Yesus. Yesus digambarkan sebagai hamba yang melampaui batas-batas Yahudi yang membawa keadilan bagi
bangsa lain, terang dan keselamatan untuk dunia (Yes. 49:6). “Hamba” ini harus memberi kemurahan Allah bagi
semua orang (Yes. 55:1), membebaskan kehidupan (Yes. 42:7), untuk menyembuhkan
orang (Yes. 42:7). Kedua, Yesus
disebut sang “gembala”, kadang sang “raja gembala”. Ini adalah upaya penafsiran
terhadap Yesus dari sudut pandang pengharapan mesianik tradisional. Sebab,
dalam periode lisan dimungkinkan mereka mengembangkan harpan-harapan mesianik
yang ditemukan berulang kali dalam Kitab Suci Yahudi dan dalam kesadaran Yahudi
untuk menyusun kisah Yesus. Akhirnya, Yesus sejarah, seorang manusia,
sungguh-sungguh manusia menjadi semakin kabur ketika kita menyadari kemungkinan
bahwa sangat banyak gambaran Yesus dalam Injil-Injil merupakan
penafsiran-penafsiran, ketimbang sebagai ingatan para saksi mata mengenai Yesus
dalam sejarah. Namun Yesus sebagai sosok dalam sejarah dengan satu dan cara
pandang yang lain telah melihat gambaran Alkitab ini lebih pas dan kena.
Tanggapan
Dalam dunia akademis, penalaran yang dilakukan oleh Spong
adalah sesuatu yang menarik untuk terus diperdebatkan dalam diskusi-diskusi
untuk mencari kebenaran ilmiah. Apa yang dilakukan Spong memang berdasar
premis-premis yang sulit terbantahkan. Ia mendasarkan analisanya pada tulisan-tulisan
Kitab Suci Kristen. Saya setuju dengan apa yang ditekankan Spong, bahwa untuk
mencari dan menemukan gambaran Yesus
asli kita harus menyelami, hadir dan terlibat secara langsung dalam tradisi
yang membentuk kekristenan. Memahami pemikiran yang berkembang saat itu,
pandangan teologi (baca: kebudayaan) yang ada dan kepercayaan masyarakat dimana
Yesus pernah ada, hidup dan berkarya bersama dengan murid-murid-Nya. Karena
ajaran apapun yang disampaikan oleh Yesus, yang dipahami oleh para murid dan
kemudian dituliskan dalam Injil-Injil lepas dari konteks sosial-masyarakat
waktu itu. Meskipun disisi lain Yesus dan ajaran-Nya dan tulisan para murid
“berusaha” untuk menunjukan ke-perbedaan-nya dengan sejarah yang sudah
membentuknya. Tetap terdapat kesinambungan dan ketidaksinambungan antara Yahudi
dan Kekristenan yang dihasilkan oleh pengajaran Yesus. Ada kontinyuitas dan
diskontinyuitas.
Bagi saya, catatan
yang patut diberikan kepada Spong adalah: pertama,
kerja keras yang dilakukan untuk memahami gambaran Yesus asli, yang
melampaui Kitab Suci, melampau kredo, melampau doktrin, melampaui dogma dan
agama adalah usaha yang patut menerima apresiasi. Upaya Spong ini saya sebut
dengan mencari orisinilitas sumber
kepercayaan Kristen. Ia ingin menggali Kristen yang asali, karena otentisitas kepercayaan
inilah yang penting bagi kehidupan manusia. Bagaimana seseorang dapat beragama
secara otentik, tanpa ember-embel yang lain.
Kedua, usaha Spong memahami gambaran Yesus asli, yang
melampaui Kitab Suci, melampau kredo, melampau doktrin, melampaui dogma dan
agama, jika dipahami secara negatif adalah sesuatu yang jauh lebih konservatif
dari apa yang dituduhkan Spong kepada gereja Katolik dan Protestan. Ungkapan Spong
“Kekristenan dan Katolik lebih mengambil
tindakan yang tidak bersentuhan dengan masa kini, lebih tradisional, lebih
bertahan, lebih menyerang dan lebih histeria”, mungkin ia ingin mengatakan
gereja sekarang terlalu eksklusif, tetapi disisi lain ia tidak ingin jatuh
kepada pemahaman pluralis. Ia ingin menawarkan jalan tengah diantara kedua
paham diatas, ekslusifisme dan pluralisme. Dengan catatan bahwa iman kepada
Yesus tetap menjadi yang terutama, iman kepada Yesus melampaui agama dan dogma
yang ada. Mungkin ini sejalan dengan apa yang disampaikan Karl Rahner, Allah
telah menyatakan diri-Nya kepada manusia didalam Yesus, tetapi penyataan Allah
dalam Yesus tidak membatasi keselamatan hanya pada agama Kristen saja.
Keselamatan bisa terjadi diluar agama Kristen. Tetapi meskipun keselamatan itu
bisa terjadi dalam agama-agama lain, dan
dimanapun keselamatan itu terjadi, ia selalu berasal dari Yesus dan dikerjakan
oleh Yesus karena Ialah satu-satunya “Jalan dan keselamatan”.
Ketiga, jika asumsi Spong bahwa pembentukan dan ingatan gambaran
Yesus asli berasal dari tradisi Sinagoge, tidak demikian menurut saya. Ada hal
yang tidak dipertimbangkan dan luput dari analisa Spong. Sumber tulisan-tulisan
para murid – Injil-Injil – jelas menguraikan bahwa terjadi hubungan yang tidak
baik antara Yesus dan pengikut-Nya dengan “penguasa” tradisi Sinagoge dan Bait
Allah. “Imam-imam kepala dan ahli-ahli
Taurat mendengar tentang peristiwa itu, dan mereka berusaha untuk membinasakan
Dia” (Mark. 11:18). “Imam-imam kepala
dan ahli-ahli Taurat . . . . hati mereka sangat jengkel” (Mat. 21:15). “Imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat serta
orang-orang terkemuka dari bangsa Israel berusaha untuk membinasakan Dia,
tetapi mereka tidak tahu bagaimana harus melakukannya” (Lukas 19:47-48). Pertanyaanya,
bagaimana mungkin pengajaran orang yang tidak disukai dan dimusuhi oleh
”penguasa” Sinagoge dan Bait Allah bisa berkembang subur disana? Dari uraian
diatas sudah dapat dipastikan bahwa setiap Yesus memberikan pengajaran di
Sinagoge, tidak mungkin kesempatan itu diberikan dengan leluasa. Itu artinya,
ajaran Yesus tidak mungkin berkembang di Sinagoge dan Bait Allah, meskipun
disisi lain kita tidak dapat menampik informasi bahwa Yesus, demikian pula
muri-murid-Nya memberikan pengajaran tentang Yesus di Sinagoge dan Bait Allah.
Pasca Yesus disalibkan, sebelum tulisan-tulisan
tentang-Nya berkembang, Lukas menghisahkan dengan gamblang ada penganiayaan
terhadap orang-orang yang mengikuti Yesus. “Mereka
menangkap rasul-rasul itu, lalu memasukan mereka ke dalam penjara kota”
(Kisah 5:18). Mereka menyeret Stefanus, salah seorang pengikut Yesus dan
melemparinya dengan batu sampai mati (Kisah 7:57-60). Terjadi juga penganiayaan
yang hebat terhadap orang-orang yang setia kepada Yesus di Yerusalem (Kisah
8:1-3). Arti dari tulisan ini adalah tidak ada tempat bagi pengajaran tentang
Yesus di tempat umum di Yerusalem, apalagi di Sinagoge dan Bait Allah yang
menjadi simbol pusat kekuasaan Yahudi. Tulisan ini yang dilupakan oleh Spong,
sehingga bagi saya;
Keempat, bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh
Spong, bagi saya ingatan tentang Yesus dan konsep yang membentuknya adalah simbol-simbol
apokaliptik yang berkembang di kalangan pinggiran. Ingatan tentang Yesus tetap
terngiang di telinga “orang banyak”, yaitu mereka yang lapar, mereka yang terluka,
mereka yang sakit, mereka yang lumpuh, mereka yang tuli, mereka yang bisu,
mereka yang miskin, mereka yang “dinajiskan”, mereka yang tidak bertempat
tinggal dan setiap mereka yang pernah menerima sentuhan cinta kasih Yesus
semasa pelayanan-Nya. Ingat, semasa pelayanan-Nya Yesus sangat memperhatian orang-orang
miskin, mereka yang mengalami keterasingan dengan sesamanya (misal: orang-orang
yang sakit kusta), mereka yang mengalami keterasinan dan keterpisahannya dari
lingkungan sosial (misal: pemanggilan Matius pemungut cukai), dan mereka yang mengalami
ketakutan dan tekanan kemanusiaan, sehingga hidupnya terbelenggu.
Pemahaman apokaliptik Yahudi yang berkembang subur
sebagaimana yang telah diuraikan oleh Spong, Yesus dipahami sebagai Anak domba Allah dalam Yom Kippur atau Hari Pendamaian; Yesus sebagai “hamba”
dan “gembala” yang membawa bangsa Israel keluar dari penderitaan yang mereka
alami, justru menurut saya sangat pas dan cocok dengan situasi yang terjadi
pada kelas sosial rendahan. Dan ini pula yang sebenarnya ingin ditunjukan oleh
para penulis Injil dalam proses
pemilihan para murid yang dilakukan oleh Yesus. Yesus memilih para murid dari
kalangan masyarakat “kelas dua” di
dunia Yahudi. Dalam masyarakat inilah gambaran Yesus asli berkembang.