GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Minggu, 04 Desember 2011

GAMBARAN YESUS ASLI


Yesus bagi Orang Non-Religius
(John Shelby Spong, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
(Tinjauan terhadap John Shelby Spong, hal. 161 - 243)

Apa yang dilakukan John Shelby Spong dalam upaya mencari gambaran Yesus asli adalah sebuah cara dan kesadaran baru untuk membicarakan dan menyelidiki pengalaman Alkitab. Menurutnya, sampai dengan sekarang ini tidak sedikit tidak sedikit tokoh-tokoh pembaharu, pemikir teologi baik di kalangan Katolik maupun Protestan diancam oleh rasa ketakutan. Takut menerima konsekuensi dari tindakan berpikirnya yang “kontroversial” yang berbeda dengan pemikiran gereja sebagai sebuah lembaga keagamaan.
Kekristenan dan Katolik sekarang lebih memilih untuk mengambil tidak bersentuhan dengan situasi masa kini, mereka lebih tradisional, pemikiran dan teologinya lebih bertahan, lebih menyerang dan lebih histeria.
Untuk memahami Yesus asli (menurut Spong) harus masuk kedalam pengalaman periode lisan sejarah kekristenan. Kurun waktu sebelum ingatan akan Yesus dituliskan oleh para pengikut dan murid-murid-Nya.  Disanalah kita mencari Yesus yang melampaui Kitab Suci, melampaui kredo, melampaui doktrin, melampaui dogma dan melampaui agama itu sendiri. Dalam konteks dan traidisi inilah dipahami dalam ingatan para pengikut-Nya, Yesus adalah Jalan menuju kepenuhan dan keutuhan kehidupan.
Jika dipahami dengan seksama Alkitab Kristen yang menceritakan tentang Yesus, kisah Yesus yang ditulis oleh para penulis Injil selalu mengaitkannya dengan akar keyahudian. Apa yang dikerjakan dan dilayankan oleh Yesus pada masa hidup-Nya ke-empat Injil menekankan keterkaitan Yesus dengan pusat religius bangsa Yahudi, yaitu Sinagoge dan Bait Allah. Hal ini dengan jelas diuraikan dalam tulisan-tulisan Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Misal: (Setelah dibabptis, Yesus) masuk ke dalam rumah ibadat (= Sinagoge) dan mengajar. (Mark. 1:21; lihat juga 6:2). Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakab Injil Kerajaan Allah (Mat. 4:23; lihat juga, 12:9; 13:54). Sementara itu Ia mengajar di rumah-rumah ibadat di situ dan semua orang memuji Dia (Lukas 4:15; lihat juga, 6:6; 13:10). Semuanya ini dikatakan Yesus di Kapernaum ketika Ia mengajar di rumah ibadat (Yoh. 6:59).
Lebih lanjut Lukas mengsahkan kebiasaan yang dilakukan oleh Yesus dengan mengajar orang banyak di pusat keagamaan Yahudi – Sinagoge dan Bait Allah – dilanjutkan oleh para pengikut-Nya. Petrus, setelah peristiwa Pentakosta berkhotbah di Yerusalem sebagai pusat kegiatannya adalah Bait Allah (Kisah 3:11-26). Dan, Paulus berulangkali hadir di Sinagoge pada hari Sabath dan mengajar tentang Yesus (Kisah 13:14; 14:1; 17:10; 18:4, 19).
Hal ini menandakan dengan kuat bahwa sebelum Injil ditulis Yesus sudah ditafsirkan melalui Kitab Suci Iberani dan dalam proses penafsiran ini kisah Yesus dibentuk oleh kisah Yahudi. Artinya, dalam Sinagoge-lah kisah Yesus diingat dan dibentuk selama periode lisan. Sehingga, sekali lagi untuk memahami gambaran Yesus asli kita perlu menempatan diri dalam dunia Yudea abad pertama.
Untuk memahami dunia Yudea, termasuk didalamnya liturgi Sinagoge yang secara pasti membentuk ingatan Kristen, bisa berangkat dari tekstual liturgi Sinagoge yang terdapat dalam Kisah 13:13-16. Dalam tradisi Sinagoge, liturgi yang ada diawali dengan pembacaan Hukum Taurat, ke-lima kitab Musa Kejadian sampai dengan Ulangan. Ini dibaca secara berkelanjutan pada setiap hari Sabath. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Kitab Nabi-nabi: pertama, Nabi-nabi terdahulu. Ini meliputi Kitab Yosua, Hakim-Hakim, 1 dan 2 Samuel berakhir 1 dan 2 Raja-Raja. Setelah itu baru membaca Kitab Nabi-Nabi kemudian (dimulai Kitab Yesaya Pertama, Yeremia dan Yehezkiel dan gulungan berikutnya adalah “Kitab 12 Nabi”, yang sering disebut Nabi-Nabi kecil. Bacaan-bacaan diatas diselingi Mazmur pujian dan doa, dilanjutkan dengan khotbah. Dalam liturgi seperti inilah Paulus berkhotbah tentang Yesus yang diawali pada kisah-kisah Alkitab Iberani.
Muncul pertanyaan, bagaimana para murid memahami kisah Yesus? Kisah Yesus yang dituturkan oleh para penulis Injil lebih pada tafsiran-tafsiran lewat kehidupan ibadah orang Yahudi, ketimbang tuturan-tuturan harfiah. Dan kisah Yesus ini beroleh makna hanya pada mereka yang beribadat di Sinagoge dan Bait Allah, sedang diluar tidak. Yang terpenting bagi penulis Injil adalah apa yang Yesus maksudkan dan apa yang mereka percaya telah mereka temukan melalui Yesus.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keterkaitan hubungan antar Paskah Yahudi dan penyaliban Yesus lebih merupakan hubungan liturgis, ketimbang hubungan historis. Untuk itulah para murid memahami Yesus sebagai Anak domba Paskah yang dalam kalender liturgi Yahudi dikenal sebagai Yom Kippur atau Hari Pendamaian.   Anak domba Paskah dan anak domba Yom Kippur dipandang sebagai yang menawarkan bentuk “keselamatan” melalui penumpahan darah.
Sebagai simbol Yom Kippur Yesus ditafsirkan dalam dua peran, yaitu sebagai domba yang tidak bercacat yang menjadi korban Yom Kippur, sekaligus domba yang menanggung dosa seluruh umat , menjadi kambing hitam. Dalam terang apokaliptik Yahudi, Yesus juga ditafsirkan dalam dua peran sang Mesias. Ia dipandang sebagai “Anak Manusia” surgawi, hakim terakhir dan juga sumber keutuhan kehidupan sekarang ini dalam dunia ini.
Dan masih dalam keterkaitan dengan tradisi suci yang dirayakan dan diingat di Sinagoge, Yesus juga dipahami oleh para murid sebagai: pertama, citra sang “hamba” membungkus ingatan akan Yesus. Yesus digambarkan sebagai hamba yang melampaui batas-batas Yahudi yang membawa keadilan bagi bangsa lain, terang dan keselamatan untuk dunia (Yes. 49:6).  “Hamba” ini harus memberi kemurahan Allah bagi semua orang (Yes. 55:1), membebaskan kehidupan (Yes. 42:7), untuk menyembuhkan orang (Yes. 42:7). Kedua, Yesus disebut sang “gembala”, kadang sang “raja gembala”. Ini adalah upaya penafsiran terhadap Yesus dari sudut pandang pengharapan mesianik tradisional. Sebab, dalam periode lisan dimungkinkan mereka mengembangkan harpan-harapan mesianik yang ditemukan berulang kali dalam Kitab Suci Yahudi dan dalam kesadaran Yahudi untuk menyusun kisah Yesus. Akhirnya, Yesus sejarah, seorang manusia, sungguh-sungguh manusia menjadi semakin kabur ketika kita menyadari kemungkinan bahwa sangat banyak gambaran Yesus dalam Injil-Injil merupakan penafsiran-penafsiran, ketimbang sebagai ingatan para saksi mata mengenai Yesus dalam sejarah. Namun Yesus sebagai sosok dalam sejarah dengan satu dan cara pandang yang lain telah melihat gambaran Alkitab ini lebih pas dan kena.
Tanggapan
Dalam dunia akademis, penalaran yang dilakukan oleh Spong adalah sesuatu yang menarik untuk terus diperdebatkan dalam diskusi-diskusi untuk mencari kebenaran ilmiah. Apa yang dilakukan Spong memang berdasar premis-premis yang sulit terbantahkan. Ia mendasarkan analisanya pada tulisan-tulisan Kitab Suci Kristen. Saya setuju dengan apa yang ditekankan Spong, bahwa untuk mencari dan menemukan gambaran Yesus asli kita harus menyelami, hadir dan terlibat secara langsung dalam tradisi yang membentuk kekristenan. Memahami pemikiran yang berkembang saat itu, pandangan teologi (baca: kebudayaan) yang ada dan kepercayaan masyarakat dimana Yesus pernah ada, hidup dan berkarya bersama dengan murid-murid-Nya. Karena ajaran apapun yang disampaikan oleh Yesus, yang dipahami oleh para murid dan kemudian dituliskan dalam Injil-Injil lepas dari konteks sosial-masyarakat waktu itu. Meskipun disisi lain Yesus dan ajaran-Nya dan tulisan para murid “berusaha” untuk menunjukan ke-perbedaan-nya dengan sejarah yang sudah membentuknya. Tetap terdapat kesinambungan dan ketidaksinambungan antara Yahudi dan Kekristenan yang dihasilkan oleh pengajaran Yesus. Ada kontinyuitas dan diskontinyuitas.
 Bagi saya, catatan yang patut diberikan kepada Spong adalah: pertama, kerja keras yang dilakukan untuk memahami gambaran Yesus asli, yang melampaui Kitab Suci, melampau kredo, melampau doktrin, melampaui dogma dan agama adalah usaha yang patut menerima apresiasi. Upaya Spong ini saya sebut dengan mencari orisinilitas sumber kepercayaan Kristen. Ia ingin menggali Kristen yang asali, karena otentisitas kepercayaan inilah yang penting bagi kehidupan manusia. Bagaimana seseorang dapat beragama secara otentik, tanpa ember-embel yang lain.
Kedua, usaha Spong memahami gambaran Yesus asli, yang melampaui Kitab Suci, melampau kredo, melampau doktrin, melampaui dogma dan agama, jika dipahami secara negatif adalah sesuatu yang jauh lebih konservatif dari apa yang dituduhkan Spong kepada gereja Katolik dan Protestan. Ungkapan Spong “Kekristenan dan Katolik lebih mengambil tindakan yang tidak bersentuhan dengan masa kini, lebih tradisional, lebih bertahan, lebih menyerang dan lebih histeria”, mungkin ia ingin mengatakan gereja sekarang terlalu eksklusif, tetapi disisi lain ia tidak ingin jatuh kepada pemahaman pluralis. Ia ingin menawarkan jalan tengah diantara kedua paham diatas, ekslusifisme dan pluralisme. Dengan catatan bahwa iman kepada Yesus tetap menjadi yang terutama, iman kepada Yesus melampaui agama dan dogma yang ada. Mungkin ini sejalan dengan apa yang disampaikan Karl Rahner, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada manusia didalam Yesus, tetapi penyataan Allah dalam Yesus tidak membatasi keselamatan hanya pada agama Kristen saja. Keselamatan bisa terjadi diluar agama Kristen. Tetapi meskipun keselamatan itu bisa terjadi dalam  agama-agama lain, dan dimanapun keselamatan itu terjadi, ia selalu berasal dari Yesus dan dikerjakan oleh Yesus karena Ialah satu-satunya “Jalan dan keselamatan”.
Ketiga, jika asumsi Spong bahwa pembentukan dan ingatan gambaran Yesus asli berasal dari tradisi Sinagoge, tidak demikian menurut saya. Ada hal yang tidak dipertimbangkan dan luput dari analisa Spong. Sumber tulisan-tulisan para murid – Injil-Injil – jelas menguraikan bahwa terjadi hubungan yang tidak baik antara Yesus dan pengikut-Nya dengan “penguasa” tradisi Sinagoge dan Bait Allah. “Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mendengar tentang peristiwa itu, dan mereka berusaha untuk membinasakan Dia” (Mark. 11:18). “Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat . . . . hati mereka sangat jengkel” (Mat. 21:15). “Imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa Israel berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu bagaimana harus melakukannya” (Lukas 19:47-48). Pertanyaanya, bagaimana mungkin pengajaran orang yang tidak disukai dan dimusuhi oleh ”penguasa” Sinagoge dan Bait Allah bisa berkembang subur disana? Dari uraian diatas sudah dapat dipastikan bahwa setiap Yesus memberikan pengajaran di Sinagoge, tidak mungkin kesempatan itu diberikan dengan leluasa. Itu artinya, ajaran Yesus tidak mungkin berkembang di Sinagoge dan Bait Allah, meskipun disisi lain kita tidak dapat menampik informasi bahwa Yesus, demikian pula muri-murid-Nya memberikan pengajaran tentang Yesus di Sinagoge dan Bait Allah.
Pasca Yesus disalibkan, sebelum tulisan-tulisan tentang-Nya berkembang, Lukas menghisahkan dengan gamblang ada penganiayaan terhadap orang-orang yang mengikuti Yesus. “Mereka menangkap rasul-rasul itu, lalu memasukan mereka ke dalam penjara kota” (Kisah 5:18). Mereka menyeret Stefanus, salah seorang pengikut Yesus dan melemparinya dengan batu sampai mati (Kisah 7:57-60). Terjadi juga penganiayaan yang hebat terhadap orang-orang yang setia kepada Yesus di Yerusalem (Kisah 8:1-3). Arti dari tulisan ini adalah tidak ada tempat bagi pengajaran tentang Yesus di tempat umum di Yerusalem, apalagi di Sinagoge dan Bait Allah yang menjadi simbol pusat kekuasaan Yahudi. Tulisan ini yang dilupakan oleh Spong, sehingga bagi saya;
Keempat, bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Spong, bagi saya ingatan tentang Yesus dan konsep yang membentuknya adalah simbol-simbol apokaliptik yang berkembang di kalangan pinggiran. Ingatan tentang Yesus tetap terngiang di telinga “orang banyak”,  yaitu mereka yang lapar, mereka yang terluka, mereka yang sakit, mereka yang lumpuh, mereka yang tuli, mereka yang bisu, mereka yang miskin, mereka yang “dinajiskan”, mereka yang tidak bertempat tinggal dan setiap mereka yang pernah menerima sentuhan cinta kasih Yesus semasa pelayanan-Nya. Ingat, semasa pelayanan-Nya Yesus sangat memperhatian orang-orang miskin, mereka yang mengalami keterasingan dengan sesamanya (misal: orang-orang yang sakit kusta), mereka yang mengalami keterasinan dan keterpisahannya dari lingkungan sosial (misal: pemanggilan Matius pemungut cukai), dan mereka yang mengalami ketakutan dan tekanan kemanusiaan, sehingga hidupnya terbelenggu.
Pemahaman apokaliptik Yahudi yang berkembang subur sebagaimana yang telah diuraikan oleh Spong, Yesus dipahami sebagai Anak domba Allah dalam Yom Kippur  atau Hari Pendamaian; Yesus sebagai “hamba” dan “gembala” yang membawa bangsa Israel keluar dari penderitaan yang mereka alami, justru menurut saya sangat pas dan cocok dengan situasi yang terjadi pada kelas sosial rendahan. Dan ini pula yang sebenarnya ingin ditunjukan oleh para penulis Injil dalam  proses pemilihan para murid yang dilakukan oleh Yesus. Yesus memilih para murid dari kalangan masyarakat “kelas dua” di dunia Yahudi. Dalam masyarakat inilah gambaran Yesus asli berkembang.

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...