Oleh: Pdt. Imanuel Teguh Harisantoso, M.Si
|
Pdt. Imanuel Memimpin doa di sawah |
Banyak
orang berpendapat, sekarang sudah memasuki era-postmodern. Sebuah era yang jauh meninggalkan tahap-tahap pemikiran
seperti yang diungkapkan Auguste Comte sebagai the primitive theological stage dan the trancient metaphisical stage, (and the final positive stage), yang
“berbau” primitif, tradisional, budaya dan simbol-simbol merupakan sesuatu yang
sudah ketinggalan zaman dan tidak
patut untuk dipertahankan, apalagi dilestarikan. Berbeda dengan Sarwodadi N. Nagoro yang
mengatakan, perkembangan zaman dan pengaruh globalisasi, termasuk didalamnya
kebudayaan dari luar sudah demikian gencar masuk ke bumi Nusantara, sehingga
mempengaruhi cara pandang dan pola pikir para generasi muda penerus bangsa dalam
memahami dan memaknai arti pentingnnya kebudayaan sendiri, padahal warisan
budaya leluhur yang adi luhung sarat dengan hal-hal yang berhubungan dengan
bagaimana kita menjalani hidup dan kehidupan ini dengan baik, benar dan
berhasil menurut adat dan tradisi sendiri yang sifatnya sangat universal dan
luwes, serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi zaman apapun.
|
Persiapan Kenduren |
Sampai
dengan hari ini saya berani mengatakan, bahwa generasi orang Jawa dalam rentang
usia 1 – 50 tahun, terutama yang tinggal dan hidup di kota-kota besar banyak
yang tidak memahami budayanya sendiri. Pola pikir, pola hidup, kebiasaan dan
tradisi Jawa yang kaya akan falsafah hidup
jauh dari kehidupan mereka, termasuk slametan
yang menjadi fokus tulisan ini tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan
mereka. Nilai-nilai ke-Jawa-an “kalah” oleh nilai-nilai import yang dianggap
lebih modern dan maju. Masyarakat seolah memburu modernitas dengan budaya
konsumerisme, persaingan jasa dan produk-produk komunikasi (ilmu dan teknologi)
dan meninggalkan segala sesuatu yang “berbau” etnik.
Berdasar
pengamatan saya selama pelayanan di GKJW Jemaat Manukan – Surabaya (November 2003
– Juli 2004), hampir seluruh pemuda gereja (usia 17 – 30 tahun) dan sebagian
besar warga dewasa (31 – 45 tahun) tidak memahami dengan baik dan benar tentang
tradisi Jawa slametan, padahal tidak
jarang keluarga-keluarga Kristen yang mengadakan “kebaktian syukur” memperingati
hari (3 hari, 7 hari, 40 hari dsb) kematian anggota keluarga dan
syukuran-syukuran lain yang kental dengan tradisi Jawa. Hal yang sama juga
terjadi sepanjang pengamatan saya di GKJW Jemaat Tulangbawang – Malang (Agustus
2004 – Juli 2005). Mereka “membungkus” tradisi dan kebiasaan tradisional Jawa
yang berhubungan dengan slametan
dengan kata “syukuran”.
|
Kenduren di sawah Sidomulyo Ambulu - Jember |
Hal
diatas bertolak belakang dengan kehidupan warga GKJW yang berada di Jemaat
Bedali, yang terletak sisi barat kaki gunung Kelud, daerah perbatasan Kabupaten
Kediri dan Kabupaten Blitar. Pengalaman pelayanan di tempat ini (Maret 2003 –
Oktober 2003), saya merasakan bahwa hampir seluruh kehidupan manusia merupakan
sebuah ritual. Mengapa demikian? Dalam
setiap tahap kehidupan dan peristiwa selalu dikaitkan dengan kepercayaan adanya
kuasa gaib yang terlibat. Dari peristiwa penghitungan dan pencarian hari baik
untuk perkawinan, kehamilan pengantin putri, sampai dengan kematian selalu
disertai dengan slametan. (Lebih
lanjut dibahas dalam bahasan slametan sebagai life – cycle rituals). Warna
ke-Jawa-an warga di Jemaat Bedali sangat kental.
Serupa
dengan Jemaat Bedali adalah GKJW Jemaat Sidomulyo – Jember. Dalam participant observation selama pelayanan
sepanjang Juli 2005 – Juli 2011 saya memahami bahwa tradisi tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan jemaat. Slametan sebagai tenger (peringatan) atas peristiwa tertentu yang terjadi (kelahiran
misalnya) adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Warga jemaat tidak hanya
mengadakan slametan untuk menghayati
dan memperingati peristiwa dan atau kejadian yang terjadi dalam kehidupannya, tetapi
slametan dilakukan sebagai yang
bertalian dengan penggarpan sawah (akan dibahas lebih lanjut pada bagian slametan
sebagai ritual masyarakat agraris).
|
Menu Kenduren |
Kebiasaan
slametan tidak hanya dilakukan di
jemaat-jemaat yang berlabel jemaat
ndesa, tetapi di sekitar Salatiga juga merupakan hal yang lumrah. Enam bulan
(Juli – Desember 2011) tinggal di Jl. Soka RT 01 RW 07 Sidorejo Lor Salatiga
saya seringkali diundang tetangga untuk mengikuti acara kendurenan dan atau slametan.
Slametan yang sering dilakukan adalah slametan yang berkaitan dengan lingkaran
kehidupan manusia, misal memperingati hari kematian anggota keluarga.
Fakta
diatas menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena adanya
kelompok masyarakat yang dengan gigih menghayati kehidupan etniknya di tengah-tengah perkembangan zaman dan perubahan yang
pesat. Tradisi mereka tidak tergerus oleh datangnya budaya-budaya dari luar. Hal
itu bertentangan dengan masyarakat perkotaan. Situasi diatas tidak hanya
menggambarkan pertentangan sosial antara masyarakat pedesaan yang kaya dengan
tradisi leluhur dan masyarakat perkotaan yang sarat dengan kemajuan tehnologi
dan ilmu pengetahuan yang menekankan
metode-metode keilmuan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sesuatu yang
tersembunyi dari kenyataan sosial yang nampak. Gunung es yang nampak mungkin
tidak sebesar yang tidak kelihatan. Pertanyaan kritis yang muncul, nilai apakah yang membuat masyarakat Jawa di
pedesaan tetap mempertahankan tradisi mereka? Dan bagaimanakah nilai tersebut mempengaruhi hidup dan kehidupan mereka?
Slametan:
Apa itu?
Ada
beberapa istilah yang berkaitan dengan slametan
yang perlu dijelaskan disini. Pertama, “Slametan
adalah upacara sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan”. Koentjaraningrat
menjelaskan Slametan adalah tradisi
yang dilakukan orang Jawa dengan suatu upacara makan bersama makanan yang telah
diberi doa sebelum dibagi-bagikan.
Kedua, bancaan
adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur, yaitu yang berkaitan
dengan masalah dumduman (pembagian) terhadap
kenikmatan, kekuasaan dan kekayaan. Hal
ini dimaksudkan supaya solidaritas sosial tetap terjaga dan terhindar dari
konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil.
Ketiga, kenduren
adalah upacara sedekah makanan karena seseorang
telah memperoleh anugerah atau kesuksesan sesuai dengan apa yang
dicita-citakan.
Ketiga
istilah diatas, slametan, bancaan dan
kenduren mengacu pada harapan akan adanya keselamatan. Slametan adalah kata yang populer dikalangan orang-orang Jawa. Slamatan (= selamatan) tidak dapat
dilepaskan dari pandangan dan alam pikiran religius Jawa, karena hampir semua
selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan hidup dengan
tidak ada gangguan-gangguan apapun, baik dari manusia, mahluk lain maupun
kuasa-kuasa gaib yang ada, terhindar dari hal-hal yang menjebak mereka,
sehingga gagal memperoleh kebahagiaan hidup dunia akherat.
Menurut
Koentjaraningrat
upacara selamatan (= slametan) dapat
digolongkan kedalam beberapa macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Pertama, selamatan
dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti slametan kehamilan sampai dengan kematian dan upacara saat-saat
setelah kematian. Kedua, selamatan
yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah
panen padi. Ketiga, selamatan pada
saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti
membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ruwatan = ngruwat), janji sembuh dari
sakit atau janji-janji yang lain (kaul).
Dalam
upacara selamatan seringkali dibuat sesajen.
Adalah penyerahan sajian pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan
terhadap mahluk halus, di tempat-tempat tertentu, seperti dibawah tiang rumah,
di persimpangan jalan, di kolong jembatan dan di bawah pohon-pohon besar, di
tepi sungai, serta tempat-tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung daya
gaib (angker).
Simbol-simbol
ritual yang berwujud sesaji, ubarampe (dan
tumbal) merupakan aktualisasi dari
pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah bentuk akumulasi budaya Jawa (yang
abstrak). Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai srana untuk “negosiasi” spiritual kepada
hal-hal yang gaib. Dan kepercayaan kepada roh halus, khususnya danyang (roh pelindung), sering
diwujudkan dalam bentuk slametan.
Pelaku
mistik kejawen meyakini (juga) dengan membakar kemenyan, pada saat ritual
merupakan perwujudan persembahan kepada Tuhan. Kukus (asap) dupa kemenyan yang membumbung ke atas, tegak lurus,
tidak mobat mabit ke kanan kiri,
merupakan tanda bahwa sesajinya dapat diterima. Ujub (doa) yang diucapkan biasanya, “Niat ingsun ngobong menyan talining iman, urubing cahya kumara, kukuse
ngambah swarga, ingkang nampi dzat ingkang maha kuwaos”. Artinya: Saya
berniat membakar kemenyan sebagai pengikat iman. Nyala kemenyan merupakan
cahaya kumara, asapnya diharapkan sampai ke surga dan dapat diterima oleh
Tuhan.
Ada
tiga alasan mengapa orang Jawa melakukan mistik kejawen: pertama, orang Jawa pernah menjadi bangsa jajahan. Pengaruh
penjajah, zaman kolonial beserta dengan keyakinannya sangat dimungkinkan
mempengaruhi dan bercampur dalam kemasan mistik kejawen. Kedua, kaum kejawen sangat inklusif. Ia terbuka terhadap apa yang
baik dan itu diterima dengan senang hati, termasuk didalamnya pengaruh
keyakinan. Ketiga, kaum kejawen
memiliki tradisi spiritual yang kuat. Tradisi pemujaan terhadap yang
adikodrati, yang diwujudkan dalam ritual slametan.
Suwardi
mengatakan, slametan adalah inti dari tradisi kejawen. Slametan, merupakan permohonan simbolik kepada Tuhan, didalamnya
lengkap dengan simbol-simbol sesaji dan dalam pelaksanaanya diucapkan
mantra-mantra (Baca: doa-doa) tertentu. Slametan
dipandang sebagai representasi harapan yang penuh pengorbanan dan tulus
iklas – lahir batin. Karenanya dapat dikatakan slametan adalah tindakan ritual dari teks-teks religi wong Jawa.
Unsur-unsur
Umum dalam Slametan
Unsur-unsur
umum yang terdapat dalam slametan (menurut
Rachmat Subagya) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Doa.
Doa
selalu menyertai setiap slametan
entah itu diucapkan oleh pelaku sendiri ataupun oleh pengantara yang disebut tukang ujub, orang yang dituakan yang
khusus menaikan doa dalam setiap slametan
atau pemuka agama. Doa itu tradisional dan seringkali diucapkan dalam bahasa
khusus dan kuno, sehingga mendekati mantra atau pesona. Doa seringkali berupa
nazar.
Perhitungan angka.
Perhitungan
angka gaib (neptu) dari hari, bulan,
tahun dan dari mana orang berasal mempunyai tempat yang dalam menentukan
tanggal slametan. Tetapi sekarang
pemahaman orang tentang homologi antropokosmis yang mencerminkan sikap terhadap
alam ini mengalami kemerosotan nilai dan berubah menjadi tahyul. Misalnya: anak
yang dikithan bersama-sama jumlahnya harus genap, tetapi hari kithan harus
ganjil.
Mutilasi.
Mutilasi
atau pengudungan anggota badan lazimnya merupakan bagian dari upacara slametan. Misalnya: memangkas rambut,
memotong kulub kemaluan, mendabung ujung gigi (mengikir). Hal ini dimaksudkan
sebagai bukti dalam percobaan dan penderitaan atau sebagai korban pertama
kepada Tuhan untuk menguduskan keseluruhan.
Santapan bersama.
Dalam
setiap slametan selalu terdapat unsur
sedekah, hajat, syukuran atau kenduri dengan makan bersama. Inilah
partisipasi dalam peristiwa yang
dirayakan oleh orang lain dan mengikat solidaritas bersama.
Gotong-royong.
Gotong-royong
dilakukan dalam bentuk sumbangan dari orang yang bukan keluarga untuk menutup
biaya peralatan slametan. Jumlah yang
diberikan sesuai dengan apa yang diterima dahulu atau yang diharapkan nanti. Gotong-royong
kekeluargaan ini merupakan investasi modal menganggur dan menjadi alat pengikat
persaudaraan.
Slametan sebagai life – cycle rituals
Slametan sebagai ritual masyarakat
agraris
Masyarakat
Sidomulyo dan Bedali menurut pengamatan saya tidak dalam kategori primitiv.
Mengapa demikian? Akses ke pusat pemerintahan dan perekonomian relatif mudah
dan terjangkau, kira-kira 7 – 8 Km desa. Jalan-jalan sudah beraspal, meskipun
jalan di kampung masih makadam (tumpukan batu kali dan pasir). Kalau
diperhatikan sistem pengolahan dan penggarapan tanah pertanian rata-rata sudah
menggunakan tehnologi pertanian modern. pembajakan tanah pertanian sudah
menggunakan tenaga mesin, traktor sedang tenaga sapi dan kerbau sebagai sarana
membajak sudah tidak ada lagi. Sumur bor, lengkap dengan mesin pompa airnya hampir
dimiliki oleh setiap petani, baik pemilik
maupun petani penggarap. Dan ketika panen padi pun sudah menggunakan
mesin perontok padi. Ini menunjukan masyarakat Jawa sangat terbuka dengan
adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi disekitarnya.
Meskipun
disisi lain mereka tetap mempertahankan nilai-nilai filosofis dan kepercayaan
mistis yang tinggi. Slametan adalah
hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Khusus slametan di sawah sebagai yang bertalian
dengan penggarapan sawah, penanaman dan panen padi mitos tentang pasangan Sri
dan Sadono. Mite Jawa mengisahkan kepada kita Sri dan Sadono kenyataannya
adalah sepasang saudara laki-laki dan perempuan, anak Sri Mahapunggung,
penguasa Kerajaan Medang Kamulan. Sri kemudian mengejawantah di dalam padi,
dengan mati dan dikuburkan di bumi. Lalu ia bertemu dengan Wisnu (Sadono), yang
telah lahir kembali dalam air, dan berlangsunglah perkawinan, yang
mengakibatkan padi tumbuh subur. Inilah awal siklus kehidupan yang menyebabkan
padi menjadi matang, setelah bulir-bulir itu jatuh ke bumi dan mati.
Pertumbuhan
padi dari benih sampai bulir yang matang tidak dipandang sebagai proses
tumbuh-tumbuhan semata, melainkan dapat diperbandingkan dengan proses
pertumbuhan manusia. Kehidupan padi sepenuhnya bergantung pada kekuatan
spiritual, yang menurut pandangan keagamaan Jawa disebut dewi padi (dewi sri),
roh nenek moyang, matahari dan bulan. Dalam semuanya itu ibu padi
merepresentasikan seantero lahan, serta dipandang sebagai yang memiliki nilai
daya hidup dan memberi pertumbuhan. Hal
ini menunjukan bahwa dalam peristiwa pengolahan sawah dan proses penanaman padi
dipandang selaku manifestasi mahluk mistis dan mereka mengambil bagian secara
ritual dalam pengembangbiakan padi.
Masyarakat
di Sidomulyo biasanya mengadakan ritual
pada saat menjelang pengolahan tanah, menjelang tanam padi dan sehari sebelum
padi dipanen. Dalam ritual ini dibawa juga sesajen
yang besarannya disesuaikan dengan hitungan hari yang dimaksud. Tetapi dalam
beberapa tahun terakhir sesajen tidak
selengkap zaman dulu – mungkin pengaruh lingkungan dan malu kalau dianggap
tetangganya sebagai gugon tuhon atau
tahyul.
Contoh
slametan menjelang panen padi. Pada sore
atau malam sebelum pemotongan padi dimulai petani mengadakan ritual di sawah.
Biasanya dilakukan di pojok-pojok petak sawah. Petani membawa sesajen seperti:
Janur kuning, bunga, kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, air kendi, api,
bungkusan nasi dengan pisang dibawa sambil membakar kemenyan. Doa
yang diucapkan adalah:
Nyaosaken salam
taklim kula dumateng ingkang njagi sabin; nyaosi (ngopah-opahi) mbok Sri
ingkang njagi rina kalawan wengi. Wiwit mbok Sri mrekatak ngantos dumugi sepuh
wonten ing tegal kepanasan supados ingkang loka tinebihna, ingkang kebak sami
dumugiya. Panggihane mbok Sri punika: sega liwet, tukon pasar, kembang,
tampingan, suri, jungkat, kaca, perlu kangge dahar lan busana mbok dateng mbok
Sri. Perlu badhe mboyong mbok Sri alantaran pak . . . ., dipun boyong dateng
lumbung sageda tumpuk undung nentremaken mbok Sri sarta pinetuk ing gedang
raja, banyu ing kendi.
Artinya: salam syukur kami kepada ibu Sri yang
menjaga siang malam sawah ini, mulai bertunas sampai matang; semoga
dijauhkanlah dari kosong, datanglah padi penuh. Untuk perkawinan ibu Sri kami
bawakan hiasan dan makanan, dapatlah diantarkan sebagai ratu ke istana (lumbung
padi).
Tangkai padi dekat tempat slametan dipotong (diambil sedikit) sebanyak bilangan hari slametan. Tangkai padi tersebut dibalut
dengan kain seperti pengantin, disebut pengantin
pari (= padi). Petani membawa tangkai padi keempat pojok sawah yang akan
dipanen. Selanjutnya uba rampe atau
makanan yang dibawa dalam acara slametan
diperebutkan. Semakin ramai semakin bagus, karena menunjukan roh-roh halus
menerimanya.
Ritus
ini dilakukan setiap tahun penanaman padi oleh para petani, meskipun mereka sudah
beragama Islam atau Kristen. Kehadiran agama asing (Islam dan Kristen) tidak
menghilangkan kepercayaan asali mereka sebagai orang Jawa. Islam dan Kristen
diterima dengan baik, tanpa permusuhan. Inilah simbol bahwa orang Jawa sangat berpegang
pada keharmonisan.
Slametan
sebagai wujud keharmonisan jagad alit dan jagad ageng
Berbagai
bentuk dan macam slametan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sidomulyo
bukanlah sesuatu yang baru lahir, tetapi memiliki akan budaya dan tradisi yang
kuat dalam sejarah tempo dulu. Slametan
selalu berhubungan dengan mitos dan daya-daya magis yang menyertainya. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang
berada di sekitarnya, misal: pohon yang besar, tempat-tempat angker, air atau
sungai, sawah dan tempat-tempat lain memiliki roh penunggu yang berkuasa. Dan
jika tidak diadakan slametan, maka
roh-roh tersebut akan mengganggu ketentraman dan kebahagiaan manusia. Itulah
sebabnya mereka selalu berusaha ingin mengharmoniskan dan “mendamaikan –
menyatukan” alam semesta (makrokosmos = jagad
ageng) dengan dirinya (mikrokosmos = jagad
alit). Mereka meyakini bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya.
Keadaan dirinya adalah representasi dari alam semesta, karena apa saja terdapat
dalam dirinya. Sama halnya bahwa manusia adalah miniatur jagad raya. Untuk itu
manusia berusaha untuk “bernegosiasi”, menyatukan jagad ageng dan jagad alit
dengan menjalankan laku tertentu, yaitu slametan.
Alam
semesta atau jagad ageng identik dengan jagading manungsa atau jagad
alit yang harus diselaraskan. Keharmonisan keduanya akan menghadirkan
kebahagiaan dan ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dalam prinsip hidup
rukun. Rukun adalah tindakan untuk
mencapai harmoni sosial. Dengan hidup rukun
hubungan sosial menjadi tentram.
Kondisi sosial budaya tidak goncang, karenanya keseimbangan diri dan alam
semesta terjaga. Menjaga keharmonisan jagad
ageng dan jagad alit menjadi dasar keseimbangan emosi (emotional equilibrium), sehingga tidak terjadi konflik dan
menghadirkan kedamaian.
Bagi
masyarakat Desa Sidomulyo yang masih memegang kepercayaan aslinya esensi
keyakinan mereka (the religion of Java)
adalah pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur yang diwujudkan dalam dalam
sikap mistik dan slametan. Secara lahiriah mereka memuja kepada roh dan kekuatan
lain (politeisme?), namun esensinya tetap tertuju kepada Tuhan yang diyakini
berkuasa atas jagad raya ini.
Slametan:
teologi masyarakat pedesaan Jawa (sebuah uji coba)
Slametan, baik
yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia maupun yang bertalian dengan
penggararpan sawah dan panen padi adalah kekayaan traidisi yang dimiliki
masyarakat Desa Sidomulyo dan Bedali yang notabene beragama Kristen. Apakah slametan dipahami sebagai kekuatan
spiritual yang pantas dan layak dipertahankan? Dalam rangka kegiatan Bulan
Kesaksian dan Pelayanan (Bulan Kespel), yang dibuka bersamaan dengan kebaktian
kenaikan Tuhan Yesus ke surga jemaat Sidomulyo mengawali kegiatan tersebut
dengan acara Kebaktian Syukur Panen Padi dan Persiapan Tanam Tembakau
yang bertempat di tengah sawah. Perlu
diketahui bahwa dalam kegiatan tersebut jemaat (dihimbau untuk) membawa nasi
takir (nasi kotak) sebanyak empat buah, per kepala keluarga. Dan bagi Kelompok
Tani (perkumpulan para petani yang ada di dusun Sidomulyo) menyiapkan nasi
tumpeng lengkap dengan uba rampainya.
Menggagas
kegiatan kebaktian syukur panen di tengah sawah tersebut bukanlah pekerjaan
yang mudah. Banyak tantangan dan pendapat yang mewarnainya. Ada yang mengatakan
hal tersebut sama saja dengan: slametan,
nguja setan, klenik dan gugan Tuhan, dll.
Tetapi tidak sedikit pula yang antusias, memahami sebagai bentuk syukur atas
campur tangan Tuhan dalam dunia pertanian.
Kurang
lebih satu bulan sebelum kegiatan yang disebut
“methik pari” dimulai, saya melontarkan gagasan tersebut dalam khotbah
minggu dengan sebuah pertanyaan? Pernahkah
jemaat sebelum mengawali kegiatan mengolah sawah, menanam dan sesudah musim
tanam, dilanjutkan pada masa panen, berdoa
kepada Tuhan? Menyitir ungkapan
Paulus kepada jemaat di Korintus, “Jemaat
yang mengolah sawah, menanam dan mengaliri air ke lahan, tetapi Tuhan-lah yang
memberi pertumbuhan, Tuhan-lah yang pada akhirnya memberikan buah dan hasil
panen yang melimpah” (band. I Kor. 3:6-9). Teriknya panas matahari yang
tidak membakar dan derasnya air hujan adalah campur tangan Tuhan, berkat dan
anugerahNya dalam memenuhi kebutuhan hidup petani dan tanaman yang ditanamnya.
Karenanya tidak ada salahnya, jika para petani bersyukur kepada Sang Penguasa
jagad di sekitar lokasi tanamannya.
Rupanya
apa yang saya sampaikan menjadi pergumulan bersama dan pembicaraan di
lingkungan jemaat dan masyarakat. Berbagai pendapat warga tentangnya mulai
bermunculan. Terlebih ketika panitia Kespel menindaklanjuti dalam bentuk
kegiatan “methik pari”. Seperti diatas ada yang pro dan kontra. Ada
“ketegangan” pendapat yang terjadi, tetapi semua itu menjadikan jemaat semakin
banyak belajar memahami keterkaitan budaya dan iman yang selama ini dipercayai.
Dalam
pergumulan itu warga masyarakat dan jemaat menemukan sesuatu yang khas dari slametan. Sebuah nilai religi yang patut untuk dikembangkan sebagai mahluk yang
memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti diuraikan diatas bahwa
dalam slametan terdapat unsur doa, permohonan kepada yang disebut Tuhan, mutilasi, makan bersama dan gotong-royong adalah nilai-nilai spiritual Jawa yang harus
dijaga dan dimaknai ulang sesuai dengan kondisi zaman dan situasi masa kini.
Pertanyaannya,
bagaimana kita mendialogkan budaya slametan dengan Injil yang kita yakini
sebagai sumber kebanaran? Dan bagaimana kita berteologi dalam konteks kehidupan
petani Jawa seperti ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menuntun kita
kepada tindakan nyata untuk menjawab
tantangan yang ada. Sebelumnya, kita mesti memahami apa teologi itu? Teologi adalah sebuah penghayatan iman Kristen
(yang muncul) pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dan asumsi dasar dari
teologi kontekstual disini, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan
Firman-Nya, Allah yang hadir dalam Rupa Manusia Yesus adalah Allah yang
menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa sejarah umat manusia. Artinya, bahwa
teologi harus memperhatikan tradisi yang ada. Karena tradisi adalah sumber
kasaksian tentang upaya umat Kristen untuk mencari penyataan Allah dalam
pengalaman praksis manusia dan memahami kehendak Allah di sepanjang zaman.
Teologi
kontekstual adalah teologi yang fungsional. Teologi yang terasing dari
konteksnya ia berada di “awang-awang”,
tidak membumi dan tidak akan mampu berfungsi menjawab pergumulan yang ada.
Teologi yang fungsional (baca: berfungsi) adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life.” Ia mengalami perkembangan – lestari – “sesuai” dengan kondisi zamannya. Teologi kontekstual merupakan sebuah upaya
untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks”
dan “konteks”; antara “kerygma” dan kenyataan hidup yang kontekstual.
Pertanyaannya
adalah bagaimana cara mempertemukan kabar kesukaan dalam Alkitab dengan kehidupan
praksis dan atau menemukan core Injil dalam budaya setempat?
Tradisi slametan, misalnya. Pengalaman penulis berjemaat di GKJW selama
ini, menjumpai tradisi kenduri (baca juga: kenduren atau selamatan) dalam
jemaat meskipun tidak sedikit yang “dibalut” dengan kata “syukuran”. Kebiasaan
(baca: adat) masyarakat Jawa yang beragama Kristen, baik yang berdomisili di
kota, terlebih di pedesaan selalu mengadakan slametan dalam peristiwa-peristiwa tertentu sebagai tenger (peringatan). Sejak seorang ibu
hamil (pitonan=7 bulan), melahirkan (brokohan, pasaran, selapanan, tedak siti, ulang tahun) sampai dengan “peringatan” peristiwa kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000
hari, bahkan pendhak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun,
dst.). Setiap peristiwa tersebut
selalu diwarnai dengan kenduri,
selamatan untuk memohonkan berkat dan doa restu bagi yang bersangkutan (yang di
selameti) dan juga kirim doa bagi orang
yang sudah meninggal.
Yang
menarik (bagi penulis ketika melayani Jemaat Bedali) adalah yang menyelenggarakan
slametan diantaranya juga anggota
Majelis Jemaat (yang notabene Penatua atau Diaken), orang-orang yang dituakan
dan dianggap memiliki kemampuan teologi lebih. Tidak hanya itu, bahkan “doa” slametan dibawakan dalam dua versi. Pertama, disampaikan oleh “tetua adat”.
Biasanya “pendoa” menguraikan doanya sesuai dengan uba-rampai sajian kenduri. Apapun jenis hidangan sesajen “diterangkan” artinya dalam doa,
misal (kurang-lebih demikian), “skol suci
lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para sakabatIpun (kalau
muslim, ditujukan kepada Muhammad Rasululah), pisang ayu kangge mbok dewi Pertimah....) Selanjutnya, “doa” dilanjutkan oleh sesepuh jemaat – bisa jadi Penatua, Diaken, Vikarist (dan mungkin
Pendeta). Doa ini disampaikan secara Kristen.
Ini
mengingatkan saya pada doa dan atau tembang yang dilantunkan Coolen dalam
pengajaran moral-nya kepada penduduk Ngoro, “Gunung Semeru kang winarni tenger tanah pulo Jawi, tetepo anggen kawulo
tetani, ing karemenane Sri-sesono kang warni pari. Ingkang ngideni Allah
ingkang mohosuci, Iyo ilah a-ilelah Yesus Kristus Roh Allah” (Philip van
Akkeren; 1994, 124). Ia juga melakukan hal yang sama dengan masyarakat
Jawa-Kristen sekarang ini, yakni mencampur-adukan rumusan teologi antara
kepercayaan Jawa dengan kekristenan. Sinkritisme-kah? Atau justru yang dilakukan mereka adalah
peng-kontekstual-an teologi? Tidak mudah memang untuk menjawabnya, karena
jawaban yang dibutuhkan bukan sekedar YA atau TIDAK.
Hal
ini (sebenarnya) sangat berkaitan dengan kepercayaan pribumi sebelum
agama-agama besar dunia merambah tanah Jawa, yakni “agama” animisme, dinamisme, dan kepercayaan pada roh orang mati. Bagi orang Jawa setiap benda (baik mati maupun
hidup) mempunyai daya. Ada roh-roh
atau tuhan yang menungguinya, yang biasanya disebut danyang. Nah, kepada danyang-danyang
penunggu atau penguasa benda-benda itulah “doa-doa” ditujukan, termasuk uba-rampai kenduren: Apem untuk roh orang yang sudah
meninggal, jenang abang dan jenang putih bagi danyang air dan tanah atau daratan. Pisang untuk mbok dewi
Pertimah, dll.
Dalam
doa slametan orang Jawa-Kristen dan
contoh doa yang dibawakan Coolen, memang mengikuti tradisi yang ada. Padahal
dalam iman Kristen doa hanya ditujukan kepada Tuhan saja, tidak kepada yang
lain. Dilihat dari sini jelas yang mereka lakukan salah. Mereka tidak kritis
terhadap budaya yang ada, tetapi yang patut dicermatri adalah adanya tambahan
doa yang disampaikan “tua-tua jemaat”, yang melambangkan bahwa penguasa dari
seluruhnya adalah Tuhan Yesus yang imani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
Perjanjian Lama, bahwa ada ilah-ilah lain selain Yahwe. Dan yang paling
berkuasa adalah YAHWE.
Sebagaimana
sudah disinggung (sedikit) diatas, bahwa kenduren dan atau selamatan yang
dilakukan oleh orang Jawa-Kristen adalah buah
dari uangkapan syukur atas keberhasilan yang diperoleh. Yakni tanah tempat mereka menanam mengasilkan buah dengan
baik. Air yang dibutuhkan sebagai sumber penghidupan tersedia. Yang istimewa
mereka terbebas dari hama, penyakit atau gangguan dari roh-roh yang diyakini
penunggu tempat tersebut. Selanjutnya,
memohon doa restu tidak hanya kepada sanak-saudara atau tetangga yang di undang
kenduri, tetapi juga kepada roh nenek
moyang yang sudah meninggal untuk memberkati keluarga atau pekerjaan
selanjutnya.
Slametan
itu sendiri, menurut saya adalah rumusan teologi orang Jawa dalam
menyikapi hubungannya dengan Tuhan. Itu artinya jika kita deal-kan secara kreatif dan inovatif dengan Injil, antara “konteks”
slametan dan “teks” tidak ada yang
perlu dipermasalahkan sebagai sebuah pertentangan. Justru sebaliknya, harus
diarahkan dan diberi makna Kristen seperti halnya upacara bodong suku Toraja.
Berangkat
dari pengalaman tersebut, yang kemudian saya sebut pengalaman teologi sebagai orang Jawa, kita harus tetap
memelihara tradisi tersebut dengan tidak memandang sebelah mata atau menganggapnya
sebagai yang kafir, tetapi diterima sebagai kasanah teologi Jawa.
Karenanya
dalam menggagas slametan: teologi masyarakat pedesaan Jawa (sebuah uji coba),
yang perlu diperhatikan (paling tidak) adalah pertama, doktrin.
Sebagai kelompok agama, memang perlu membangun kehidupan imaniah secara
sistematis. Tetapi sangat penting kita memahami latar belakang munculnya sebuah
doktrin atau ajaran. Bagaimana latar belakang sosial-budayanya, kondisi
lingkungannya, zamannya, dll. Supaya kita tidak jatuh pada “terpenjara oleh
doktrin”, tetapi lepas dari frame Alkitab. Alkitablah dasar utama kita
merumuskan pemahaman teologi yang kemudian kita refleksikan dalam konteks
tertentu.
Kedua,
mengembangkan sikap pastoral kultur. Sikap mau mengerti terhadap budaya setempat.
Tidak serta-merta menolak atau meremehkan budaya yang ada lantaran tidak
mengerti apa falsafah budaya atau adat-istiadat tersebut muncul. Dengan
pastoral kultur dikembangkan sikap kristis terhadap apresiasi budaya yang
dipertahankan, sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan penghayatan
iman, entah menyangkut refleksi atau aksi iman.
Ketiga,
mengembangkan sikap transformasi budaya (Richard
Nieburh). Prinsip yang perlu dipegang adalah: bukan menerima atau menolak,
tetapi menerima bagian tertentu dari budaya dan menolak bagian tertentu dari
budaya. Karena memang tidak ada budaya Kristen, tetapi yang ada adalah budaya setempat yang diwarnai iman
Kristen. Sehingga dalam kaitannya dengan kenduren,
bagaimana kita men-transformasi-kan budaya kenduren menjadi budaya yang
bernafaskan iman Kristen. Sanggupkah anda????
Daftar
Pustaka
CM.,
D. Suwadji, Tatacara Wilujengan Katolik (kalangan
sendiri – belum dipublikasikan). Gersik, 2004.
Endraswara,
Suwardi, Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa (Rev.). Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2006.
Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Red.). Jakarta: Djambatan, 1970.
Harisantoso,
Imanuel Teguh, Menggali Ulang Teologi
GKJW: Teologi Kenduri sebagai sebuah ujicoba. Duta. Edisi 05, 2006, 20 –
21.
Pusat
Studi Pariwisata UGM (Penyunting), Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh
Kearifan Lokal. Yokyakarta: Pilar Politika, 2004.
Subagya,
Rachmat, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan-Yayasan
Cipta Loka Caraka, 1981.