Imanuel Teguh Harisantoso[2]
1. GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk
menghadap dan mewujudkan persekutuannya dengan Tuhan”.[3] Lebih lanjut dijelaskan
alasan penggunaan istilah “ibadah” lebih mengacu kepada dimensi relasi personal
dan komunal sebagai sebuah komunitas yang sedang berhimpun. Ibadah mengandung
maksud “hubungan vertikal antara persekutuan orang percaya dengan Tuhannya” dan
“hubungan antara orang percaya dengan sesamanya” (horisontal).[4]
2. GKJW meyakini bahwa dasar ibadah meliputi: pertama,
“tindakan dan panggilan Tuhan Allah kepada umatNya di mana Ia memberikan
wawasan, motivasi, kekuatan dan petunjukNya”; kedua, “kebutuhan dan
kewajiban orang percaya untuk memberikan jawaban terhadap panggilan Tuhan Allah
serta memuliakan namaNya”. Ibadah-ibadah yang dilakukan memiliki tujuan
“menumbuh-kembangkan persekutuan orang percaya, sehingga rencana karya Tuhan
Allah makin berlaku dan nyata di dunia, demi kemuliaan nama Allah Bapa, Yesus
Kristus dan Roh Kudus”.[5] Yang menarik dari
uangkapan di atas, gereja memberikan penekanan pada bagaimana ibadah jemaat itu
mengalami “menumbuh-kembangkan” (baca: pertumbuhan). Harapan Pranata GKJW bahwa
“ibadah” mengalami pertumbuhan, baik dari sisi kwalitas maupun ekspresinya
sesuai dengan dinamika zamannya. “Yang dimaksud menumbuh kembangkan tersebut
adalah menambah jumlah maupun bobot persekutuan yang mencakup jumlah ibadah,
jumlah yang hadir, jumlah persembahan, dinamika dan kreatifitas, peningkatan
penghayatan dan pemahaman, tidak statis, tidak monoton, tidak verbalitis dan
kontekstual”.
3. Dari rumusan “teologi ibadah” GKJW yang terekam dalam
Tata dan Pranata di atas dapat disimpulkan beberapa hal: pertama,
ibadah bagi gereja relasi personal orang percaya dengan
Tuhan secara vertikal dan hubungan komunalitas dengan sesama, secara
horisontal; kedua, ibadah merupakan perhimpunan orang-orang percaya satu
dengan yang lain yang merengkuh keragaman warga gereja. Tanpa harus
mempersoalkan faktor usia, jenis kelamin, kelompok, golongan, suku, termasuk di
dalamnya adalam orang-orang rentan dan disabilitas; ketiga, ekspresi
iman orang percaya dalam menumbuhkembangkan bobot dan kwalitas persekutuan. Dengan
kata lain, ibadah sangat erat kaitannya dengan persekutuan dan dengan demikian ia
akan bersentuhan dengan keragaman umat, termasuk di dalamnya disabilitas.
4. Bagaimana merumuskan dan membangun ibadah inklusi, yang tidak hanya terbuka bagi persoalan intergenerasi, cultural, bahkan agama, tetapi juga terbuka dan melibatkan secara aktif orang-orang rentan dan disabilitas. Tunggu ulasan lengkapnya di kegiatan zoominar di atas.....
[1] Tulisan ini
disampaikan dalam “Kelas Teologi Interaktif GKJW”. Malang, 25 Oktober 2023
[2] Pdt. GKJW yang
ditugaskan untuk mengajar di Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Penulis pernah
melayani di GKJW Jemaat Sidomulyo, Ambulu (Agustus 2005 – Juni 2011) dan Jemaat
Pronojiwo (Oktober 2013 – April 2019). Pengalaman mengajar pernah dialami di
UNEJ Jember, STT Efata Salatiga, STT Eolhim Malang dan sekarang di Fakultas
Teologi UKSW. Penulis aktif memberikan edukasi disabilitas dalam chanel youtube:
https://www.youtube.com/@sahabatdisabilitassalatiga
[3] Pranata tentang ibadah pasal 1. GKJW, Tata Dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan
(Malang: Majelis Agung GKJW, 1996), 58.
[4] Memori penjelasan pasal 1 tentang hakekat ibadah.
Ibid., 62.
[5] Dasar dan tujuan ibadah menurut Tata dan Pranata
Gereja. Ibid., 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar