IDENTITAS POSKOLONIAL “GKJW” DI JAWA TIMUR
(Studi
Poskolonial Terhadap Markus 7:24-30 dalam Konteks Greja Kristen Jawi Wetan)[1]
Oleh:
Imanuel Teguh Harisantoso
Pengalaman: sebuah pengantar
Kegiatan bulan
Kesaksian dan Pelayanan (kespel) di GKJW Jemaat Sidomulyo[2] tahun
2007 merupakan pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Kurang lebih satu bulan
sebelum kegiatan kespel dimulai, saya melontarkan gagasan kendurenan di sawah dalam khotbah minggu dengan sebuah pertanyaan? Pernahkah warga jemaat sebelum mengawali
kegiatan mengolah sawah, menanam dan sesudah musim tanam, dilanjutkan pada masa
panen, berdoa kepada Tuhan?
Dengan kata lain, slametan di sawah?
Menyitir ungkapan Paulus kepada jemaat di Korintus, “Jemaat yang mengolah
sawah, menanam dan mengaliri air ke lahan, tetapi Tuhan-lah yang memberi
pertumbuhan, Tuhan-lah yang pada akhirnya memberikan buah dan hasil panen yang
melimpah” (band. I Kor. 3:6-9). Teriknya panas matahari tidak membakar, dan
derasnya air hujan adalah campur tangan Tuhan, berkat dan anugerahNya dalam
memenuhi kebutuhan hidup petani dan tanaman yang ditanamnya. Karenanya sudah
sepatutnya, jika para petani bersyukur kepada Sang Penguasa jagad di sekitar lokasi
tanamannya.
Apa yang
melatarbelakangi munculnya pertanyaan diatas? Jemaat Sidomulyo adalah Jemaat
agraris dan berdasarkan pengalaman (baca: observasi) selama melayani (sejak
tahun 2005) disana, masayarakatnya sangat akrab dengan tradisi dan
kebiasaan-kebiasaan sebagai masyarakat agraris Jawa. Kebiasaan yang berhubungan
dengan cerita rakyat Dewi Sri dan Sadono, dengan membawa sesaji-sesaji
tertentu ke sawah; kendurenan atau slametan mengenang kematian keluarga
dari tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, sampai pada
peringatan tahun-an (tahun pertama, kedua dan ketiga) menjadi sesuatu yang
lazim terjadi. Tetapi sangat disayangkan, karena pengalaman-pengalaman
tradisional seperti itu sudah sulit “diidentifikasi sebagai pengalaman yang
khas masyarakat Jawa agraris di Jemaat Sidomulyo” pada era sekarang ini. Masyarakat Jawa yang sudah menjadi Kristen
mengalami “ketakutan” untuk melakukan praktik-praktik tradisi seperti diatas, karena
pelaku tradisi semacam itu dihadapan (sebagian besar) pemeluk agama import, Kristen,
mendapatkan “cap” atau “label” kafir dan tidak
ngristeni, meskipun pelaku praktik tradisi tersebut adalah orang Kristen
dalam Jemaat yang sama.
Dari sini secara tidak langsung muncul apa yang
disebut konstruksi identitas,
pengkategorian dan pengelompokan “menjadi” antara Kristen dan tidak Kristen;
antara yang ngristeni dan yang tidak ngristeni. Disatu sisi kelompok
orang Kristen yang meninggalkan tradisi leluhurnya (Jawa), menjadi
Kristen-Barat, dan disisi lain, komunitas Kristen yang setia melakukan
praktik-praktik tradisi nenek moyang. Bagi kelompok Kristen yang tidak setuju
untuk tetap memberlakukan tradisi leluhur, menganggap apa yang dilakukan oleh
komunitas yang mempertahankan tradisi dan kebiasaan sebagai aktivitas nguja setan (memuja setan), gugon tuhon (mempercayai sesuatu yang
takhayul) “yang layak untuk dicap kafir, pantas dihancurkan dan diganti.”[3]
Sedang pihak yang lain menganggap, apa yang dilakukan dengan budaya adalah
sebuah perwujudan ungkapan imannya terhadap sesuatu yang disebut Tuhan, dalam
hal ini adalah Tuhan Yesus.
Dalam konteks seperti diatas, mengingatkan saya pada
peristiwa “percakapan Yesus dan
Perempuan Siro-Fenisia” dalam teks Alkitab, Markus 7:24-30. Sangat tepat pendekatan poskolonial digunakan dalam
menganalisa teks-teks Alkitab, mengingat teks Alkitab dalam banyak tempat
bernuasa hegemonik (sugirtharajah). Perbincangan Yesus dan perempuan
Siro-Fenisia, terkesan merupakan pembicaraan dua ideologi keagamaan dan sekaligus representatif dari dua bangsa yang sedang berada dalam
konflik dominasi. Konflik identitas
sebagai bangsa yang terpilih (baca: dominan = Barat?) dan bangsa kafir
(inferior = third world?) yang
membutuhkan “pertolongan”, “pengakuan” dan “pembebasan” dari
ketidakberdayaanya.
Penyebutan kata “Perempuan” dan “Siro-Fenisia”
(Matius: Kanaan) dengan tidak hormat dalam teks, menurut saya adalah gaya
kolonial dan superioritas yang tinggi. Dan perempuan yang sedang berbicara
dengan Yesus seolah mendapatkan identitas
diri dari pelabelan (baca: stereotype)
yang diberikan oleh mereka yang dominan.
Selanjutnya (sebagaimana Said katakan), keberadaan
Yesus mendapatkan makna justru karena disitu terdapat perempuan Sir-Fenisia
yang berada dalam posisi inferior. Pertanyaan yang sesuai dengan topik tulisan
ini adalah, bagaimana identitas poskolonial “GKJW” di Jawa Timur dalam
kaitannya dengan teks Markus 7:24-30?
Hermeneutik Poskolonial
Sebelum menguraikan daya
gugat studi ini, saya mengawali bahasan ini dengan mengutip dua batasan yang
digunakan dalam pendekatan semacam ini:
Pos-kolonial meliputi imperial seluruh budaya (all to cultural) melalui proses
imperialisme yang dilakukan Eropa. Hal ini sangat berkaitan dengan kritik antar
budaya baru yang sudah muncul dalam beberapa tahun terakhir dan wacana tersebut
dilembagakan (...) Pos-kolonialisme adalah sebuah perlawanan (resistence) kepada kolonialisme,
ideologi-ideologi kolonialis, dan warisan-warisan kolonialis dalam berbagai
bentuk di zaman ini.[4]
Pos-kolonialisme sekarang digunakan secara luas
dan merupakan cara pandang yang berbeda, dan analisis terhadap
penaklukan-penaklukan oleh Eropa, berbagai institusi kolonialis Eropa,
pemutusan operasi penguasa, konstruksi subjek secara halus dalam wacana
kolonial dan perlawanan subjek, dan yang paling penting merupakan respon yang
berbeda dari serangan-serangan kolonialis baik dalam berbagai aturan
maupun pasca kebebasan bangsa atau
komunitas. Studi ini juga ditujukan pada produksi kultural komunitas, dan
secara luas digunakan pada historical,
political, sociological and economic analisys, sebagai disiplin yang
berkaitan dengan dampak imperialisme eropa atas masyarakat dunia.[5]
Teori poskolonial menggunakan situasi kolonisasi
untuk menyadarkan pembaca Alkitab sebagaimana berada dalam situasi terjajah,
dan karenanya berupaya untuk melakukan negosiasi kearah pembebasan dan
persamaan. Dibawah studi poskolonial, hermeneutik poskolonial membawa sebuah
penyadaran diri bahwa Alkitab yang saya baca, tafsirkan dan khotbahkan kepada
orang lain sangat dipengaruhi oleh konteks kekuasaan sosial-politik dan
konstruksi identitas (baca: pelabelan). Teks Alkitab tidak jauh dari retorika
sastra dan alat imperialisme. Tetapi tidak dapat dipungkiri, disisi lain teks
Alkitab juga memproklamirkan suara-suara kenabian. Mengisahkan pembebasan dari
situasi kolonial yang ber-visi keadilan sebagai tantangan ketidakadilan.
Sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada aspek
kekinian, yang menekankan konteks aktual dimana penafsir hidup; yang memiliki
dimensi pembebasan, dan kultural (Sugirtharajah); sebuah metode yang menantang
hegemoni Barat (Lozada); mengedepankan Alkitab sebagai yang memiliki otoritas
(Samartha), otoritas Alkitab yang mampu mendampingi dan menjawab
permasalahan-permasalahan dalam konteks (baca: realitas) penafsir, ini sangat
tepat untuk diperhadapkan dalam konteks Indonesia, Jawa secara khusus, termasuk
pergumulan gereja didalamnya. Mengutip Levison yang menghubungkan konteks
pembaca Alkitab dengan proses hermeneutik. Ia mengaitkan dengan realita utama
di Asia. Pertama, teologi Asia harus
mulai dari realita bangsa Asia; Alkitab berfungsi sebagai cermin kondisi
biografi sosial-masyarakat. Kedua,
beberapa teologi Asia mulai dengan realita sosial, misal perhatianya terhadap
kemiskinan, ekologi, seperti yang
dikembangkan dalam teologi minjung
Korea sebagai refleksi sosial. Ketiga,
memberikan perhatian kepada realita ekonomi[6]
yang terjadi di Asia sampai hari ini.
Studi poskolonial yang memberikan perhatian kepada “form of ideology criticism, which considers
the socio-political context” dan pengebirian suara “yang lain” sebagai
strategi kolonial, juga dapat digunakan untuk menganalisa secara serius isu-isu
nasional seperti isu ras, jender, kelas sosial, suku, kewarganegaraan dan
konstruksi kekuasaan politik dalam
bingkai sosial dan geografi.
Dalam pengertian semacam ini, meminjam istilah Freire dalam pendidikan, studi
poskolonial membawa kesadaran diri manusia bahwa ia (pernah) berada dalam
jalinan kolonialisme dan (sekarang) masih terkolonialisasi (poskolonialisasi)
dengan gaya baru. Sadar bahwa dulu pernah menjadi bangsa jajahan oleh bangsa
Eropa dan sekarang sulit (menghindari kata tidak) menghindari hegemoni ekonomi
dunia (Barat). Poskolonial memberikan pengharapan baru, membebaskan setiap
manusia yang berada dalam ketertindasan. Menggugah semangat bahwa Barat tidak
akan ada artinya tanpa bangsa Timur. Barat memiliki arti karena keberadaan bangsa
Timur (Said). Dari sini dapat dikembangkan, Asia, negara bekas koloni Barat,
yang secara politis telah memperoleh kemerdekaan, harus betul-betul merasakan
kemerdekaannya, tidak hanya secara politis, tetapi juga kultural dan ekonomi.
Mencari Akar Sejarah: Pengalaman
Emde dan Coolen di Jawa Timur
Johanes Emde dan Conrad Lauren Coolen adalah dua
corak yang bertolak belakang dalam mewartakan Kekristenan di Jawa Timur.[7] Emde memberitakan Injil kepada orang-orang
Jawa dan kemudian memberikan ketetapan “Kristen” lain diatas Dasa Titah dalam
Perjanjian Lama kepada mereka, supaya orang-orang jawa yang sudah menerima
tanda baptis, menjadi Kristen harus meninggalkan seluruh atribut ke-Jawa-annya:
1.
Kamu harus memangkas pendek rambutmu.
2.
Kamu harus melepas kain-kepala manakala berada
di gereja.
3.
Janganlah kamu mendengarkan musik gamelan
4.
Janganlah kamu menghadiri pertunjukan wayang.
5.
Janganlah kamu disunat.
6.
Janganlah kamu menghadiri slametan.
7.
Janganlah kamu membaca sastra Jawa.
8.
Janganlah kamu merawat makam para nenek moyangmu.
9.
Janganlah kamu menghiasi makammu dengan bunga
atau pohon-pohonan.
10.
Kamu harus melarang anak-anakmu bermain
permainan kafir.[8]
(Macanan, cirak, cakarwok dan lintrik
yang dipadankan dengan domino, permainan
jengket dan main kartu).
Akibatnya, orang Jawa-Kristen bergaya hidup “ala Belanda”, rambut
dipangkas pendek dan jarang memakai sarung, meskipun pola hidup yang demikian
itu menimbulkan keresahan dari sesama Jawa-nya. “Perintah” Barat – Kristen
(baca: Emde) ini, dikemudian hari menimbulkan “identitas baru” bagi masyarakat
Jawa Timur yang sudah menerima tanda baptis, menjadi Kristen. Mereka dipanggil
dengan sebutan “Londo ireng” (Belanda hitam) atau “Londo tanpa sepatu” (Belanda
tidak bersepatu).
Apa yang dilakukan oleh Emde jauh dari bayangan
Coolen, ia mengajarkan kepada orang-orang Jawa di Ngoro sangat kejawen. Ajarannya
sangat kental dengan tradisi dan budaya Jawa. (Lepas dari apapun yang melatar
belakangi ajarannya), Coolen tidak
memperbolehkan orang Jawa yang sudah menerima pembelajaran Kristen untuk
“menjadi Belanda”, dibaptis, berambut pendek, apalagi berbusana dan bergaya ala
Eropa. Haram baginya. Dalam pengajarannya Coolen juga sangat menekankan tradisi
dan budaya konteks setempat, wiridan,
tembang dan wayang adalah hal-hal yang akrab dengan kehidupannya. Pendek
kata Coolen sebagai seorang Indo-Eropa lebih njawani (bersikap dan bergaya hidup sebagaimana orang Jawa hidup)
dalam setiap pengajarannya.
Pengalaman tradisi, pengajaran yang kemudian hari
berkembang menjadi “teologi” yang tumbuh di GKJW memunculkan polemik
tersendiri. Emde melakukan pendekatan Alkitab berdasarkan pengalaman
ke-Eropa-annya, sedang Coolen membaca Alkitab dari sudut pandang dirinya yang
tumbuh dan dibesarkan dalam konteks masyarakat Jawa Mataram. Hal ini
menghadirkan polarisasi yang saya sebut trikotomi:
Eropa (Kristen-Emde), Jawa (Coolen)
dan Palestina (Alkitab). Dampaknya
sangat terasa sampai sekarang, dimana pergulatan ketiganya tumpang tindih, dan
bahkan saling mendominasi.
Dominasi semakin nampak ketika pengambilaalihan
pewartaan Injil di Jawa Timur oleh lembaga zending yang notabene sangat
berkepentingan dan mimikri dengan
cara-cara kolonialis. Hal ini berlanjut dalam struktural gereja, ada pembagian:
Pendeta zending dan Pendeta pribumi; warga asing (Eropa) sebagai anggota jemaat
istimewa dibandinkan dengan warga jemaat biasa (Jawa).
“Yesus” dan “Perempuan
Siro-Fenisia”: Konstruksi Identitas
Teks yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI) perempuan Siro-Fenisia
yang percaya (Mark. 7:24-30) menggambarkan sebuah cibiran konstruksi
identitas diantara Yesus dan seorang ibu. Konstruksi identitas tersebut semakin
nampak, ketika banyak orang mengetahui bahwa Yesus adalah seorang Yahudi dan ibu (tadi) berasal
dari Yunani bangsa Siro-Fenisia.[9] Hubungan
dua insan yang berbeda warga negara dan latar belakang kebudayaan masa lalu
memunculkan superioritas dan inferioritas identitas sejak dulu sampai sekarang
yang menjadi ciri hubungan bangsa yang mengkolonisasi dan terkolonisasi.
Kolonialisme seringkali berupaya membentuk budaya dan identitas pribumi
berdasarkan konstruksi budaya kolonial.
Yesus berkata kepada perempuan itu,
“Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan
bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Tetapi perempuan itu menjawab, “Benar, Tuhan.
Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan
anak-anak.” (ayat 27-28, yang bergaris bawah tambahan penulis). Konstruksi identitas
penguasa (Yesus) terhadap si ibu (yang dikuasai) akan semakin jelas jika kita
membandingkan teks diatas dengan tulisan Matius (15:21-28), “Tidak patut
mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada
anjing.” Kata perempuan itu, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah
yang jatuh dari meja tuannya.”
“Roti yang dijatuhkan anak-anak” (Markus), “roti
yang jatuh dari meja tuannya” (Matius), “dilemparkan kepada anjing[10]” dan
“perempuan Yunani bangsa Siro-Fenisia” adalah upaya formula (membentuk)
identitas diri yang dilakukan oleh yang superior kepada yang inferior. Bahasa
sarkasme, “sudah disebut perempuan, ditambah anjing lagi.” Panggilan “anjing”
kepada perempuan Yunani berbangsa Siro-Fenisia adalah upaya untuk menjadikan
perempuan tersebut “ke-Yahudi-Yahudi-an”[11]
yang merefleksikan representasi sebuah bangsa yang mendominasi kebudayaan
bangsa lain. Sebagai konsekuensi, otentisitas identitas perempuan Siro-Fenisia
terdistorsi, mengalami perubahan dan karenanya melahirkan hibriditas identitas
yang ambigu. Ibu Siro-Fenisia (syrophoinikissa)
ini tidak lagi berada dalam otentisitas identitas orang Yunani dari daerah
Tirus, tetapi sebuah identitas yang sudah terkontaminasi dengan latar belakang
negara Romawi[12]
dan kebudayaan Yahudi. Dalam posisi seperti ini, identitas perempuan
Siro-Fenisia menjadi in between space
yang membentuk hibriditas identitasnya.
Penempatan istilah
‘hibrid’ menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya
dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing
bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki
keduanya. Bhabha menambahkan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan
budaya atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk
resistensi dan negosiasi baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan
politik mereka.[13] Inilah yang terjadi
dengan perempuan Siro-Fenisia. Sebagai pribadi dan sekaligus bangsa yang
inferior, disatu sisi ia menerima formula (pembentukan), konstruksi identitas
dan pelabelan citra yang ditanamkan oleh oleh Yesus yang mewakili Penjajah,
tetapi sekaligus ia melakukan resistensi dan perlawanan terhadap penguasa
Romawi dan Yahudi. Artinya, ia berusaha untuk menghindar dari konstruksi
identitas yang ditanamkan kepadanya. Dan saya saya rasa dalam proses
pembentukan identitas, akhirnya ia mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang
dikehendakinya (ayat29-30), meskipun ia juga tidak dapat menghindar dari pembentukan
citra diri tersebut. Ketika berjumpa dengan Yesus, si ibu ini tidak dapat lepas
dari konstruksi identitas
“di-Yahudi-kan” (anjing) kepadanya. Tetapi ketika ia “kembali” dalam kehidupan
yang “terbebas” dari pengaruh Yesus (baca: Yahudi dan Romawi) ia menjadi
perempuan Siro-Fenisia. Konstruksi identitas sebagai “perempuan Yahudi” dan
“perempuan Siro-Fenisa” melingkar dan melanggeng
dalam diri si ibu yang melakukan translokasi Yahudi-Siro-Fenisia.
Yesus dan perempuan Siro-Fenisia dalam cerita yang
dikisahkan oleh Penulis Markus (juga oleh Matius) pada dasarnya menegaskan
perbedaan identitas mereka. Yesus direfleksikan sebagai representasi bangsa
superior, tuan (Matius), umat pilihan Allah dan bangsa yang dipilih untuk
menyelamatkan perempuan Siro-Fenisia, sebagai representasi kaum terjajah,
bangsa yang harus di-Yahudi-kan (baca: selamatkan) dan komunitas hamba yang tereksploitasi
oleh hegemoni Yudais.
Tirus (juga Sidon) dalam karakter perempuan Siro-Fenisia
terus ter-steretype dan mendapatkan
citra sebagai daerah yang terjajah mulai dari kejayaan Mesir sampai pada
pengaruh Iskandar Agung, meskipun ia mendapatkan otonomi untuk mengelola
daerahnya sendiri. Kafir dan patut untuk diselamatkan adalah konstruksi
identitas religius yang ditanamkan. Ironisnya, bangsa terjajah, Tirus dan
perempuan Siro-Fenisia tersebut menerima konstruksi identitas yang ditanamkan
kepadanya. Dengan mencitrakan sebagai hamba, kaum rendahan dan kafir, Yesus
melegitimasi Tirus dan segenap rakyatnya untuk berupaya terus-menerus mencari
keselamatan, meskipun sebenarnya semua itu dilakukan untuk kepentingan
kolonial.
Identitas Poskolonial Antara Masa Coolen-Emde dan GKJW
Sebagaimana teks sastra Markus (juga Matius) yang mengisahkan percakapan “Yesus” dan “perempuan Siro-Fenisia”, kisah misionaris (Indo) Barat, Coolen dan Emde di Ngoro dan Surabaya Jawa Timur menggambarkan dialektika antara yang superior dan inferior. Yahudi sebagai pusat kegiatan religius dan kebudayaan Yudaisme berpadanan dengan Belanda yang menjadi pusat kolonialis, yang mengeksploitasi Indonesia dengan janji-janji keselamatan demi kejayaan misionaris Eropa.
Tokoh misionaris Coolen
dan Emde yang meng-Kristen-kan (baca: mem-Barat-kan) orang-orang Jawa di
Indonesia adalah representasi dari upaya kolonial untuk menjadikan orang Jawa
sebagai ke-Belanda-Belanda-an. Seperti tokoh Yesus dalam cerita “perempuan
Siro-Fenisia yang percaya” adalah upaya untuk meng-konstruksi identitas dan
citra masyarakat Jawa. Coolen dan Emde (demikian juga misionaris Barat lainnya)
melakkan pengkristenan dengan kuasa “untuk memberikan nama-nama kepada
orang-orang Kristen baru dan untuk mengendalikan mereka, kuasa untuk mengubah
mereka dan mengasingkan mereka dari akar budayanya.”[14] Nama
Jawa Ditotaruno harus berganti dengan Abisai Ditotaruno, kemudian nama Tosari
harus dikonstruksi menjadi Paulus Tosari. Apa hubungan antara Abisai dan
Ditotaruno atau Paulus dengan Tosari? Nama-nama tersebut, tentunya tidak ada
kaitannya satu dengan yang lain.
jelas, kini nama
Ditotaruno dan Tosari sudah terkonstruksi menjadi Abisai dan paulus, yang bukan
siapa-siapa bagi mereka. Ditotaruno dan Tosari menjadi terasing dari budaya
Jawa yang sudah membentuk dirinya sejak lahir. Dari sini, muncul stereotype yang ditanamkan oleh para
misionaris, “kami mempunyai nama-nama yang lebih baik untuk kalian – nama-nama
Kristen. Mulai sekarang kalian akan dipanggil Abisai, Paulus.”[15]
Dialektika wacana poskolonial
semakin menarik ketika upaya peng-Kristen-an yang dilakukan Coolen dan Emde ditindaklanjuti
dan dikembangkan oleh badan zending NZG (Nederlandsch
Zendeling Genootschap), lembaga misi Belanda yang didirikan tahun 1797. Ini
merupakan awang pembimbingan (baca: penguasaan) zending yang akan berlangsung
terus sampai lahirnya GKJW tahun 1931. Sebagai bagian dari sistem imperialisme,
misionaris dengan NZG-nya juga mengeksploitasi dan mereduksi sistem kepercayaan
dan budaya Jawa. Mereka tidak membunuh masyarakat Jawa dengan senjata, tetapi
menancapkan menara gedung gereja dengan gaya arsitektur eropa, yang secara
perlahan tetapi pasti “membunuh” arsitektur dan gaya bangunan Jawa, didalamnya
termasuk sistem keyakinan dan kepercayaannya.
Konstruksi identitas Jawa
menjadi ke-Barat-Barat-an dalam bentuk arsitektur bangunan gereja menjadi bukti
yang tidak terbantahkan hibriditas orang-orang Jawa Kristen di Jawa Timur dalam
“bangunan GKJW”. Sayang, GKJW tidak dapat melapaskan diri dari bayang-bayang dominasi
NZG, yang berganti rupa dalam bentuk gereja
mitra di Belanda dan globalisasi, meskipun
ada upaya resist terhadap dominasi
asing. Resistensi GKJW tergambar dari sikap Coolen ketika mengajarkan
kekristenan kepada masyarakat di Ngoro Jawa Timur, dengan tetap menghargai dan
membiarkan tradisi dan budaya Jawa (wayang, tembang dan seni Jawa yang lain) bersanding
dengan kebiasaan Kristen-Barat.
Pengalaman Coolen – GKJW –
memberikan pengharapan, orang-orang Jawa (Timur), Indonesia akan bisa sejajar
dengan Belanda. Dan lepas dari maksud terselubung NZG atas berdirinya GKJW, pengakuan
berdirinya Greja Kristen Jawi Wetan di Jawa Timur tahun 1931 adalah bukti mimpi
yang mulai berwujud dalam kemandirian Gereja Jawa di Jawa Timur.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Akkeren, Philip van, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja pribumi di Jawa
Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF. 1997.
Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini, Jilid II.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. 1997.
Huang
Po Ho, No Longer
a Stranger: Toward the construction of contextual theologies. Tiruvalla:
CSS Books. 2007.
Pamungkas, Arie Setyaningrum, “Memetakan
Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Artikel dari Internet).
Wacana Politik Poskolonial” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Artikel dari Internet).
Sinaga, Martin Lukito, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam
Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Sir, Handoyomarno, Benih Yang Tumbuh VII. Malang: GKJW – Jakarta: Lembaga Penelitian
dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1975.
Song, C.S.,
Sebutkanlah Nama-Nama Kami,
Jakarta:BPK-GM, 2004.
[1] Penulisan Greja Kristen Jawi
Wetan yang kemudian disingkat GKJW mengacu pada Tata dan Pranata GKJW,
bagian Tata Gereja bab 1 pasal 1 dan 2.
(Tata dan Pranata GKJW, 1996. Hal. 4).
[2] Jemaat
Sidomulyo merupakan Jemaat (Gereja) yang
berada di wilayah Kabuapeten Jember bagian selatan. Daerah ini merupakan salah
satu sentra pertanian pangan (padi dan jagung) dan tanaman industri (tembakau)
yang menjadi andalan pendapatan Kabupaten Jember. Ia berada lebih kurang 3 KM
utara pantai Watu Ulo, Ambulu – Jember. Sidomulyo
adalah pedukuhan yang memiliki penduduk hampir seluruhnya beragama Kristen
Protestan (GKJW).
[3] Ho, Huang
po, No Longer a Stranger: Toward the
construction of contextual theologies. Tiruvalla: CSS Books. 2007. 32.
[4] Laura E. Donaldson, Postcolonialism and Biblical Rading: An
Introduction. Dalam Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta:
LkiS, 2004, 13.
[5] Ashcroft, et al., Key Consepts in Post-Colonial Studies.
Dalam Martin L. Sinaga, ibid, 13.
[6] Yusak B. Setyawan, Postcolonial Hermeneutics. Bahan kuliah Semester Antara 2011/2012, 20
[7] Informasi lebih
lengkap tentang keduanya dapat dibaca dalam
Handoyomarno Sir, Benih Yang
Tumbuh VII. Malang: GKJW – Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan
Gereja-gereja di Indonesia, 1975; Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: sebuah kajian tentang gereja pribumi di Jawa
Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994.
[8] Philip van
Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: sebuah
kajian tentang gereja pribumi di Jawa Timur. Jakarta: BPK-GM, 1994.
107-108.
[9] Tirus, menurut Herodotus
didirikan kira-kira pada tahun 2.700 sM. Pernah menjadi daerah koloni Mesir dan
setelah kejayaan Mesir pudar ia merdeka. Pada tahun 803 sM, harus membayar
upeti kepada Adad Nirari III, raja Asyur, akhirnya jatuh bersama Samaria ke
tangan Sargon II tahun 722 sM.
Pada
zaman Iskandar Agung, tahun 332 sM Tirus mengalami banyak kehilangan dan kemudian masa Herodes I, ia membangun
kuil utama yang masih berdiri pada saat Yesus mengunjungi daerah tersebut. Dan
Ia menyebut Tirus sebagai kota kafir yang akan memikul hukuman (Matius
11:21-22; Lukas 10:13-14). (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, 1997.
484-485.
[10] Umumnya di daerah Timur Tengah,
anjing pada dasarnya adalah binatang pemakan bangkai; dan kendati anjing sangat
berguna untuk menghabiskan hidangan yang terbuang, pada kodratnya anjing adalah
kotor dan merupakan pembawa penyakit, justru tak dapat dijamah tanpa yang
menjamahnya menjadi najis. (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I, 1997. 54).
[11] Bandingkan Filiphi 3:2
[12] Tirus (dan Sidon), pada zaman
Perjanjian Baru merupakan salah satu wilayah propinsi kekaisaran Romawi.
[13] Arie Setyaningrum Pamungkas, “Memetakan
Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Internet).
Wacana Politik Poskolonial” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Internet).
[14] C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami,
Jakarta:BPK-GM, 2004. 7.
[15] C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami,
11. Yang bergaris bawah tambahan penulis.