Pengantar
Dalam
kehidupan sehari-hari persoalan seputar perceraian bagi warga GKJW di Kabupaten
Jember (mungkin juga secara umum) menjadi lebih kompleks, karena menyangkut
beberapa aspek didalamnya: persoalan hukum, ekonomi, sosial, dan psikologis. Bagi beberapa
orang perceraian merupakan satu-satunya jalan keluar atau penyelesaian,
meskipun perceraian itu sendiri akan mendatangkan permasalahan baru bagi aktor yang
terlibat didalamnya.
Semakin
meningkatnya perceraian yang terjadi dalam kehidupan warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember merupakan sebuah refleksi
atau otokritik (self-criticism) Gereja,
terutama atas program kegiatan pembangunan
yang ber-tema-kan Wujudkan
keluarga Allah yang menjadi rahmat bagi semua orang, selama tahun
2005-2010. Tulisan ini bukan bermaksud mengevaluasi terlaksananya tema tersebut,
tetapi berkaitan dengan tema “keluarga” dalam penelitian ini, penulis mencoba
merefleksikan bagaimana pemberdayaan suami istri mampu merealisasikan diri
sebagai keluarga Allah yang menjadi
rahmat bagi semua orang?
Sekaligus saran bagi Gereja secara umum dan GKJW secara khusus menanggapi
persoalan keluarga yang timbul di tengah pelayanan Gereja.
Hubungan Suami Istri Jati Diri GKJW
Sebutan keluarga
harmonis GKJW adalah sinonim dari keluarga
Allah, yang secara tidak langsung menunjuk pada jati diri Greja Kristen
Jawi Wetan.
Keluarga, berawal dari hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan
menjadi lambang yang hidup dan penampilan misteri GKJW dan ikut berperan dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Hubungan suami istri atau keluarga adalah perwujudan dari kehadiran Gereja,
GKJW. Dengan demikian, suami istri dan kemudian anak yang terikat dalam
keluarga menjadi jalan bagi GKJW dan Gereja secara umum dalam menghadirkan
dirinya di dunia.
Gagasan memberdayakan
hubungan suami istri merealisasikan diri sebagai keluarga harmonis GKJW,
terinspirasi dari kenyataan semakin meningkatnya perceraian warga Jemaat GKJW
di Kabupaten Jember. Kondisi suami istri dan keluarga, serta sosial-masyarakat
seperti itu paling tidak juga berpengaruh terhadap kondisi Gereja dimana mereka
bergereja. Meskipun penelitian korelasi keduanya di GKJW Jember belum pernah
dilakukan.
Hubungan cinta kasih
seorang laki-laki dan perempuan dalam keluarga memiliki keunikan yang
“terekspresikan dalam dan melalui keberadaan dan perbuatannya, intelektualitas
dan keinginanya, kesadaran dan hatinya”
masuk dalam persatuan satu dengan lainnya membentuk satu komunitas melalui
perkawinan, terutama komunitas keluarga. Keluarga adalah jalan pertama dan
sasaran utama bagi Gereja dalam memenuhi tugas pelayanannya.
Bagi penulis, amat
berarti memahami hubungan suami istri sebagaimana memahami hubungan antar
anggota dalam sebuah Gereja, seperti yang diamanatkan oleh PKP IV GKJW, bahwa
yang dimaksud “keluarga Allah”
adalah jati diri GKJW. Tidak terlalu berlebihan, ketika penulis membuat sinonim
keluarga sebagai Gereja atau “Gereja mini”. Keluarga warga GKJW adalah jati
diri GKJW. Meskipun ada banyak cara yang berbeda dan saling melengkapi untuk
memahami arti Gereja, tetapi secara umum mengandung dimensi kesatuan (union), persekutuan (koinonia), cinta kasih (diakonia) dan komunitas sebagaimana
dimensi kehidupan suami istri dalam keluarga.
Dan sebagai upaya merealisasikan hubungan suami istri menjadi jati diri GKJW,
keluarga harus terlibat secara aktif dalam apa yang disebut oleh GKJW sebagai
pancalogi pelayanan, yaitu: teologi, persekutuan, kesaksian, cinta kasih dan
penatalayanan.
Teologi Perkawinan GKJW
Dalam diskusi kecil
dengan mantan ketua dan sekretaris umum Majelis Agung GKJW
mengatakan, GKJW belum memiliki rumusan atau ajaran tentang perkawinan yang
secara menyeluruh memberikan pedoman bagi majelis
gereja untuk melaksanakan pendampingan keluarga, baik yang berhubungan dengan
pra-perkawinan maupun pasca-perkawinan. Sementara yang menjadi acuan GKJW
adalah Pranata tentang Perkawinan
yang memuat 17 pasal tentangnya, dan buku katekisasi perkawinan, yang baru
terbit lebih kurang lima tahun-an yang lalu,
sehingga proses pendampingan dan pemberdayaan suami istri dalam mewujudkan jati
diri GKJW mengalami kesulitan bahan-bahan referensi atau buku ajar
sebagaimana yang dimaksud oleh GKJW sendiri. Dapat dipastikan, secara praktis
pendampingan keluarga juga mengalami kendala, sehingga pelayanan yang bersifat
integrasi dan sinergis antar komisi dan lembaga sulit untuk dilaksanakan.
Jikalau kita
memperhatikan pemahaman warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember tentang
perkawinan, mereka meyakini sebagaimana ajaran dan doktrin yang diterima selama
proses katekisasi pra-nikah, bahwa perkawinan mereka bukan hanya buah usaha
manusia, melainkan mengandung dimensi illahi. “Perkawinan adalah pranata Tuhan
Allah”. Pemahaman yang sama seperti itu disampaikan juga dalam liturgi
pemberkatan perkawinan, yang menuntut calon mempelai menjawab pertanyaan Pendeta
dengan jawaban, “Ya, saya percaya, pasangan saya adalah jodoh pemberian Tuhan
sebagai mitra yang sepadan.” Permasalahanya, bukan sekedar doktrinasi
“perkawinan adalah pranata Tuhan Allah atau karya manusia”, tetapi bagaimana
melibatkan suami istri dan keluarga merasakan misteri karya keselamatan Allah
yang diperuntukan bagi ciptaanNya, termasuk dirinya. Dalam bahasa sosiologi,
terutama teori pertukaran, bagaimana pasangan suami istri menghayati keunikan
pertukaran dalam hubungan dyadic yang
dibangun atas dasar cinta kasih.
Memang tidak mudah membangun wacana dan pemikiran teologi yang
menyeluruh tentang perkawinan, yang kemudian dapat disebut teologi perkawinan GKJW, tetapi paling tidak penulis merefleksikan
masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan warga GKJW di Kabupaten
Jember dalam kaitannya dengan
mengaktualisasikan hubungan suami istri sebagai jati diri GKJW. Tentunya,
diharapkan ini menjadi ransangan untuk dapat mengeksplorasi dan mengekspresikan
teologi perkawinan GKJW dalam bentuk
yang lebih konkrit. Penulis sependapat dengan Maurice Eminyan
yang mengembangkan empat dimensi persatuan pasangan suami istri yang
diekspresikan dalam ritus perkawinan Gereja Ortodoks. Empat dimensi yang
kemudian disebut “teologi perkawinan dan keluarga” adalah a). Dimensi diakronis (sejarah) pasangan; b).
Keselamatan sebagai persekutuan dengan Allah; c). Aspek relasi antar pribadi,
dan; d). Keterbukaan pasangan suami istri terhadap anak-anak dan dunia.
Pertama,
dimensi dakronis (sejarah) maksudnya,
pasangan suami istri yang menikah diingatkan kembali pada peristiwa penciptaan
pasangan manusia pertama. Mereka dipersatukan dengan pasangan-pasangan suami
istri yang lain dalam sejarah Gereja, dan dipanggil untuk hidup sebagai
pasangan dengan mengubah diri menjadi “ciptaan baru”, yang pantas memasuki
Kerajaan Allah. Dengan cara yang demikian pasangan suami istri dapat hidup
lestari dalam ruang dan waktu yang nyata.
Kedua,
dimensi ini termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan keselamatan dan
kekekalan hubungan suami istri sebagai pasangan pertukaran, serta anak-cucu dan
keturunan mereka dalam persekutuan melalui jalan ketaatan kepada
perintah-perintah Allah.
Ketiga,
berkenaan dengan hubungan pribadi antara suami dan istri, dan juga relasi
mereka dengan anak-anak di kemudian hari. Relasi ini dimengerti sebagai
persatuan, cinta kasih, damai dan kesejahteraan baik spiritual maupun fisik.
Hubungan suami istri baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik membangun
relasi-relasi yang demikian itu.
Terakhir,
adalah keterbukaan hubungan suami istri terhadap orang lain. Suami istri harus
membuka diri terhadap kemungkinan mempunyai anak dan atau sebaliknya, dan pada
saat yang sama terbuka terhadap hubungan yang lebih luas terhadap orang bahkan
kelompok agama lain.
Perlu juga penulis
sampaikan, berkaitan dengan hasil penelitian, bahwa faktor perbedaan latar belakang agama juga menjadi persoalan
tersendiri dalam keluarga, baik persoalan keyakinan maupun dalam hal-hal
praktis yang bersifat liturgis.
Mengingat kondisi masyarakat yang plural, tidak menutup kemungkinan terjadi
perkawinan antara laki-laki perempuan yang menikah dengan melakukan konversi
agama oleh salah satu pasangan dan atau menikah dengan tetap mempertahankan
keyakinan masing-masing.
Memperhatikan kemungkinan (atau kenyataan) yang demikian penulis merasa bagi
GKJW di Kabupaten Jember dan tentunya GKJW secara sinodal sangat penting
dikembangkan pemahaman teologi perkawinan yang inklusif, terbuka untuk mereka
yang berbeda keyakinan.
Suami Istri sebagai Persekutuan
Berkaitan dengan pemahaman teologi diatas, tentunya GKJW perlu
mengembangkan pemahaman persekutuan atau koinonia
perkawinan yang bersifat inklusif. Persekutuan yang inklusif atau terbuka
diantara suami istri sebagai pribadi yang berbeda dan perlu mengintegrasikan
pertukaran diantara mereka secara terus-menerus pertukaran yang dilakukan.
Terbuka sebagai pribadi yang berasal dari latar belakang yang berbeda:
keluarga, pendidikan, lingkungan, suku, bahasa, dan juga agama.
Dalam liturgi perkawinan GKJW, pasangan suami istri mengungkapkan
perjanjian timbal balik diantara mereka, “Dalam nama Allah Bapa, Tuhan Yesus
dan Roh Kudus, saya (mempelai) mengambil (pasangan mempelai) sebagai
suami/istri untuk seumur hidupku. Dan saya berjanji
akan mencintai, baik dalam suka dan duka.” Janji perkawinan ini juga dapat diucapkan dengan cara yang berbeda,
model pertanyaan yang disampaikan oleh pendeta, “Mempelai yang berbahagia, apakah saudara
berjanji akan saling mengasihi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suka
maupun duka, dalam kegagalan maupun keberhasilan, dalam keadaan sehat atau
sakit dan selalu saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari selaku
suami istri yang telah dipersekutukan oleh Tuhan? Bagaimana jawab saudara,
apakah berjanji?” Selanjutnya, kedua mempelai akan menjawab secara bersama-sama,
“Iya, saya berjanji”. Kata-kata khidmat seperti ini semestinya mendapat
perhatian dan tekanan, bukan sekedar liturgi pemberkatan perkawinan yang
terbatas hanya di gedung gereja saja. Dalam liturgi perkawinan tersebut
tercermin bahwa suami istri atau keluarga adalah persekutuan pribadi-pribadi
yang diikat oleh cinta kasih, melalui janji perkawinan yang mereka ucapkan. Cinta kasih suami istri seperti halnya keunikan hubungan pertukaran
dalam kelompok dyadic adalah kekuatan
utama dalam keluarga, karena tanpa cinta kasih suami istri dan tentunya keluarga, tidak akan
mengalami dan merasakan kerukunan dalam berhubungan dan tidak dapat
menyempurnakan hubungan itu sendiri.
Jikalau
kita memperhatikam dengan seksama, “kalimat” janji perkawinan di atas memiliki
persamaan dengan kata-kata Yesus dalam peristiwa perjamuan: “Ambilah, inilah
Tubuh-Ku.” Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya, seluruh pribadi-Nya kepada
manusia, karena cinta kasih-Nya dan untuk selama-lamanya. Demikian juga yang
dilakukan oleh seorang pria dan wanita dalam perkawinan, ketika mereka saling
memberi dan menerima, karena cinta kasihnya dan untuk selama-lamanya. Dari sini, dapat dikatakan suami istri “mempunyai tugas yang utama,
yakni menghayati dirinya sebagai persekutuan hidup yang dilandasi cinta kasih
dan berusaha terus-menerus untuk
mengembangkan hidup rukun antar anggotanya.
Suami Istri sebagai Diakonia
Cinta
kasih perkawinan diarahkan pada kedalaman dan kekayaan persatuan yang mesra,
itulah realitas spiritual dan hubungan dyadic
yang unik dan mendalam untuk memperkukuh persekutuan hidup pasangan suami
istri.
Semangat
pelayanan cinta kasih dalam keluarga hendaklah dilakukan pertama-tama di antara
pasangan suami istri sendiri, melalui kepatuhan atau ketundukan penuh kasih
satu kepada yang lain dalam keunikan hubungan yang tidak dimiliki oleh kelompok
sosial yang lain. Melalui kesiapsiagaan untuk menyenangkan dan mendukung,
membantu dan mendorong, saling memberikan diri mereka sendiri, take and give diantara suami istri dalam
pengertian baik penghargaan intrinsik maupun ekstrinsik. Suami istri sebagai
pasangan pertukaran saling memberikan diri, bahkan jikalau diperlukan
mengorbankan diri bagi pasangannya, tanpa harus memperhitungkan berapa cost yang dibutuhkan untuk mendapatkan reward cinta kasih.
Seperti
halnya prinsip pertukaran sosial, adalah sebuah proses “memberi” supaya pada
akhirnya “diberi”. Diakonia suami istri pun perlu dibangun dan dijiwai semangat
mengamalkan cinta kasih dan semangat melayani (= memberi) yang lain, terutama
pasangan sebagai pribadi melalui pengabdiannya kepada sesama. Selanjutnya,
pelayanan penuh cinta kasih suami istri tidak boleh tinggal berada dalam
batas-batas hubungan itu sendiri, keluarga, tetapi juga dibawa ke luar rumah
serta diperluas kepada setiap orang yang membutuhkannya.
Suami Istri sebagai Wujud Kesaksian
Perkembangan
dan kemajuan zaman modern, selain menghasilkan buah kebaikan, yakni peningkatan
taraf hidup dan kesejahteraan hidup masyarakat, juga memunculkan berbagai
permasalahan yang dapat mengganggu kehidupan keluarga. Semakin meningkatnya permasalahan keluarga yang berakhir dengan
ketetapan pengadilan, putusnya hubungan suami istri atau bercerai di
Jemaat-Jemaat GKJW se-Kabupaten Jember, mengingatkan keluarga, bahwa tidak
sedikit kesulitan, konflik dan permasalahan berat yang dihadapi keluarga.
Bahkan tidak jarang kedewasaan iman dan keyakinan perihal perkawinan dan
keutuhan rumah tangga juga terguncang oleh terpaan beban berat keluarga di
zaman modern.
Dalam
situasi seperti, setiap keluarga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember dituntut untuk
berani memberikan kesaksian iman dan kesetiaanya dalam hubungan perkawinan yang
telah mereka sepakati. Ada norma dan nilai-nilai khusus (particularistic value) dalam
hubungan pertukaran suami istri yang harus tetap dan terus dipelihara sebagai
konsekuensi dari janji perkawinan mereka. Memelihara kesetiaan dan janji atau
komitmen perkawinan dengan tetap berbagi penghargaan entrinksik dan ekstrinsik
di tengah semakin meningkatnya permasalahan keluarga dan perceraian adalah
wujud kesaksian hidup.
Suami Istri sebagai Penatalayanan
Penatalayanan
yang dimaksud dalam poin ini mengacu pada Pranata
GKJW adalah kegiatan “mengusahakan dan mengelola secara bertanggung jawab
segala daya, dana dan sarana pemberian Tuhan Allah dalam rangka memenuhi
panggilanNya”, sebagai suami istri. Menunjuk pada kata “daya”, “dana”, dan
“sarana” mengandung arti bahwa pasangan suami istri memiliki kekayaan untuk
semakin mengintegrasikan ikatan
perkawinannya yang sudah ada, baik kekayaan yang bersumber dari hubungan itu
sendiri yang bersifat intrinsik maupun kekuatan
dari luar yang bersifat ekstrinsik.
Kemampuan
suami istri dan keluarga mengelola, menatalayani daya, dana dan sarana yang
bersifat intrinsik dan ekstrinsik ini akan sangat berpengaruh terhadap
terintegrasinya hubungan suami istri dalam keluarga terputusnya hubungan suami
istri. Bagi keluarga yang memiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya, maka
mereka akan mengalami kesulitan untuk memupuk menyatunya (union) hubungan suami istri. Sebaliknya bagi mereka yang sadar akan
tanggung jawab “mengusahakan dan mengelola” sumber daya yang dimiliki, sudah
dapat dipastikan hubungan suami istri semakin intim, dan semakin sulit pihak
lain untuk terlibat dalam hubungan mereka.
Permasalahan Keluarga Akankah Pernah Selesai?
Ketika
pribadi-pribadi, baik perempuan maupun laki-laki hendak menikah, mereka menaruh
harapan yang besar terhadap perkawinan sebagai jalan menuju kesejahteraan hidup
berumah tangga dan berkeluarga. Namun, menuju aktualisasi hubungan suami istri dan keluarga GKJW
yang harmonis seringkali terhambat oleh masalah-masalah yang muncul, baik
disebabkan oleh hubungan itu sendiri maupun oleh pihak luar. Persoalan yang hampir selalu melilit keluarga GKJW di Kabupaten
Jember, mungkin juga terjadi pada keluarga secara umum, sehingga membuat suami
dan atau istri sebagai leader tidak
berdaya adalah masalah relasi dan hal-hal praktis, seperti ekonomi, sosial dan
kebiasaan. Persoalan keuangan keluarga, pekerjaan suami (dan istri), relasi suami istri, relasi suami istri
dengan orang lain dalam masyarakat seolah tidak pernah selesai, sehingga
membuat suami istri hanya berkutat pada persoalan-persoalan semacam ini.
Persoalan hubungan suami istri akan tetap ada, selama lembaga perkawinan masih
ada. Karena kesulitan keluar dari “rutinitas” persoalan keluarga yang demikian,
maka suami istri juga terkendala dalam memperjuangkan aktualisasi diri
mewujudkan keluarga GKJW yang menjadi rahmat bagi semua orang.
Hasil
penelitian dalam tulisan ini menunjukan, bahwa masalah relasi dan hal-hal
praktis seringkali dijadikan alasan sebagai penyebab permasalahan rumah tangga,
bahkan putusnya hubungan suami istri atau perceraian. Persoalnya sekarang,
jikalau keluarga-keluarga GKJW di Kabupaten Jember dan Jawa Timur secara umum masih “terbelenggu” lilitan
persoalan keluarga, maka akan mengalami kesulitan mewujudknan keluarga Allah yang menjadi rahmat bagi
semua orang. Untuk menghadirkan kesejahteraan keluarga yang dimaksud,
diperlukan upaya yang sistematis dan sinergis. Salah satunya mempersiapkan tim pendamping pelayanan pastoral keluarga dalam pengertian
pelayanan keluarga inklusi, sehingga diharapkan
menguatkan, menyehatkan, dan memperkokoh hubungan suami istri dalam keluarga, hingga mereka dapat merealisasikan diri sebagai jati diri GKJW,
keluarga harmonis yang menjadi berkat bagi sesama.
Tim Pendamping Pastoral Keluarga Perlu Dipersiapkan
Seperti
diungkapkan dalam pengantar diatas, permasalahan keluarga dan semakin
meningkatnya perceraian warga Jemaat-Jemaat GKJW di Kabupaten Jember merupakan
permasalahan yang kompleks. Kasus-kasus perceraian yang terjadi tidaklah
sederhana, sehingga dapat disimpulkan dengan “masalah komunikasi”, “konflik
rumah tangga”, “adanya perselingkuhan”, “perbedaan latar belakang agama” atau
sejenisnya. Persoalan tanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi dan keuangan
keluarga misalnya, bukanlah persolan yang berdiri sendiri dan harus
diselesaikan secara “parsial”, tetapi besar kemungkinan permasalahan tersebut
jalin menjalin dan terajut menjadi satu dengan permasalahan yang lain. Konflik
rumah tangga yang tidak kunjung terselesaikan, sangat dimungkinkan ada
kaitannya dengan faktor komunikasi keluarga yang terjadi selama ini; komunikasi
“macet” dapat dimungkinkan karena beban perasaan atau psikologi: adanya tekanan
orang tua suami istri atau bahkan tekanan lingkungan-sosial secara tidak
langsung. Karenanya, pendampingan keluarga, hubungan suami istri supaya dapat
berdaya dalam mengatasi persoalan yang menghambat dan menghalangi aktualisasi
diri menjadi keluarga harmonis GKJW atau mendampingi hubungan suami istri
merealisasikan jati diri GKJW bukanlah persoalan mudah.
Pengalaman
yang dialami oleh pribadi-pribadi dan keluarga warga GKJW yang mengalami perceraian di Kabupaten Jember,
merasakan tidak adanya pelayan atau
tim pendamping keluarga yang “mempunyai hati” untuk
mendampingi dan memberikan pertimbangan-pertimbangan atau bahkan masukan yang
dibutuhkan, ketika mereka sedang menempuh jalur hukum untuk mengatasi permasalahan keluarga. Dalam
konteks perceraian-pendampingan warga Jemaat GKJW di Kabupaten Jember, bahwa Pelayan Jemaat
kurang memiliki sense atau kurang
kesiapsediaannya untuk terlibat sungguh-sungguh dalam pelayanan pastoral
keluarga. Pelayan Jemaat dengan mudahnya menyerahkan begitu saja tanggung jawab pendampingan
keluarga kepada petugas yang ditunjuk. Misal, “Ya, urus saja ke pengadilan”.
Keluarga-keluarga
membutuhkan tim pendamping yang “mempunyai hati” dan “pandai-terampil” dalam pendampingan. Tim pendamping yang
“mempunyai hati” pada pastoral keluarga adalah Pendeta Jemaat yang pertama-tama memiliki kesadaran
akan kepentingan masalah-masalah keluarga dan menggutamakan kepentingan
keluarga (preferential option for family). Bagi penulis, persoalan keluarga, apapun namanya tidak boleh
dianggap remeh, karena kehancuran keluarga dalam rumah tangga akan membawa
dampak yang sangat besar bagi keberadaan Gereja dan perjalanan pelayanannya.
Dalam
konteks Jemaat-Jemaat GKJW di wilayah administrasi Kabupaten Jember, dan
mengingat masih terbatasnya referensi-referensi tentang pemahaman perkawinan yang
lengkap yang diterbitkan MA GKJW, penulis berpendapat perlu dipersiapkan tim pendaping pastoral keluarga. Pendamping keluarga, yang memperlengkapi diri dengan “kepandaian dan
ketrampilan” mendampingi keluarga. Tim
pendamping dengan bekal ilmu teologi, sipritual,
sosial, hukum dan pastoral yang diperolehnya harus mampu menganalisa mengapa
dan bagaimana persoalan hubungan suami istri mempengaruhi stabilitas kehidupan
keluarga, sehingga ia dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
keluarga yang bersangkutan.
Secara
umum, diharapkan tim pendamping pastoral keluarga ini menjadi rujukan bagi keluarga-keluarga GKJW yang mengalami dan
membutuhkan pendampingan yang berkaitan dengan persoalan yang dihadapi.
Sehingga dapat dipastikan mereka mendapatkan pendampingan yang optimal, dan
pada akhirnya dapat mengambil keputusan etis yang bertanggung jawab.
Kesimpulan
Suami
istri merupakan hubungan antar pribadi, didalamnya mengandung dimensi kesatuan
(union), persekutuan (koinonia), dan cinta kasih (diakonia), sebagaimana dimensi Gereja
secara umum. Untuk dapat mengaktualisasikan hubungan suami istri dalam ikatan
kesatuan, persekutuan dan cinta kasih sebagai jati diri Gereja sangat
bergantung pada kemampuan mereka untuk mengelola dan mengusahakan sumber daya
intrinsik dan ekstrinsik yang dimilikinya.
Harapanya,
bagi keluarga dan tentunya suami istri mampu mengelola dan mengusahakan sumber daya yang
dimiliki untuk semakin mengintegrasikan hubungan perkawinan yang sudah
dijalani, tetapi jikalau terjadi kendala dalam meraih tujuan tersebut,
dibutuhkan adanya tim pendamping
pastoral keluarga yang akan membimbing, menguatkan, dan
memperkokoh hubungan suami istri. Dengan
kata lain, rekomendasi yang perlu diperhatikan GKJW dan Gereja secara umum
untuk menghadapi persoalan keluarga seperti yang dihasilkan dalam penelitian
adalah:
1.
Perlunya teologi perkawinan yang
khas pergumulan GKJW.
Teologi
dalam perkawinan bagi penulis adalah sesuatu yang vital dan mutlak harus ada,
sebagai dasar pijakan atas pelayanan perkawinan dan termasuk didalamnya sebagai
“pranata” mengurai persoalan-persoalan keluarga yang muncul di kemudian hari. Teologi
perkawinan yang dibutuhkan adalah sebuah teologi mampu menerangi setiap
persoalan-persoalan keluarga yang muncul, baik pra-perkawinan (misal: rencana
perkawinan beda agama) maupun pasca perkawinan, seperti persoalan perceraian
suami istri.
2.
Perlunya dipersiapkan tim pendamping
pelayanan keluarga.
Dari
hasil penelitian ini penulis memberi kesimpulan meningkatnya perceraian warga
GKJW yang terjadi di Kabupaten, salah satunya adalah tidak adanya tim
pendamping pelayanan keluarga dengan kemampuan dan ketrampilan (skill) memadai yang mempunyai “hati”, yang menyediakan diri untuk melayani dan
mendampingi setiap keluarga-keluarga yang membutuhkan pendampingan. Penulis
berharap tim pendamping ini dapat segera dipersiapkan dengan baik.
3.
Pelayanan keluarga inklusi.
Mengingat
ragam dan kompleksnya persoalan keluarga, maka penulis menyusun rumusan pelayanan keluarga inklusi adalah sebuah
pelayanan dengan metode dan materi khusus untuk keluarga-keluarga yang memiliki
kelebihan di bidang lain, tetapi tertinggal dengan yang lain di bidang yang
lainnya. Misal: suami atau istri dalam sebuah rumah tangga yang aktif dalam
kegiatan dan pelayanan gerejawi (kognitif
dan motorik), tetapi secara ekonomi ia kurang beruntung. Artinya, pelayanan
keluarga perlu memperhatikan siatuasi dan kondisinya (context), dan bersifat kasuistik.
Sedangkan bagi kepentingan pengembangan pemahaman dan pelayanan terhadap
keluarga, baik oleh GKJW secara khusus, maupun oleh lembaga pendidikan perlu
dilakukan penelitian lanjutan tentang topik-topik yang berkaitan dengan
persoalan keluarga, misal hubungan perceraian dengan tradisi atau culture, psikologi perkawinan dan
perceraian, hubungan perceraian dengan perekonomian keluarga dan lain
sebagainya. Semoga.
Tema pelayanan ini
diangkat berdasarkan diskusi bahwa, “1). Keluarga Kristen sebagai bagian
keluarga Allah merupakan bagian penting dalam pendidikan dan pengembangan serta penghayatan iman; 2).
Keluarga Kristen adalah saluran berkat/rahmat Allah kepada semua orang; 3).
Tiga pokok (trisus – persekutuan, kesaksian dan cinta kasih – penulis) masih
sangat penting dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara setidak-tidaknya sampai enam tahun mendatang (2005 – 2010 – penulis);
4). Oleh karena itu fungsi keluarga Kristen sebagaimana tersebut diatas perlu
makin diwujudkan dan ditingkatkan. (Akta dan Catatan Sidang Majelis Agung GKJW
ke 92/2002. Artikel 62: Tema dan Subtema PKP IV tahun 2005 – 2010, 31 – 32).
Bambang Ruseno, mengatakan keluarga adalah
lembaga yang paling parah mendapatkan gempuran di zaman globalisasi dan modern
ini. Utomo, Keluarga Tumbuh Bersama, 3.