MENGGALI
ULANG TEOLOGI GKJW:
Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Oleh Pdt. Imanuel Teguh Harisantoso, S.Si)
Pembahasan mengenai teologi gereja mau tak mau harus
diawali dengan pengakuan tentang adanya suatu krisis yang sedang terjadi, baik
dalam pemahaman konsep ber-teologi – refleksi – maupun dalam pelaksanaannya –
aksi. Karena itu sebagai sebuah gereja sudah selayaknya kita mengkaji ulang
konsep teologi kita. Sudahkah GKJW selaku gereja yang tumbuh di Jawa Timur “membangun”
sebuah teologi kontekstual yang mampu menjawab perjumpaan iman dan kebudayaan
(baca juga: kebiasaan) setempat? Atau memang gereja (secara sengaja) menganggap
teologi barat yang selama ini mempengaruhi pola hidup bergereja di Jawa Timur –
GKJW khususnya – sebagai sebuah jawaban atas pergumulan dan persinggungan Injil
dan pengalaman?
Tulisan ini bukan bermaksud menjawab seluruh pergumulan
iman yang muncul dalam kehidupan berjemaat, tetapi merupakan rangsangan (kecil)
untuk menggelitik minat “pemikir-pemikir”
Kristen, secara khusus GKJW untuk menggumuli masalah teologi GKJW.
GKJW: Hidup dan Panggilannya
Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa GKJW, “sebagai
persekutuan orang percaya di dunia ini mengalami dan menghayati pergumulan
rangkap atau pergumulan yang bersisi-dua. Sisi yang satu adalah pergumulan
dengan Tuhan Allahnya (vertikal) dan sisi yang satu lagi adalah pergumulan
dengan masyarakat dan dunia dimana gereja itu ada dan hidup (horisontal)”, (Tata dan Pranata GKJW; 1996, iii-iv). Artinya
gereja semakin menyadari bahwa hidupnya merupakan suatu gejala sosiologis dari
keseluruhan tata hidup masyarakat majemuk. Dalam keseluruhan – realita hidup
bermasyarakat – itulah gereja dipanggil untuk menempatkan hidup dan
panggilannya. Dalam Tata Gereja (1996), “Greja Kristen Jawi Wetan dipanggil oleh
Tuhan Allah untuk ikut serta melaksanakan rencana karyaNya di dunia ini (Jawa
Timur?, pasal 2). Juga bertanggung jawab atas permberlakuan kasih, kebenaran,
keadilan, dan damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara”, (pasal 4).
Dalam menempatkan hidup dan panggilannya sebagai teman
sekerja Allah di dunia, gereja (GKJW) tidak boleh menjadi gereja yang stagnan dan mandeg, melainkan harus
tetap berkarya (baca: bertumbuh) “sesuai” dengan perkembangan dunianya.
GKJW selaku bagian dari Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di
Indonesia – bahkan dunia – harus mampu menunjukan perannya sebagai pengemban suara kenabian, guna mewartakan
dan mewujudnyatakan kedamaian, keadilan dan kasih secara terus menerus. Gereja
tidak diam, menutup mata dan telinga
terhadap gejala-gejala sosial yang mengarah pada budaya individualisme dan hendonisme.
Tidak apatis tetapi secara aktif, kreatif dan inovatif dalam keterlibatan dan
sumbang-sihnya bagi pertumbuhan bangsa dan kelestarian budaya.
Selanjutnya, gereja juga harus memainkan peran sebagai seorang “pastor” (peran pastoral) di tengah situasi dan
kondisi bangsa yang carut-marut. Ia mendampingi (pastoral care) masyarakat yang tidak terbatas pada umat (GKJW) dan
bukan umat, tetapi dengan tulus, iklas mencurahkan perhatian bagi “kesembuhan” tata
sosial – yang sudah mulai meninggalkan budaya ke-timur-an – saat ini.
Yang terutama adalah gereja harus mampu menghadirkan citra Sang Khalik dalam hidup dan panggilannya
di dunia. Gereja, baik atas nama pribadi (makna teologis ekklesia) maupun umat (institusi) “menjadikan” dirinya sebagai
“Kristus” yang hadir dalam setiap situasi. Ubi
Christus ibi ecclesia, dimana ada Kristus disitu ada gereja dan sebaliknya,
ibi ecclesia ubi Christus.
Menggagas Teologi Kontekstual: Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Sebelumnya, kita mesti memahami apa teologi itu? Teologi adalah sebuah penghayatan iman Kristen (yang
muncul) pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dan asumsi dasar dari teologi
kontekstual disini, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan
Firman-Nya, Allah yang hadir dalam Rupa Manusia Yesus adalah Allah yang
menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa sejarah umat manusia. Artinya, bahwa
teologi harus memperhatikan tradisi yang ada. Karena tradisi adalah sumber kasaksian
tentang upaya umat Kristen untuk mencari penyataan Allah dalam pengalaman
praksis manusia dan memahami kehendak Allah di sepanjang zaman.
Teologi kontekstual adalah teologi yang fungsional.
Teologi yang terasing dari konteksnya ia berada di “awang-awang”, tidak membumi dan tidak akan mampu berfungsi menjawab
pergumulan yang ada. Teologi yang fungsional (baca: berfungsi) adalah teologi
mengenai kehidupan. “A living theology is
a theology of life.” Ia mengalami
perkembangan – lestari – “sesuai” dengan
kondisi zamannya. Teologi kontekstual
merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif dan
eksistensial antara “teks” dan “konteks”; antara “kerygma” dan kenyataan hidup
yang kontekstual.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara mempertemukan kabar
kesukaan dalam Alkitab dengan kehidupan praksis dan atau menemukan core
Injil dalam budaya setempat? Tradisi kenduri,
misalnya. Pengalaman penulis berjemaat di GKJW selama ini, menjumpai tradisi
kenduri (baca juga: kenduren atau selamatan) dalam jemaat meskipun tidak
sedikit yang “dibalut” dengan kata “syukuran”. Kebiasaan (baca: adat)
masyarakat Jawa yang beragama Kristen, baik yang berdomisili di kota, terlebih di
pedesaan selalu mengadakan kenduri dalam
peristiwa-peristiwa tertentu sebagai tenger
(peringatan). Sejak seorang ibu hamil (pitonan=7
bulan), melahirkan (brokohan, pasaran, selapanan, tedak siti, ulang tahun) sampai dengan “peringatan” peristiwa
kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100
hari, 1000 hari, bahkan pendhak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, dst.). Setiap peristiwa tersebut selalu diwarnai
dengan kenduri, selamatan untuk
memohonkan berkat dan doa restu bagi yang bersangkutan (yang di selameti) dan
juga kirim doa bagi orang yang sudah
meninggal.
Yang menarik (bagi penulis ketika menjalani masa vikariat di
Jemaat Bedali) adalah yang mengadakan kenduri
tidak sedikit anggota Majelis Jemaat (yang notabene Penatua atau Diaken). Tidak
hanya itu, bahkan “doa” kenduri
dibawakan dalam dua versi. Pertama, disampaikan
oleh “tetua adat”. Biasanya “pendoa” menguraikan doanya sesuai dengan uba-rampai sajian kenduri. Apapun jenis
hidangan sesajen “diterangkan”
artinya dalam doa, misal (kurang-lebih demikian), “skol suci lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para
sakabatIpun (kalau muslim, ditujukan kepada Muhammad Rasululah), pisang ayu kangge mbok dewi Pertimah....)
Selanjutnya, “doa” dilanjutkan oleh sesepuh jemaat – bisa jadi Penatua,
Diaken, Vikarist (dan mungkin Pendeta). Doa ini disampaikan secara Kristen.
Ini mengingatkan saya pada doa dan atau tembang yang
dilantunkan Coolen dalam pengajaran moral-nya kepada penduduk Ngoro, “Gunung Semeru kang winarni tenger tanah pulo
Jawi, tetepo anggen kawulo tetani, ing karemenane Sri-sesono kang warni pari.
Ingkang ngideni Allah ingkang mohosuci, Iyo ilah a-ilelah Yesus Kristus Roh
Allah” (Philip van Akkeren; 1994, 124). Ia juga melakukan hal yang sama
dengan masyarakat Jawa-Kristen sekarang ini, yakni mencampur-adukan rumusan
teologi antara kepercayaan Jawa dengan kekristenan. Sinkritisme-kah? Atau justru yang dilakukan mereka adalah peng-kontekstual-an
teologi? Tidak mudah memang untuk menjawabnya, karena jawaban yang dibutuhkan
bukan sekedar YA atau TIDAK.
Hal ini (sebenarnya) sangat berkaitan dengan kepercayaan pribumi
sebelum agama-agama besar dunia merambah tanah Jawa, yakni “agama” animisme, dinamisme, dan kepercayaan
pada roh orang mati. Bagi orang Jawa
setiap benda (baik mati maupun hidup) mempunyai daya. Ada
roh-roh atau tuhan yang menungguinya, yang biasanya disebut danyang. Nah, kepada danyang-danyang penunggu atau penguasa benda-benda
itulah “doa-doa” ditujukan, termasuk uba-rampai
kenduren: Apem untuk roh orang yang
sudah meninggal, jenang abang dan jenang putih bagi danyang air dan tanah atau daratan. Pisang untuk mbok dewi Pertimah,
dll.
Dalam doa kendurenan
orang Jawa-Kristen dan contoh doa yang dibawakan Coolen, memang mengikuti
tradisi yang ada. Padahal dalam iman Kristen doa hanya ditujukan kepada Tuhan
saja, tidak kepada yang lain. Dilihat dari sini jelas yang mereka lakukan
salah. Mereka tidak kritis terhadap budaya yang ada, tetapi yang patut
dicermatri adalah adanya tambahan doa yang disampaikan “tua-tua jemaat”, yang
melambangkan bahwa penguasa dari seluruhnya adalah Tuhan Yesus yang imani. Hal
ini tidak jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, bahwa ada ilah-ilah lain selain
Yahwe. Dan yang paling berkuasa adalah YAHWE.
Sebagaimana sudah disinggung (sedikit) diatas, bahwa
kenduren dan atau selamatan yang dilakukan oleh orang Jawa-Kristen adalah buah dari uangkapan syukur atas keberhasilan
yang diperoleh. Yakni tanah tempat mereka
menanam mengasilkan buah dengan baik. Air yang dibutuhkan sebagai sumber
penghidupan tersedia. Yang istimewa mereka terbebas dari hama, penyakit atau gangguan dari roh-roh
yang diyakini penunggu tempat tersebut. Selanjutnya,
memohon doa restu tidak hanya kepada sanak-saudara atau tetangga yang di undang
kenduri, tetapi juga kepada roh nenek
moyang yang sudah meninggal untuk memberkati keluarga atau pekerjaan selanjutnya.
Dan kenduren itu sendiri, menurut saya
adalah rumusan teologi orang Jawa dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan.
Itu artinya jika kita deal-kan secara
kreatif dan inovatif dengan Injil, antara “konteks” kenduren dan “teks” tidak ada yang perlu dipermasalahkan sebagai sebuah
pertentangan. Justru sebaliknya, harus diarahkan dan diberi makna Kristen
seperti halnya upacara bodong suku
Toraja.
Berangkat dari pengalaman tersebut, yang kemudian saya
sebut pengalaman teologi sebagai
orang Jawa, kita harus tetap memelihara tradisi tersebut dengan tidak
memandang sebelah mata atau menganggapnya sebagai yang kafir, tetapi diterima
sebagai kasanah teologi Jawa.
Karenanya dalam menggagas teologi kontekstual (yang khas
GKJW): teologi kenduri sebuah uji coba,
yang perlu diperhatikan (paling tidak) adalah pertama, doktrin. Sebagai
kelompok agama, memang perlu membangun kehidupan imaniah secara sistematis. Tetapi
sangat penting kita memahami latar belakang munculnya sebuah doktrin atau
ajaran. Bagaimana latar belakang sosial-budayanya, kondisi lingkungannya,
zamannya, dll. Supaya kita tidak jatuh pada “terpenjara oleh doktrin”, tetapi
lepas dari frame Alkitab. Alkitablah dasar utama kita merumuskan pemahaman
teologi yang kemudian kita refleksikan dalam konteks tertentu.
Kedua,
mengembangkan sikap pastoral kultur.
Sikap mau mengerti terhadap budaya
setempat. Tidak serta-merta menolak atau meremehkan budaya yang ada lantaran
tidak mengerti apa falsafah budaya atau adat-istiadat tersebut muncul. Dengan
pastoral kultur dikembangkan sikap kristis terhadap apresiasi budaya yang
dipertahankan, sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan penghayatan
iman, entah menyangkut refleksi atau aksi iman.
Ketiga,
mengembangkan sikap transformasi budaya (Richard
Nieburh). Prinsip yang perlu dipegang adalah: bukan menerima atau menolak,
tetapi menerima bagian tertentu dari budaya dan menolak bagian tertentu dari
budaya. Karena memang tidak ada budaya Kristen, tetapi yang ada adalah budaya setempat yang diwarnai iman
Kristen. Sehingga dalam kaitannya dengan kenduren,
bagaimana kita men-transformasi-kan budaya kenduren menjadi budaya yang
bernafaskan iman Kristen. Sanggupkah anda????