GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Minggu, 18 September 2011

CINTA

RAMUAN CINTA






         lkisah di sebuah desa kecil, di pinggir hutan Londo Lampesan (utara pantai Papuma – Watu Ulo Ambulu) terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan eksperimen: ramuan air yang dicampir dengan buah plethekan (tanaman yang banyak tumbuh di kebun atau hutan). Percobaan pertama, buah plethekan dimasukan kedalam tabung eksperimen yang berisi air. Hasilnya, buah plethekan tersebut menghasilkan letupan-letupan yang mengakibatkan kecelakaan, karena letupan tersebut mengenai mata, dan bagian wajah yang lain. Tidak hanya mencelakakan diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Karena merasa hasilnya yang tidak sesuai dengan harapan keluarga inipun melakukan percobaan yang kedua, dengan menggunakan ramuan yang sama.  Keluarga juga sudah mempersiapkan pelindung wajah serta pengaman yang lain, karena ditakutkan terjadi letupan seperti uji coba pertama. Keluarga menanti hasil percobaan dengan penuh tanda tanya. Setelah ditunggu beberapa waktu, ternyata ramuan tersebut tidak menghasilkan letupan.
Aneh. Percobaan yang sama. Ramuan dan materi sama, tetapi hasil tidak sama. Uji coba pertama reaksinya mencelakakan, sedang yang kedua tidak terjadi apa-apa.
Demikianlah gambaran cinta yang terajut antara seorang laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga. Ramuan cinta terkadang menimbulkan letupan-letupan yang mencelakakan dan merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Tetapi di lain pihak dengan ramuan cinta yang sama, tidak jarang menimbulkan keharmonisan, keserasian, kebahagiaan dan kelestarian hidup keluarga. Dasar ramuan cinta memang sulit ditebak.

PROGRAM JEMAAT: Mau dibawa Kemana GKJW-ku????


PROGRAM JEMAAT
Mau Dibawa Kemana GKJW-ku?


Salam pembaharuan!!!!

Munculnya Program Jemaat (Projem) tentunya sudah melalui pemikiran, pergumulan, perbincangan dan diskusi yang serius. Sekilas dari uraian DUTA (edisi tiga 2008) Projem tampak begitu bagus dan menawan. Inovatif, kreatif dan memacu semangat setiap jemaat untuk mengembangkan potensi diri se-optimal mungkin. Apalagi ia dianggap sebagai alternatif atau jalan keluar dari kebuntuan (kalau tidak boleh disebut kegagalan) sebuah perencanaan yang disebut Program Wilayah (Prowil) yang oleh Komperlitbang MA tidak mampu menjawab real need  warga jemaat. Dengan ber-Projem, jemaat diharapkan dapat mengaktualisasikan pelayanannya menjadi lebih terarah, berkesinambungan dan sistematis.
Melihat tujuan yang mulia dari Projem, ideal memang, tetapi pertanyaannya:? Apakah pemahaman tentang Projem sudah tepat dan benar seperti yang dimasud oleh penggagas? apakah seluruh perangkatnya sudah disiapkan dan siap? Dan pemberlakuan Projem, apakah sejalan dengan ‘sistem pemerintahan’ yang berlaku di GKJW? Ini penting sebelum seluruh komponen dan elemen GKJW  mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan pelayanan untuk sebuah Projem.


Projem atau PKP dulu?
Menyimak arahan Komperlitbang MA yang disampaikan oleh Thomas Supriyanto (dalam Program Jemaat sebuah pengantar; DUTA edisi tiga 2008),Projem disusun dengan tetap mengacu pada visi dan misi GKJW, PRKP dan PKP. Projem merupakan salah satu bahan penyusunan PKP V (2011-2016) yang segera akan disusun pada tahun 2009-2008 ini”. Menurut saya ada yang perlu diluruskan dan diperdebatkan kembali sistem per-PKT-an di GKJW. Benar memang scara yuridis formal pembentukan dan penyusunan Projem telah ditetapkan dalam Sidang MA ke-96/2005 di Jemaat Sambirejo, sebagai acuan penyusunan PKP V (2011-2016), yang akan disusun tahun 2008-2009. Itu artinya Projem yang akan disusun oleh jemaat se-GKJW akan dirasum menjadi sebuah PKP  dan sekaligus hadirnya PKP akan menjadi rel pemberlakuan Projem (baca: PKT). Mungkinkah demikian?
GKJW dengan sistem oriented program-nya telah menjadikan pelayanannya terprogram, terarah dan sistematis. Apalagi hal tersebut didukung oleh “perangkat-perangkatnya” yang berjalan pada relnya masing-masing. Aras Majelis Agung berposisi sebagai pengambil kebijakan (strategis): menentukan arah dan tujuan (visi-misi) GKJW yang terangkum dalam setiap produck-produck hukumnya (misal: PKP). Arah dan tujuan pelayanan GKJW kemudian dijemaatkan, diterjemahkan ditingkat local oleh jemaat-jemaat se-GKJW (tataran operasional), yang disesuaikan dengan kondisi jemaat masing-masing dengan koordinasi Majelis Daerah (koordinatif).
Munculnya tema dalam setiap PKP pastilah tidak lepas dari peran serta Jemaat dan Daerah melalui laporan-laporan dan usulan-usulan sidang. Tim perumus PKP ataupun Komperlitbang MA sudah tentu juga mengakomodir dari berbagai masukan dan pergumulan real yang terjadi, baik local jemaat, situasi-kondisi yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat dan (mungkin juga) negara.  PKP yang telah terbentuk itulah kemudian menjadi arah kebijakan Majelis Agung  yang (harus) dilakukan oleh Jemaat-jemaat se-GKJW. Itu artinya Program Kegitan Pembangunan (PKP) terbit dulu, baru kemudian Program Kegiatan Tahunan (baca:Projem Tahunan).
Sesuai dengan arahan Komperlitbang MA (dalam Program Jemaat sebuah pengantar; DUTA edisi tiga 2008), Projem adalah Program Kegiatan Jemaat jangka menengah, yang diharapkan dalam penyusunanya tidak ada keterputusan antara tahun pertama dengan berikutnya. Sehingga baik program maupun kegiatan dilakukan secara berkesinambungan (kontinuitas). Tetapi kalau diperhatikan dengan cermat penyusunan PKT di Jemaat-jemaat sebenarnya sudah mengarah kesana. Mengapa? Karena PKT yang disusun oleh jemaat semua berdasar pada PKP yang notabene berlaku selama 6 tahun. Contoh: PKT tahun 2005 di jemaat, itu disusun berdasar PKP IV: Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi semua orang. Dan itupun dilakukan secara berkesinambungan dalam PKT-PKT selanjutnya dengan “roh” yang sama, yaitu PKP IV. Maaf, sehingga agak berlebihan kalau menganggap nantinya Projem akan lebih terarah dan sistematis daripada PKT. Apa iya?
Sekilas PKT (dalam satu PKP) dan Projem tidak jauh berbeda, alias sama. Lha kalau yang normatif itu strategis diacu operasional (dan koordinatif), ini mau dibalik Projem) diacu PKP, apa sudah tepat??
Hal diatas seakan-akan menjadi sungsang. Mengapa demikian? Komperlitbang MA menganjurkan Jemaat segera menyusun Program (dalam jangka waktu enam tahun kedepan) yang disebut Projem dan dari seluruh Projem se-GKJW akan dipakai sebagai bahan acuan penyusunan PKP. Apa tidak keblinger...? Setiap Jemaat tentunya memiliki arah dan kebijakan “roda pemerintahan” yang berbeda: stressing program, teologi, warna, dll., karenanya dikawatirkan terbitnya Projem tanpa “jalur hukum” PKP akan memunculkan Projem-projem “liar”.  Tidak menutup kemungkinan justru tim perumus PKP V (2011-2016) akan mengalami kesulitan merangkum seluruh Projem se-GKJW menjadi tema PKP yang baru.
Menurut hemat saya kalau toh Komperlitbang MA mengusulkan dibentuknya Projem, apalagi sudah di dok dipersidangan elit MA, OK. Tetapi hal itu harus ada rel yang jelas; tidak cukup hanya visi-misi GKJW dan PRKP. Perangkatnya harus lengkap, artinya PKP harus sudah terbit, sebelum terbitnya Projem. Mengapa? PKP adalah arah dan kebijakan GKJW enam tahunan, yang dijemaatkan melalui PKT (baca:  dan juga Projem). Kalau Projem  disusun untuk kepentingan sebagai acuan penyusunan PKP itu artinya Projem terbentuk tanpa payung tema PKP, tanpa arahan yang jelas dari Majelis Agung, dan (mungkin) tanpa semangat Patunggilan Kang Nyawiji. Apakah sistem pemerintahan GKJW sudah berubah?
Organization Chart
chart 1

Sistem Evaluasi Program (PKP-PKT) Yang Tepat
Sejak GKJW ber-PKT sampai dengan sekarang (mohon maaf kalau salah) sistem evaluasi secara konkrit belum nampak dari program-program yang telah disusun, baik ditingkat MA, MD, maupun MJ. Sejauh mana keberhasilan dan kegagalan kita dalam ber-PKT-PKP belum dapat diukur dengan jelas. Ini akan nampak dalam persidangan-persidangan di lingkup pelayanan GKJW. Majelis hanya disibukan dengan mengkritisi biaya operasional program: terlalu besar kek, pembengkakan kek, dll; dan berapa jumlah program dalam satu komisi: berjalan berapa dan tidak berapa, mengapa demikian? Evaluasi memang dilakukan, tetapi masih bersifat parcial, per komisi dan per mata program. Belum secara keseluruhan per PKT artinya tahunan atau per PKP selama berlangsungnya PKP.
Kalau toh dilakukan evaluasi secara menyeluruh, itu tetap akan mengalami kesulitan karena perangkatnya belum tersedia. Belum adanya tolak ukur yang diterbitkan oleh MA GKJW untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam berprogram. Yang dievaluasi jelas, tetapi mana faktor ukur dan pembandingnya sehingga sebuah program dikatakan berhasil atau gagal. Apa ukuran keberhasilan dan apa ukuran kegagalan sebuah program atau katakan PKT-PKP? Indikator yang menggambarkan sebuah program berhasil atau tidak harus ada supaya kita mengerti sejauh mana telah melaksanakan program dengan baik dan berhasil.
Contoh: pelaksanaan PKP IV (2005-2010), dengan tema: “Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi semua orang” di Jemaat Kududadi.
Untuk mengatakan pelaksanaan PKP diatas berhasil atau gagal dilaksankan di Jemaat Kududadi, harus ada indikator yang mampu mengukurnya, maka disusunlah indikator-indikatornya. Pelaksanaan PKP IV dikatakan berhasil jika:

  1. Tingkat konflik rumah tangga di jemaat kurang dari 10 % dari jumlah keseluruhan kepala keluarga.
  2. Tidak adanya perselingkuhan dan perceraian dalam keluarga.
  3. Tidak terjadinya kehamilan diluar nikah.
  4. Terbentuknya Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau koperasi.
  5. Adanya penurunan tingkat pengangguran sebesar 50 %.
  6. Adanya kenaikan HR tenaga gereja.
  7. Terbentuknya hubungan antar gereja dan lintas umat beragama (KAUM).

Indikator diatas jelas dan bisa diukur. Dengan indikator diataslah kemudian Majelis Jemaat menilai sejauh mana tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam ber-PKP. Kalau ternyata selama tahun 2005-2010, berlakunya PKP IV, Jemaat Sidomulyo tidak mampu mencapai seperti apa yang dimaksud dalam indikator diatas berarti ia belum berhasil (jika tidak mau dibilang gagal).
Hal-hal seperti diatas itulah (menurut saya) yang perlu dilakukan oleh Majelis melalui Komperlitbang atau tim perumus sebagai sebuah refleksi atas pemberlakuan program-programnya.

Refleksi Pelayanan Pastoral PKP-PKT
Tentunya semua setuju jika setelah merampungkan pelayanan dilakukan sebuah perenungan atau refleksi atasnya. Karenanya setiap pelaku dan penyelenggara baik PKT maupun PKP, di setiap lingkup kemajelisan (MJ, MD, dan MA) ambilah waktu untuk diam sejenak. Merenungkan atas segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah pelayanan. Kita mengevaluasi diri: Sudahkah program yang dijalankan sesuai dengan tema kerja? Apakah sasaran kegiatan sudah tepat?  Dan apakah program yang dijalankan merupakan jawaban atas kebutuhan warga atau hanya keinginan komisi? Ada (aksi)  pelayanan pastoral, ada refleksi pelayanan pastoral. Heeeh... tah???




Kamis, 15 September 2011

MENGGALI ULANG TEOLOGI GKJW: Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba


MENGGALI ULANG TEOLOGI GKJW:
Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Oleh Pdt. Imanuel Teguh Harisantoso, S.Si)


Pembahasan mengenai teologi gereja mau tak mau harus diawali dengan pengakuan tentang adanya suatu krisis yang sedang terjadi, baik dalam pemahaman konsep ber-teologi – refleksi – maupun dalam pelaksanaannya – aksi. Karena itu sebagai sebuah gereja sudah selayaknya kita mengkaji ulang konsep teologi kita. Sudahkah GKJW selaku gereja yang tumbuh di Jawa Timur “membangun” sebuah teologi kontekstual yang mampu menjawab perjumpaan iman dan kebudayaan (baca juga: kebiasaan) setempat? Atau memang gereja (secara sengaja) menganggap teologi barat yang selama ini mempengaruhi pola hidup bergereja di Jawa Timur – GKJW khususnya – sebagai sebuah jawaban atas pergumulan dan persinggungan Injil dan pengalaman?
Tulisan ini bukan bermaksud menjawab seluruh pergumulan iman yang muncul dalam kehidupan berjemaat, tetapi merupakan rangsangan (kecil) untuk menggelitik minat  “pemikir-pemikir” Kristen, secara khusus GKJW untuk menggumuli masalah teologi GKJW.

GKJW: Hidup dan Panggilannya
Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa GKJW, “sebagai persekutuan orang percaya di dunia ini mengalami dan menghayati pergumulan rangkap atau pergumulan yang bersisi-dua. Sisi yang satu adalah pergumulan dengan Tuhan Allahnya (vertikal) dan sisi yang satu lagi adalah pergumulan dengan masyarakat dan dunia dimana gereja itu ada dan hidup (horisontal)”, (Tata dan Pranata GKJW; 1996, iii-iv). Artinya gereja semakin menyadari bahwa hidupnya merupakan suatu gejala sosiologis dari keseluruhan tata hidup masyarakat majemuk. Dalam keseluruhan – realita hidup bermasyarakat – itulah gereja dipanggil untuk menempatkan hidup dan panggilannya. Dalam Tata Gereja (1996), “Greja Kristen Jawi Wetan dipanggil oleh Tuhan Allah untuk ikut serta melaksanakan rencana karyaNya di dunia ini (Jawa Timur?, pasal 2). Juga bertanggung jawab atas permberlakuan kasih, kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara”, (pasal 4).
Dalam menempatkan hidup dan panggilannya sebagai teman sekerja Allah di dunia, gereja (GKJW) tidak boleh menjadi gereja yang stagnan dan mandeg, melainkan harus tetap berkarya (baca: bertumbuh) “sesuai” dengan perkembangan dunianya.
GKJW selaku bagian dari Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia – bahkan dunia – harus mampu menunjukan perannya sebagai pengemban suara kenabian, guna mewartakan dan mewujudnyatakan kedamaian, keadilan dan kasih secara terus menerus. Gereja tidak diam,  menutup mata dan telinga terhadap gejala-gejala sosial yang mengarah pada budaya individualisme dan hendonisme. Tidak apatis tetapi secara aktif, kreatif  dan inovatif dalam keterlibatan dan sumbang-sihnya bagi pertumbuhan bangsa dan kelestarian budaya.
Selanjutnya, gereja juga harus memainkan peran sebagai seorang “pastor” (peran pastoral) di tengah situasi dan kondisi bangsa yang carut-marut. Ia mendampingi (pastoral care) masyarakat yang tidak terbatas pada umat (GKJW) dan bukan umat, tetapi dengan tulus, iklas mencurahkan perhatian bagi “kesembuhan” tata sosial – yang sudah mulai meninggalkan budaya ke-timur-an – saat ini.
Yang terutama adalah gereja harus mampu menghadirkan citra Sang Khalik dalam hidup dan panggilannya di dunia. Gereja, baik atas nama pribadi (makna teologis ekklesia) maupun umat (institusi) “menjadikan” dirinya sebagai “Kristus” yang hadir dalam setiap situasi. Ubi Christus ibi ecclesia, dimana ada Kristus disitu ada gereja dan sebaliknya, ibi ecclesia ubi Christus.

Menggagas Teologi Kontekstual: Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Sebelumnya, kita mesti memahami apa teologi itu? Teologi adalah sebuah penghayatan iman Kristen (yang muncul) pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dan asumsi dasar dari teologi kontekstual disini, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan Firman-Nya, Allah yang hadir dalam Rupa Manusia Yesus adalah Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa sejarah umat manusia. Artinya, bahwa teologi harus memperhatikan tradisi yang ada. Karena tradisi adalah sumber kasaksian tentang upaya umat Kristen untuk mencari penyataan Allah dalam pengalaman praksis manusia dan memahami kehendak Allah di sepanjang zaman.
Teologi kontekstual adalah teologi yang fungsional. Teologi yang terasing dari konteksnya ia berada di “awang-awang”, tidak membumi dan tidak akan mampu berfungsi menjawab pergumulan yang ada. Teologi yang fungsional (baca: berfungsi) adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life.”  Ia mengalami perkembangan – lestari –  “sesuai” dengan kondisi zamannya.  Teologi kontekstual merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dan “konteks”; antara “kerygma” dan kenyataan hidup yang kontekstual.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara mempertemukan kabar kesukaan dalam Alkitab dengan kehidupan praksis dan atau menemukan core Injil dalam budaya setempat? Tradisi kenduri, misalnya. Pengalaman penulis berjemaat di GKJW selama ini, menjumpai tradisi kenduri (baca juga: kenduren atau selamatan) dalam jemaat meskipun tidak sedikit yang “dibalut” dengan kata “syukuran”. Kebiasaan (baca: adat) masyarakat Jawa yang beragama Kristen, baik yang berdomisili di kota, terlebih di pedesaan selalu mengadakan kenduri dalam peristiwa-peristiwa tertentu sebagai tenger (peringatan). Sejak seorang ibu hamil (pitonan=7 bulan), melahirkan (brokohan, pasaran, selapanan, tedak siti, ulang tahun) sampai dengan “peringatan” peristiwa kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, bahkan pendhak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun,  dst.).   Setiap peristiwa tersebut selalu diwarnai dengan kenduri, selamatan untuk memohonkan berkat dan doa restu bagi yang bersangkutan (yang di selameti) dan juga kirim doa bagi orang  yang sudah meninggal.
Yang menarik (bagi penulis ketika menjalani masa vikariat di Jemaat Bedali) adalah yang mengadakan kenduri tidak sedikit anggota Majelis Jemaat (yang notabene Penatua atau Diaken). Tidak hanya itu, bahkan “doa” kenduri dibawakan dalam dua versi. Pertama, disampaikan oleh “tetua adat”. Biasanya “pendoa” menguraikan doanya sesuai dengan uba-rampai sajian kenduri. Apapun jenis hidangan sesajen “diterangkan” artinya dalam doa, misal (kurang-lebih demikian), “skol suci lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para sakabatIpun (kalau muslim, ditujukan kepada Muhammad Rasululah), pisang ayu kangge mbok dewi Pertimah....) Selanjutnya, “doa” dilanjutkan oleh sesepuh jemaat – bisa jadi Penatua, Diaken, Vikarist (dan mungkin Pendeta). Doa ini disampaikan secara Kristen.
Ini mengingatkan saya pada doa dan atau tembang yang dilantunkan Coolen dalam pengajaran moral-nya kepada penduduk Ngoro, “Gunung Semeru kang winarni tenger tanah pulo Jawi, tetepo anggen kawulo tetani, ing karemenane Sri-sesono kang warni pari. Ingkang ngideni Allah ingkang mohosuci, Iyo ilah a-ilelah Yesus Kristus Roh Allah” (Philip van Akkeren; 1994, 124). Ia juga melakukan hal yang sama dengan masyarakat Jawa-Kristen sekarang ini, yakni mencampur-adukan rumusan teologi antara kepercayaan Jawa dengan kekristenan. Sinkritisme-kah?  Atau justru yang dilakukan mereka adalah peng-kontekstual-an teologi? Tidak mudah memang untuk menjawabnya, karena jawaban yang dibutuhkan bukan sekedar YA atau TIDAK.  
Hal ini (sebenarnya) sangat berkaitan dengan kepercayaan pribumi sebelum agama-agama besar dunia merambah tanah Jawa, yakni “agama” animisme, dinamisme, dan kepercayaan pada roh orang mati. Bagi orang Jawa setiap benda (baik mati maupun hidup) mempunyai daya. Ada roh-roh atau tuhan yang menungguinya, yang biasanya disebut danyang. Nah, kepada danyang-danyang penunggu atau penguasa benda-benda itulah “doa-doa” ditujukan, termasuk uba-rampai kenduren: Apem untuk roh orang yang sudah meninggal, jenang abang dan jenang putih bagi danyang air dan tanah atau daratan. Pisang untuk mbok dewi Pertimah, dll.
Dalam doa kendurenan orang Jawa-Kristen dan contoh doa yang dibawakan Coolen, memang mengikuti tradisi yang ada. Padahal dalam iman Kristen doa hanya ditujukan kepada Tuhan saja, tidak kepada yang lain. Dilihat dari sini jelas yang mereka lakukan salah. Mereka tidak kritis terhadap budaya yang ada, tetapi yang patut dicermatri adalah adanya tambahan doa yang disampaikan “tua-tua jemaat”, yang melambangkan bahwa penguasa dari seluruhnya adalah Tuhan Yesus yang imani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, bahwa ada ilah-ilah lain selain Yahwe. Dan yang paling berkuasa adalah YAHWE.
Sebagaimana sudah disinggung (sedikit) diatas, bahwa kenduren dan atau selamatan yang dilakukan oleh orang Jawa-Kristen adalah buah dari uangkapan syukur atas keberhasilan yang diperoleh. Yakni tanah tempat mereka menanam mengasilkan buah dengan baik. Air yang dibutuhkan sebagai sumber penghidupan tersedia. Yang istimewa mereka terbebas dari hama, penyakit atau gangguan dari roh-roh yang diyakini penunggu tempat tersebut. Selanjutnya, memohon doa restu tidak hanya kepada sanak-saudara atau tetangga yang di undang kenduri,  tetapi juga kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal untuk memberkati keluarga atau pekerjaan selanjutnya.
Dan kenduren itu sendiri, menurut saya adalah rumusan teologi orang Jawa dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan. Itu artinya jika kita deal-kan secara kreatif dan inovatif dengan Injil, antara “konteks” kenduren dan “teks” tidak ada yang perlu dipermasalahkan sebagai sebuah pertentangan. Justru sebaliknya, harus diarahkan dan diberi makna Kristen seperti halnya upacara bodong suku Toraja.
Berangkat dari pengalaman tersebut, yang kemudian saya sebut pengalaman teologi   sebagai orang Jawa, kita harus tetap memelihara tradisi tersebut dengan tidak memandang sebelah mata atau menganggapnya sebagai yang kafir, tetapi diterima sebagai kasanah teologi Jawa.
Karenanya dalam menggagas teologi kontekstual (yang khas GKJW): teologi kenduri sebuah uji coba, yang perlu diperhatikan (paling tidak) adalah pertama, doktrin. Sebagai kelompok agama, memang perlu membangun kehidupan imaniah secara sistematis. Tetapi sangat penting kita memahami latar belakang munculnya sebuah doktrin atau ajaran. Bagaimana latar belakang sosial-budayanya, kondisi lingkungannya, zamannya, dll. Supaya kita tidak jatuh pada “terpenjara oleh doktrin”, tetapi lepas dari frame Alkitab. Alkitablah dasar utama kita merumuskan pemahaman teologi yang kemudian kita refleksikan dalam konteks tertentu.
Kedua, mengembangkan sikap pastoral kultur.  Sikap mau mengerti terhadap budaya setempat. Tidak serta-merta menolak atau meremehkan budaya yang ada lantaran tidak mengerti apa falsafah budaya atau adat-istiadat tersebut muncul. Dengan pastoral kultur dikembangkan sikap kristis terhadap apresiasi budaya yang dipertahankan, sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan penghayatan iman, entah menyangkut refleksi atau aksi iman.
Ketiga, mengembangkan sikap transformasi budaya (Richard Nieburh). Prinsip yang perlu dipegang adalah: bukan menerima atau menolak, tetapi menerima bagian tertentu dari budaya dan menolak bagian tertentu dari budaya. Karena memang tidak ada budaya Kristen, tetapi yang  ada adalah budaya setempat yang diwarnai iman Kristen. Sehingga dalam kaitannya dengan kenduren, bagaimana kita men-transformasi-kan budaya kenduren menjadi budaya yang bernafaskan iman Kristen. Sanggupkah anda????

Senin, 12 September 2011

Toleransi diri sendiri


Manusia biasanya sangat toleran dengan dirinya sendiri, sebaliknya dilain pihak ia menuntut untuk orang lain berlaku tertib dan berjalan sesuai tatanan moralitas yang ada. Ia lebih mudah memaafkan atau mengampuni diri sendiri, menganggap kesalahan yang dilakukannya sebagai sesuatu yang biasa, lumrah, la wong manungsa kadunungan luput. Tetapi dilain pihak, ketika ia melihat kesalahan orang lain, sekecil apapun kesalahanya tunggu dulu. Pasti orang itu akan dicap bueesar bersalah. Sebagai orang yang melanggar peraturan dan  tidak taat pada tatanan.

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...