GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Minggu, 18 September 2011

PROGRAM JEMAAT: Mau dibawa Kemana GKJW-ku????


PROGRAM JEMAAT
Mau Dibawa Kemana GKJW-ku?


Salam pembaharuan!!!!

Munculnya Program Jemaat (Projem) tentunya sudah melalui pemikiran, pergumulan, perbincangan dan diskusi yang serius. Sekilas dari uraian DUTA (edisi tiga 2008) Projem tampak begitu bagus dan menawan. Inovatif, kreatif dan memacu semangat setiap jemaat untuk mengembangkan potensi diri se-optimal mungkin. Apalagi ia dianggap sebagai alternatif atau jalan keluar dari kebuntuan (kalau tidak boleh disebut kegagalan) sebuah perencanaan yang disebut Program Wilayah (Prowil) yang oleh Komperlitbang MA tidak mampu menjawab real need  warga jemaat. Dengan ber-Projem, jemaat diharapkan dapat mengaktualisasikan pelayanannya menjadi lebih terarah, berkesinambungan dan sistematis.
Melihat tujuan yang mulia dari Projem, ideal memang, tetapi pertanyaannya:? Apakah pemahaman tentang Projem sudah tepat dan benar seperti yang dimasud oleh penggagas? apakah seluruh perangkatnya sudah disiapkan dan siap? Dan pemberlakuan Projem, apakah sejalan dengan ‘sistem pemerintahan’ yang berlaku di GKJW? Ini penting sebelum seluruh komponen dan elemen GKJW  mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan pelayanan untuk sebuah Projem.


Projem atau PKP dulu?
Menyimak arahan Komperlitbang MA yang disampaikan oleh Thomas Supriyanto (dalam Program Jemaat sebuah pengantar; DUTA edisi tiga 2008),Projem disusun dengan tetap mengacu pada visi dan misi GKJW, PRKP dan PKP. Projem merupakan salah satu bahan penyusunan PKP V (2011-2016) yang segera akan disusun pada tahun 2009-2008 ini”. Menurut saya ada yang perlu diluruskan dan diperdebatkan kembali sistem per-PKT-an di GKJW. Benar memang scara yuridis formal pembentukan dan penyusunan Projem telah ditetapkan dalam Sidang MA ke-96/2005 di Jemaat Sambirejo, sebagai acuan penyusunan PKP V (2011-2016), yang akan disusun tahun 2008-2009. Itu artinya Projem yang akan disusun oleh jemaat se-GKJW akan dirasum menjadi sebuah PKP  dan sekaligus hadirnya PKP akan menjadi rel pemberlakuan Projem (baca: PKT). Mungkinkah demikian?
GKJW dengan sistem oriented program-nya telah menjadikan pelayanannya terprogram, terarah dan sistematis. Apalagi hal tersebut didukung oleh “perangkat-perangkatnya” yang berjalan pada relnya masing-masing. Aras Majelis Agung berposisi sebagai pengambil kebijakan (strategis): menentukan arah dan tujuan (visi-misi) GKJW yang terangkum dalam setiap produck-produck hukumnya (misal: PKP). Arah dan tujuan pelayanan GKJW kemudian dijemaatkan, diterjemahkan ditingkat local oleh jemaat-jemaat se-GKJW (tataran operasional), yang disesuaikan dengan kondisi jemaat masing-masing dengan koordinasi Majelis Daerah (koordinatif).
Munculnya tema dalam setiap PKP pastilah tidak lepas dari peran serta Jemaat dan Daerah melalui laporan-laporan dan usulan-usulan sidang. Tim perumus PKP ataupun Komperlitbang MA sudah tentu juga mengakomodir dari berbagai masukan dan pergumulan real yang terjadi, baik local jemaat, situasi-kondisi yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat dan (mungkin juga) negara.  PKP yang telah terbentuk itulah kemudian menjadi arah kebijakan Majelis Agung  yang (harus) dilakukan oleh Jemaat-jemaat se-GKJW. Itu artinya Program Kegitan Pembangunan (PKP) terbit dulu, baru kemudian Program Kegiatan Tahunan (baca:Projem Tahunan).
Sesuai dengan arahan Komperlitbang MA (dalam Program Jemaat sebuah pengantar; DUTA edisi tiga 2008), Projem adalah Program Kegiatan Jemaat jangka menengah, yang diharapkan dalam penyusunanya tidak ada keterputusan antara tahun pertama dengan berikutnya. Sehingga baik program maupun kegiatan dilakukan secara berkesinambungan (kontinuitas). Tetapi kalau diperhatikan dengan cermat penyusunan PKT di Jemaat-jemaat sebenarnya sudah mengarah kesana. Mengapa? Karena PKT yang disusun oleh jemaat semua berdasar pada PKP yang notabene berlaku selama 6 tahun. Contoh: PKT tahun 2005 di jemaat, itu disusun berdasar PKP IV: Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi semua orang. Dan itupun dilakukan secara berkesinambungan dalam PKT-PKT selanjutnya dengan “roh” yang sama, yaitu PKP IV. Maaf, sehingga agak berlebihan kalau menganggap nantinya Projem akan lebih terarah dan sistematis daripada PKT. Apa iya?
Sekilas PKT (dalam satu PKP) dan Projem tidak jauh berbeda, alias sama. Lha kalau yang normatif itu strategis diacu operasional (dan koordinatif), ini mau dibalik Projem) diacu PKP, apa sudah tepat??
Hal diatas seakan-akan menjadi sungsang. Mengapa demikian? Komperlitbang MA menganjurkan Jemaat segera menyusun Program (dalam jangka waktu enam tahun kedepan) yang disebut Projem dan dari seluruh Projem se-GKJW akan dipakai sebagai bahan acuan penyusunan PKP. Apa tidak keblinger...? Setiap Jemaat tentunya memiliki arah dan kebijakan “roda pemerintahan” yang berbeda: stressing program, teologi, warna, dll., karenanya dikawatirkan terbitnya Projem tanpa “jalur hukum” PKP akan memunculkan Projem-projem “liar”.  Tidak menutup kemungkinan justru tim perumus PKP V (2011-2016) akan mengalami kesulitan merangkum seluruh Projem se-GKJW menjadi tema PKP yang baru.
Menurut hemat saya kalau toh Komperlitbang MA mengusulkan dibentuknya Projem, apalagi sudah di dok dipersidangan elit MA, OK. Tetapi hal itu harus ada rel yang jelas; tidak cukup hanya visi-misi GKJW dan PRKP. Perangkatnya harus lengkap, artinya PKP harus sudah terbit, sebelum terbitnya Projem. Mengapa? PKP adalah arah dan kebijakan GKJW enam tahunan, yang dijemaatkan melalui PKT (baca:  dan juga Projem). Kalau Projem  disusun untuk kepentingan sebagai acuan penyusunan PKP itu artinya Projem terbentuk tanpa payung tema PKP, tanpa arahan yang jelas dari Majelis Agung, dan (mungkin) tanpa semangat Patunggilan Kang Nyawiji. Apakah sistem pemerintahan GKJW sudah berubah?
Organization Chart
chart 1

Sistem Evaluasi Program (PKP-PKT) Yang Tepat
Sejak GKJW ber-PKT sampai dengan sekarang (mohon maaf kalau salah) sistem evaluasi secara konkrit belum nampak dari program-program yang telah disusun, baik ditingkat MA, MD, maupun MJ. Sejauh mana keberhasilan dan kegagalan kita dalam ber-PKT-PKP belum dapat diukur dengan jelas. Ini akan nampak dalam persidangan-persidangan di lingkup pelayanan GKJW. Majelis hanya disibukan dengan mengkritisi biaya operasional program: terlalu besar kek, pembengkakan kek, dll; dan berapa jumlah program dalam satu komisi: berjalan berapa dan tidak berapa, mengapa demikian? Evaluasi memang dilakukan, tetapi masih bersifat parcial, per komisi dan per mata program. Belum secara keseluruhan per PKT artinya tahunan atau per PKP selama berlangsungnya PKP.
Kalau toh dilakukan evaluasi secara menyeluruh, itu tetap akan mengalami kesulitan karena perangkatnya belum tersedia. Belum adanya tolak ukur yang diterbitkan oleh MA GKJW untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam berprogram. Yang dievaluasi jelas, tetapi mana faktor ukur dan pembandingnya sehingga sebuah program dikatakan berhasil atau gagal. Apa ukuran keberhasilan dan apa ukuran kegagalan sebuah program atau katakan PKT-PKP? Indikator yang menggambarkan sebuah program berhasil atau tidak harus ada supaya kita mengerti sejauh mana telah melaksanakan program dengan baik dan berhasil.
Contoh: pelaksanaan PKP IV (2005-2010), dengan tema: “Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi semua orang” di Jemaat Kududadi.
Untuk mengatakan pelaksanaan PKP diatas berhasil atau gagal dilaksankan di Jemaat Kududadi, harus ada indikator yang mampu mengukurnya, maka disusunlah indikator-indikatornya. Pelaksanaan PKP IV dikatakan berhasil jika:

  1. Tingkat konflik rumah tangga di jemaat kurang dari 10 % dari jumlah keseluruhan kepala keluarga.
  2. Tidak adanya perselingkuhan dan perceraian dalam keluarga.
  3. Tidak terjadinya kehamilan diluar nikah.
  4. Terbentuknya Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau koperasi.
  5. Adanya penurunan tingkat pengangguran sebesar 50 %.
  6. Adanya kenaikan HR tenaga gereja.
  7. Terbentuknya hubungan antar gereja dan lintas umat beragama (KAUM).

Indikator diatas jelas dan bisa diukur. Dengan indikator diataslah kemudian Majelis Jemaat menilai sejauh mana tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam ber-PKP. Kalau ternyata selama tahun 2005-2010, berlakunya PKP IV, Jemaat Sidomulyo tidak mampu mencapai seperti apa yang dimaksud dalam indikator diatas berarti ia belum berhasil (jika tidak mau dibilang gagal).
Hal-hal seperti diatas itulah (menurut saya) yang perlu dilakukan oleh Majelis melalui Komperlitbang atau tim perumus sebagai sebuah refleksi atas pemberlakuan program-programnya.

Refleksi Pelayanan Pastoral PKP-PKT
Tentunya semua setuju jika setelah merampungkan pelayanan dilakukan sebuah perenungan atau refleksi atasnya. Karenanya setiap pelaku dan penyelenggara baik PKT maupun PKP, di setiap lingkup kemajelisan (MJ, MD, dan MA) ambilah waktu untuk diam sejenak. Merenungkan atas segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah pelayanan. Kita mengevaluasi diri: Sudahkah program yang dijalankan sesuai dengan tema kerja? Apakah sasaran kegiatan sudah tepat?  Dan apakah program yang dijalankan merupakan jawaban atas kebutuhan warga atau hanya keinginan komisi? Ada (aksi)  pelayanan pastoral, ada refleksi pelayanan pastoral. Heeeh... tah???




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...