GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Sabtu, 18 Agustus 2012

IDENTITAS POSKOLONIAL “GKJW” DI JAWA TIMUR



IDENTITAS POSKOLONIAL “GKJW” DI JAWA TIMUR

(Studi Poskolonial Terhadap Markus 7:24-30 dalam Konteks Greja Kristen Jawi Wetan)[1]
Oleh: Imanuel Teguh Harisantoso

Pengalaman: sebuah pengantar

Kegiatan bulan Kesaksian dan Pelayanan (kespel) di GKJW Jemaat Sidomulyo[2] tahun 2007 merupakan pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Kurang lebih satu bulan sebelum kegiatan kespel dimulai, saya melontarkan gagasan kendurenan di sawah dalam khotbah minggu dengan sebuah pertanyaan? Pernahkah warga jemaat sebelum mengawali kegiatan mengolah sawah, menanam dan sesudah musim tanam, dilanjutkan pada masa panen, berdoa kepada Tuhan? Dengan kata lain, slametan di sawah? Menyitir ungkapan Paulus kepada jemaat di Korintus, “Jemaat yang mengolah sawah, menanam dan mengaliri air ke lahan, tetapi Tuhan-lah yang memberi pertumbuhan, Tuhan-lah yang pada akhirnya memberikan buah dan hasil panen yang melimpah” (band. I Kor. 3:6-9). Teriknya panas matahari tidak membakar, dan derasnya air hujan adalah campur tangan Tuhan, berkat dan anugerahNya dalam memenuhi kebutuhan hidup petani dan tanaman yang ditanamnya. Karenanya sudah sepatutnya, jika para petani bersyukur kepada Sang Penguasa jagad di sekitar lokasi tanamannya.
Apa yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan diatas? Jemaat Sidomulyo adalah Jemaat agraris dan berdasarkan pengalaman (baca: observasi) selama melayani (sejak tahun 2005) disana, masayarakatnya sangat akrab dengan tradisi dan kebiasaan-kebiasaan sebagai masyarakat agraris Jawa. Kebiasaan yang berhubungan dengan cerita rakyat Dewi Sri dan Sadono, dengan membawa sesaji-sesaji tertentu ke sawah; kendurenan atau slametan mengenang kematian keluarga dari tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, sampai pada peringatan tahun-an (tahun pertama, kedua dan ketiga) menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Tetapi sangat disayangkan, karena pengalaman-pengalaman tradisional seperti itu sudah sulit “diidentifikasi sebagai pengalaman yang khas masyarakat Jawa agraris di Jemaat Sidomulyo” pada era sekarang ini.  Masyarakat Jawa yang sudah menjadi Kristen mengalami “ketakutan” untuk melakukan praktik-praktik tradisi seperti diatas, karena pelaku tradisi semacam itu dihadapan (sebagian besar) pemeluk agama import, Kristen,  mendapatkan “cap” atau “label”  kafir dan tidak ngristeni, meskipun pelaku praktik tradisi tersebut adalah orang Kristen dalam Jemaat yang sama.
Dari sini secara tidak langsung muncul apa yang disebut konstruksi identitas, pengkategorian dan pengelompokan “menjadi” antara Kristen dan tidak Kristen; antara yang ngristeni dan yang tidak ngristeni. Disatu sisi kelompok orang Kristen yang meninggalkan tradisi leluhurnya (Jawa), menjadi Kristen-Barat, dan disisi lain, komunitas Kristen yang setia melakukan praktik-praktik tradisi nenek moyang. Bagi kelompok Kristen yang tidak setuju untuk tetap memberlakukan tradisi leluhur, menganggap apa yang dilakukan oleh komunitas yang mempertahankan tradisi dan kebiasaan sebagai aktivitas nguja setan (memuja setan), gugon tuhon (mempercayai sesuatu yang takhayul) “yang layak untuk dicap kafir, pantas dihancurkan dan diganti.”[3] Sedang pihak yang lain menganggap, apa yang dilakukan dengan budaya adalah sebuah perwujudan ungkapan imannya terhadap sesuatu yang disebut Tuhan, dalam hal ini adalah Tuhan Yesus. 
Dalam konteks seperti diatas, mengingatkan saya pada peristiwa “percakapan Yesus dan Perempuan Siro-Fenisia” dalam teks Alkitab, Markus 7:24-30. Sangat tepat pendekatan poskolonial digunakan dalam menganalisa teks-teks Alkitab, mengingat teks Alkitab dalam banyak tempat bernuasa hegemonik (sugirtharajah). Perbincangan Yesus dan perempuan Siro-Fenisia, terkesan merupakan pembicaraan dua ideologi keagamaan dan sekaligus representatif dari dua bangsa yang sedang berada dalam konflik dominasi. Konflik identitas sebagai bangsa yang terpilih (baca: dominan = Barat?) dan bangsa kafir (inferior = third world?) yang membutuhkan “pertolongan”, “pengakuan” dan “pembebasan” dari ketidakberdayaanya.
Penyebutan kata “Perempuan” dan “Siro-Fenisia” (Matius: Kanaan) dengan tidak hormat dalam teks, menurut saya adalah gaya kolonial dan superioritas yang tinggi. Dan perempuan yang sedang berbicara dengan Yesus seolah mendapatkan identitas diri dari pelabelan (baca: stereotype) yang diberikan oleh mereka yang dominan.
Selanjutnya (sebagaimana Said katakan), keberadaan Yesus mendapatkan makna justru karena disitu terdapat perempuan Sir-Fenisia yang berada dalam posisi inferior. Pertanyaan yang sesuai dengan topik tulisan ini adalah, bagaimana identitas poskolonial “GKJW” di Jawa Timur dalam kaitannya dengan teks Markus 7:24-30?



Hermeneutik Poskolonial
Sebelum menguraikan daya gugat studi ini, saya mengawali bahasan ini dengan mengutip dua batasan yang digunakan dalam pendekatan semacam ini:
Pos-kolonial meliputi imperial seluruh budaya (all to cultural) melalui proses imperialisme yang dilakukan Eropa. Hal ini sangat berkaitan dengan kritik antar budaya baru yang sudah muncul dalam beberapa tahun terakhir dan wacana tersebut dilembagakan (...) Pos-kolonialisme adalah sebuah perlawanan (resistence) kepada kolonialisme, ideologi-ideologi kolonialis, dan warisan-warisan kolonialis dalam berbagai bentuk di zaman ini.[4]

Pos-kolonialisme sekarang digunakan secara luas dan merupakan cara pandang yang berbeda, dan analisis terhadap penaklukan-penaklukan oleh Eropa, berbagai institusi kolonialis Eropa, pemutusan operasi penguasa, konstruksi subjek secara halus dalam wacana kolonial dan perlawanan subjek, dan yang paling penting merupakan respon yang berbeda dari serangan-serangan kolonialis baik dalam berbagai aturan maupun  pasca kebebasan bangsa atau komunitas. Studi ini juga ditujukan pada produksi kultural komunitas, dan secara luas digunakan pada historical, political, sociological and economic analisys, sebagai disiplin yang berkaitan dengan dampak imperialisme eropa atas masyarakat dunia.[5]

Teori poskolonial menggunakan situasi kolonisasi untuk menyadarkan pembaca Alkitab sebagaimana berada dalam situasi terjajah, dan karenanya berupaya untuk melakukan negosiasi kearah pembebasan dan persamaan. Dibawah studi poskolonial, hermeneutik poskolonial membawa sebuah penyadaran diri bahwa Alkitab yang saya baca, tafsirkan dan khotbahkan kepada orang lain sangat dipengaruhi oleh konteks kekuasaan sosial-politik dan konstruksi identitas (baca: pelabelan). Teks Alkitab tidak jauh dari retorika sastra dan alat imperialisme. Tetapi tidak dapat dipungkiri, disisi lain teks Alkitab juga memproklamirkan suara-suara kenabian. Mengisahkan pembebasan dari situasi kolonial yang ber-visi keadilan sebagai tantangan ketidakadilan.
Sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kekinian, yang menekankan konteks aktual dimana penafsir hidup; yang memiliki dimensi pembebasan, dan kultural (Sugirtharajah); sebuah metode yang menantang hegemoni Barat (Lozada); mengedepankan Alkitab sebagai yang memiliki otoritas (Samartha), otoritas Alkitab yang mampu mendampingi dan menjawab permasalahan-permasalahan dalam konteks (baca: realitas) penafsir, ini sangat tepat untuk diperhadapkan dalam konteks Indonesia, Jawa secara khusus, termasuk pergumulan gereja didalamnya. Mengutip Levison yang menghubungkan konteks pembaca Alkitab dengan proses hermeneutik. Ia mengaitkan dengan realita utama di Asia. Pertama, teologi Asia harus mulai dari realita bangsa Asia; Alkitab berfungsi sebagai cermin kondisi biografi sosial-masyarakat. Kedua, beberapa teologi Asia mulai dengan realita sosial, misal perhatianya terhadap kemiskinan, ekologi,  seperti yang dikembangkan dalam teologi minjung Korea sebagai refleksi sosial. Ketiga, memberikan perhatian kepada realita ekonomi[6] yang terjadi di Asia sampai hari ini.
Studi poskolonial yang memberikan perhatian kepada “form of ideology criticism, which considers the socio-political context” dan pengebirian suara “yang lain” sebagai strategi kolonial, juga dapat digunakan untuk menganalisa secara serius isu-isu nasional seperti isu ras, jender, kelas sosial, suku, kewarganegaraan dan konstruksi kekuasaan politik  dalam bingkai sosial dan geografi.
Dalam pengertian semacam ini, meminjam istilah Freire dalam pendidikan, studi poskolonial membawa kesadaran diri manusia bahwa ia (pernah) berada dalam jalinan kolonialisme dan (sekarang) masih terkolonialisasi (poskolonialisasi) dengan gaya baru. Sadar bahwa dulu pernah menjadi bangsa jajahan oleh bangsa Eropa dan sekarang sulit (menghindari kata tidak) menghindari hegemoni ekonomi dunia (Barat). Poskolonial memberikan pengharapan baru, membebaskan setiap manusia yang berada dalam ketertindasan. Menggugah semangat bahwa Barat tidak akan ada artinya tanpa bangsa Timur. Barat memiliki arti karena keberadaan bangsa Timur (Said). Dari sini dapat dikembangkan, Asia, negara bekas koloni Barat, yang secara politis telah memperoleh kemerdekaan, harus betul-betul merasakan kemerdekaannya, tidak hanya secara politis, tetapi juga kultural dan ekonomi.

Mencari Akar Sejarah: Pengalaman Emde dan Coolen di Jawa Timur
Johanes Emde dan Conrad Lauren Coolen adalah dua corak yang bertolak belakang dalam mewartakan Kekristenan di Jawa Timur.[7]  Emde memberitakan Injil kepada orang-orang Jawa dan kemudian memberikan ketetapan “Kristen” lain diatas Dasa Titah dalam Perjanjian Lama kepada mereka, supaya orang-orang jawa yang sudah menerima tanda baptis, menjadi Kristen harus meninggalkan seluruh atribut ke-Jawa-annya:
1.      Kamu harus memangkas pendek rambutmu.
2.      Kamu harus melepas kain-kepala manakala berada di gereja.
3.      Janganlah kamu mendengarkan musik gamelan
4.      Janganlah kamu menghadiri pertunjukan wayang.
5.      Janganlah kamu disunat.
6.      Janganlah kamu menghadiri slametan.
7.      Janganlah kamu membaca sastra Jawa.
8.      Janganlah kamu merawat makam para nenek moyangmu.
9.      Janganlah kamu menghiasi makammu dengan bunga atau pohon-pohonan.
10.  Kamu harus melarang anak-anakmu bermain permainan kafir.[8] (Macanan, cirak, cakarwok  dan lintrik yang dipadankan dengan domino, permainan jengket dan main kartu).
Akibatnya, orang Jawa-Kristen bergaya hidup “ala Belanda”, rambut dipangkas pendek dan jarang memakai sarung, meskipun pola hidup yang demikian itu menimbulkan keresahan dari sesama Jawa-nya. “Perintah” Barat – Kristen (baca: Emde) ini, dikemudian hari menimbulkan “identitas baru” bagi masyarakat Jawa Timur yang sudah menerima tanda baptis, menjadi Kristen. Mereka dipanggil dengan sebutan “Londo ireng” (Belanda hitam) atau “Londo tanpa sepatu” (Belanda tidak bersepatu).
Apa yang dilakukan oleh Emde jauh dari bayangan Coolen, ia mengajarkan kepada orang-orang Jawa di Ngoro sangat kejawen. Ajarannya sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa. (Lepas dari apapun yang melatar belakangi ajarannya), Coolen tidak  memperbolehkan orang Jawa yang sudah menerima pembelajaran Kristen untuk “menjadi Belanda”, dibaptis, berambut pendek, apalagi berbusana dan bergaya ala Eropa. Haram baginya. Dalam pengajarannya Coolen juga sangat menekankan tradisi dan budaya konteks setempat, wiridan, tembang dan wayang adalah hal-hal yang akrab dengan kehidupannya. Pendek kata Coolen sebagai seorang Indo-Eropa lebih njawani (bersikap dan bergaya hidup sebagaimana orang Jawa hidup) dalam setiap pengajarannya.
Pengalaman tradisi, pengajaran yang kemudian hari berkembang menjadi “teologi” yang tumbuh di GKJW memunculkan polemik tersendiri. Emde melakukan pendekatan Alkitab berdasarkan pengalaman ke-Eropa-annya, sedang Coolen membaca Alkitab dari sudut pandang dirinya yang tumbuh dan dibesarkan dalam konteks masyarakat Jawa Mataram. Hal ini menghadirkan polarisasi yang saya sebut trikotomi: Eropa (Kristen-Emde), Jawa (Coolen) dan Palestina (Alkitab). Dampaknya sangat terasa sampai sekarang, dimana pergulatan ketiganya tumpang tindih, dan bahkan saling mendominasi.
Dominasi semakin nampak ketika pengambilaalihan pewartaan Injil di Jawa Timur oleh lembaga zending yang notabene sangat berkepentingan dan mimikri dengan cara-cara kolonialis. Hal ini berlanjut dalam struktural gereja, ada pembagian: Pendeta zending dan Pendeta pribumi; warga asing (Eropa) sebagai anggota jemaat istimewa dibandinkan dengan warga jemaat biasa (Jawa).

“Yesus” dan “Perempuan Siro-Fenisia”: Konstruksi Identitas
Teks yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) perempuan Siro-Fenisia yang percaya (Mark. 7:24-30) menggambarkan sebuah cibiran konstruksi identitas diantara Yesus dan seorang ibu. Konstruksi identitas tersebut semakin nampak, ketika banyak orang mengetahui bahwa Yesus  adalah seorang Yahudi dan ibu (tadi) berasal dari Yunani bangsa Siro-Fenisia.[9] Hubungan dua insan yang berbeda warga negara dan latar belakang kebudayaan masa lalu memunculkan superioritas dan inferioritas identitas sejak dulu sampai sekarang yang menjadi ciri hubungan bangsa yang mengkolonisasi dan terkolonisasi. Kolonialisme seringkali berupaya membentuk budaya dan identitas pribumi berdasarkan konstruksi budaya kolonial.
Yesus berkata kepada perempuan itu, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”  Tetapi perempuan itu menjawab, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (ayat 27-28, yang bergaris bawah tambahan penulis). Konstruksi identitas penguasa (Yesus) terhadap si ibu (yang dikuasai) akan semakin jelas jika kita membandingkan teks diatas dengan tulisan Matius (15:21-28), “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Kata perempuan itu, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.”
“Roti yang dijatuhkan anak-anak” (Markus), “roti yang jatuh dari meja tuannya” (Matius), “dilemparkan kepada anjing[10]” dan “perempuan Yunani bangsa Siro-Fenisia” adalah upaya formula (membentuk) identitas diri yang dilakukan oleh yang superior kepada yang inferior. Bahasa sarkasme, “sudah disebut perempuan, ditambah anjing lagi.” Panggilan “anjing” kepada perempuan Yunani berbangsa Siro-Fenisia adalah upaya untuk menjadikan perempuan tersebut “ke-Yahudi-Yahudi-an”[11] yang merefleksikan representasi sebuah bangsa yang mendominasi kebudayaan bangsa lain. Sebagai konsekuensi, otentisitas identitas perempuan Siro-Fenisia terdistorsi, mengalami perubahan dan karenanya melahirkan hibriditas identitas yang ambigu. Ibu Siro-Fenisia (syrophoinikissa) ini tidak lagi berada dalam otentisitas identitas orang Yunani dari daerah Tirus, tetapi sebuah identitas yang sudah terkontaminasi dengan latar belakang negara Romawi[12] dan kebudayaan Yahudi. Dalam posisi seperti ini, identitas perempuan Siro-Fenisia menjadi in between space yang membentuk hibriditas identitasnya.  
Penempatan istilah ‘hibrid’ menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhabha menambahkan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik mereka.[13] Inilah yang terjadi dengan perempuan Siro-Fenisia. Sebagai pribadi dan sekaligus bangsa yang inferior, disatu sisi ia menerima formula (pembentukan), konstruksi identitas dan pelabelan citra yang ditanamkan oleh oleh Yesus yang mewakili Penjajah, tetapi sekaligus ia melakukan resistensi dan perlawanan terhadap penguasa Romawi dan Yahudi. Artinya, ia berusaha untuk menghindar dari konstruksi identitas yang ditanamkan kepadanya. Dan saya saya rasa dalam proses pembentukan identitas, akhirnya ia mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang dikehendakinya (ayat29-30), meskipun ia juga tidak dapat menghindar dari pembentukan citra diri tersebut. Ketika berjumpa dengan Yesus, si ibu ini tidak dapat lepas dari konstruksi  identitas “di-Yahudi-kan” (anjing) kepadanya. Tetapi ketika ia “kembali” dalam kehidupan yang “terbebas” dari pengaruh Yesus (baca: Yahudi dan Romawi) ia menjadi perempuan Siro-Fenisia. Konstruksi identitas sebagai “perempuan Yahudi” dan “perempuan Siro-Fenisa” melingkar dan melanggeng dalam diri si ibu yang melakukan translokasi Yahudi-Siro-Fenisia.
Yesus dan perempuan Siro-Fenisia dalam cerita yang dikisahkan oleh Penulis Markus (juga oleh Matius) pada dasarnya menegaskan perbedaan identitas mereka. Yesus direfleksikan sebagai representasi bangsa superior, tuan (Matius), umat pilihan Allah dan bangsa yang dipilih untuk menyelamatkan perempuan Siro-Fenisia, sebagai representasi kaum terjajah, bangsa yang harus di-Yahudi-kan (baca: selamatkan) dan komunitas hamba yang tereksploitasi oleh hegemoni Yudais.
Tirus (juga Sidon) dalam karakter perempuan Siro-Fenisia terus ter-steretype dan mendapatkan citra sebagai daerah yang terjajah mulai dari kejayaan Mesir sampai pada pengaruh Iskandar Agung, meskipun ia mendapatkan otonomi untuk mengelola daerahnya sendiri. Kafir dan patut untuk diselamatkan adalah konstruksi identitas religius yang ditanamkan. Ironisnya, bangsa terjajah, Tirus dan perempuan Siro-Fenisia tersebut menerima konstruksi identitas yang ditanamkan kepadanya. Dengan mencitrakan sebagai hamba, kaum rendahan dan kafir, Yesus melegitimasi Tirus dan segenap rakyatnya untuk berupaya terus-menerus mencari keselamatan, meskipun sebenarnya semua itu dilakukan untuk kepentingan kolonial.

Identitas Poskolonial Antara Masa Coolen-Emde dan GKJW

Sebagaimana teks sastra Markus (juga Matius) yang mengisahkan percakapan “Yesus” dan “perempuan Siro-Fenisia”, kisah misionaris (Indo) Barat, Coolen dan Emde di Ngoro dan Surabaya Jawa Timur menggambarkan dialektika antara yang superior dan inferior. Yahudi sebagai pusat kegiatan religius dan kebudayaan Yudaisme berpadanan dengan Belanda yang menjadi pusat kolonialis, yang mengeksploitasi Indonesia dengan janji-janji keselamatan demi kejayaan misionaris Eropa.

Tokoh misionaris Coolen dan Emde yang meng-Kristen-kan (baca: mem-Barat-kan) orang-orang Jawa di Indonesia adalah representasi dari upaya kolonial untuk menjadikan orang Jawa sebagai ke-Belanda-Belanda-an. Seperti tokoh Yesus dalam cerita “perempuan Siro-Fenisia yang percaya” adalah upaya untuk meng-konstruksi identitas dan citra masyarakat Jawa. Coolen dan Emde (demikian juga misionaris Barat lainnya) melakkan pengkristenan dengan kuasa “untuk memberikan nama-nama kepada orang-orang Kristen baru dan untuk mengendalikan mereka, kuasa untuk mengubah mereka dan mengasingkan mereka dari akar budayanya.”[14] Nama Jawa Ditotaruno harus berganti dengan Abisai Ditotaruno, kemudian nama Tosari harus dikonstruksi menjadi Paulus Tosari. Apa hubungan antara Abisai dan Ditotaruno atau Paulus dengan Tosari? Nama-nama tersebut, tentunya tidak ada kaitannya satu dengan yang lain.
jelas, kini nama Ditotaruno dan Tosari sudah terkonstruksi menjadi Abisai dan paulus, yang bukan siapa-siapa bagi mereka. Ditotaruno dan Tosari menjadi terasing dari budaya Jawa yang sudah membentuk dirinya sejak lahir. Dari sini, muncul stereotype yang ditanamkan oleh para misionaris, “kami mempunyai nama-nama yang lebih baik untuk kalian – nama-nama Kristen. Mulai sekarang kalian akan dipanggil Abisai, Paulus.[15]
Dialektika wacana poskolonial semakin menarik ketika upaya peng-Kristen-an yang dilakukan Coolen dan Emde ditindaklanjuti dan dikembangkan oleh badan zending NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap), lembaga misi Belanda yang didirikan tahun 1797. Ini merupakan awang pembimbingan (baca: penguasaan) zending yang akan berlangsung terus sampai lahirnya GKJW tahun 1931. Sebagai bagian dari sistem imperialisme, misionaris dengan NZG-nya juga mengeksploitasi dan mereduksi sistem kepercayaan dan budaya Jawa. Mereka tidak membunuh masyarakat Jawa dengan senjata, tetapi menancapkan menara gedung gereja dengan gaya arsitektur eropa, yang secara perlahan tetapi pasti “membunuh” arsitektur dan gaya bangunan Jawa, didalamnya termasuk sistem keyakinan dan kepercayaannya.
Konstruksi identitas Jawa menjadi ke-Barat-Barat-an dalam bentuk arsitektur bangunan gereja menjadi bukti yang tidak terbantahkan hibriditas orang-orang Jawa Kristen di Jawa Timur dalam “bangunan GKJW”. Sayang, GKJW tidak dapat melapaskan diri dari bayang-bayang dominasi NZG, yang berganti rupa dalam bentuk gereja mitra di Belanda dan globalisasi, meskipun ada upaya resist terhadap dominasi asing. Resistensi GKJW tergambar dari sikap Coolen ketika mengajarkan kekristenan kepada masyarakat di Ngoro Jawa Timur, dengan tetap menghargai dan membiarkan tradisi dan budaya Jawa (wayang, tembang dan seni Jawa yang lain) bersanding dengan kebiasaan Kristen-Barat.
Pengalaman Coolen – GKJW – memberikan pengharapan, orang-orang Jawa (Timur), Indonesia akan bisa sejajar dengan Belanda. Dan lepas dari maksud terselubung NZG atas berdirinya GKJW, pengakuan berdirinya Greja Kristen Jawi Wetan di Jawa Timur tahun 1931 adalah bukti mimpi yang mulai berwujud dalam kemandirian Gereja Jawa di Jawa Timur.

Kesimpulan

Naskah Markus 7:24-30 yang oleh LAI diberikan judul “Perempuan Siro-Fenisia yang percaya” dan aktifitas penginjilan yang dilakukan oleh C.L.Coolen di Ngoro dan J.Emde di Surabaya Jawa Timur adalah dialektika antara Yahudi dan Yunani atau Belanda (NZG) dengan Jawa Timur (Indonesia), yang diidentikan dengan hubungan antara yang superior dan inferior. Yesus yang memiliki identitas superior melabeli perempuan Siro-Fenisia dengan sebutan anjing, demikian juga para penginjil yang “diberikan kuasa” mengganti nama-nama orang Jawa Timur dengan nama-nama “yang lebih baik” – nama-nama Kristen.
Resistensi yang dilakukan oleh perempuan Siro-Fenisia dan tokoh Coolen sendiri oleh dominasi zending Belanda semakin melegitimasi sifat superioritas bangsa kolonial. Karenanya untuk keluar dari konstruksi identitas yang lebih dalam, perempuan Siro-Fenisia, demikian juga GKJW membutuhkan keyakinan akan jatidiri dan kepercayaan diri untuk dapat meraih mimpi lepas dari stereotype inferior dan lemah, untuk meraih kesetaraan dan kesejajaran dengan yang superior.***

Daftar Pustaka

Akkeren, Philip van, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja pribumi di Jawa Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. 1997.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. 1997.
Huang Po Ho, No Longer a Stranger: Toward the construction of contextual theologies. Tiruvalla: CSS Books. 2007.
Pamungkas, Arie Setyaningrum,  Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial
” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Artikel dari Internet).
Sinaga, Martin Lukito, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Sir, Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII. Malang: GKJW – Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1975.
Song, C.S., Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta:BPK-GM, 2004.



[1] Penulisan Greja Kristen Jawi Wetan yang kemudian disingkat GKJW mengacu pada Tata dan Pranata GKJW, bagian  Tata Gereja bab 1 pasal 1 dan 2. (Tata dan Pranata GKJW, 1996. Hal. 4).
[2] Jemaat Sidomulyo  merupakan Jemaat (Gereja) yang berada di wilayah Kabuapeten Jember bagian selatan. Daerah ini merupakan salah satu sentra pertanian pangan (padi dan jagung) dan tanaman industri (tembakau) yang menjadi andalan pendapatan Kabupaten Jember. Ia berada lebih kurang 3 KM utara pantai Watu Ulo, Ambulu – Jember. Sidomulyo adalah pedukuhan yang memiliki penduduk hampir seluruhnya beragama Kristen Protestan (GKJW).
[3] Ho, Huang po, No Longer a Stranger: Toward the construction of contextual theologies. Tiruvalla: CSS Books. 2007. 32.
[4] Laura E. Donaldson, Postcolonialism and Biblical Rading: An Introduction. Dalam Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS, 2004, 13.
[5] Ashcroft, et al., Key Consepts in Post-Colonial Studies. Dalam Martin L. Sinaga, ibid, 13.
[6] Yusak B. Setyawan, Postcolonial Hermeneutics. Bahan kuliah Semester Antara 2011/2012, 20
[7] Informasi lebih lengkap tentang keduanya dapat dibaca dalam  Handoyomarno Sir, Benih Yang Tumbuh VII. Malang: GKJW – Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1975; Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja pribumi di Jawa Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994.
[8] Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja pribumi di Jawa Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994. 107-108.
[9] Tirus, menurut Herodotus didirikan kira-kira pada tahun 2.700 sM. Pernah menjadi daerah koloni Mesir dan setelah kejayaan Mesir pudar ia merdeka. Pada tahun 803 sM, harus membayar upeti kepada Adad Nirari III, raja Asyur, akhirnya jatuh bersama Samaria ke tangan Sargon II tahun 722 sM.
Pada zaman Iskandar Agung, tahun 332 sM Tirus mengalami banyak kehilangan  dan kemudian masa Herodes I, ia membangun kuil utama yang masih berdiri pada saat Yesus mengunjungi daerah tersebut. Dan Ia menyebut Tirus sebagai kota kafir yang akan memikul hukuman (Matius 11:21-22; Lukas 10:13-14). (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, 1997. 484-485.
[10] Umumnya di daerah Timur Tengah, anjing pada dasarnya adalah binatang pemakan bangkai; dan kendati anjing sangat berguna untuk menghabiskan hidangan yang terbuang, pada kodratnya anjing adalah kotor dan merupakan pembawa penyakit, justru tak dapat dijamah tanpa yang menjamahnya menjadi najis. (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, 1997. 54).
[11] Bandingkan Filiphi 3:2
[12] Tirus (dan Sidon), pada zaman Perjanjian Baru merupakan salah satu wilayah propinsi kekaisaran Romawi.
[13] Arie Setyaningrum Pamungkas,  Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial
” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Internet).
[14] C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta:BPK-GM, 2004. 7.
[15] C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, 11. Yang bergaris bawah tambahan penulis.

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...