PROGRAM
JEMAAT
Mau
Dibawa Kemana GKJW-ku?
![]() |
Salam pembaharuan!!!! |
Munculnya Program Jemaat (Projem)
tentunya sudah melalui pemikiran, pergumulan, perbincangan dan diskusi yang serius.
Sekilas dari uraian DUTA (edisi tiga 2008) Projem tampak begitu bagus dan
menawan. Inovatif, kreatif dan memacu semangat setiap jemaat untuk
mengembangkan potensi diri se-optimal mungkin. Apalagi ia dianggap sebagai
alternatif atau jalan keluar dari kebuntuan (kalau tidak boleh disebut
kegagalan) sebuah perencanaan yang disebut Program
Wilayah (Prowil) yang oleh Komperlitbang MA tidak mampu menjawab real need warga jemaat. Dengan ber-Projem, jemaat
diharapkan dapat mengaktualisasikan pelayanannya menjadi lebih terarah, berkesinambungan
dan sistematis.
Melihat tujuan yang mulia dari Projem, ideal memang, tetapi
pertanyaannya:? Apakah pemahaman tentang Projem sudah tepat dan benar seperti yang
dimasud oleh penggagas? apakah seluruh perangkatnya sudah disiapkan dan siap? Dan
pemberlakuan Projem, apakah sejalan dengan ‘sistem pemerintahan’ yang berlaku
di GKJW? Ini penting sebelum seluruh komponen dan elemen GKJW mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan
pelayanan untuk sebuah Projem.
Projem atau PKP dulu?
Menyimak arahan Komperlitbang MA yang disampaikan oleh Thomas
Supriyanto (dalam Program Jemaat sebuah
pengantar; DUTA edisi tiga 2008), “Projem
disusun dengan tetap mengacu pada visi dan misi GKJW, PRKP dan PKP. Projem
merupakan salah satu bahan penyusunan PKP V (2011-2016) yang segera akan
disusun pada tahun 2009-2008 ini”. Menurut saya ada yang perlu diluruskan
dan diperdebatkan kembali sistem per-PKT-an di GKJW. Benar memang scara yuridis
formal pembentukan dan penyusunan Projem telah ditetapkan dalam Sidang MA
ke-96/2005 di Jemaat Sambirejo, sebagai acuan penyusunan PKP V (2011-2016),
yang akan disusun tahun 2008-2009. Itu artinya Projem yang akan disusun oleh
jemaat se-GKJW akan dirasum menjadi
sebuah PKP dan sekaligus hadirnya PKP
akan menjadi rel pemberlakuan Projem (baca: PKT). Mungkinkah demikian?
GKJW dengan sistem oriented
program-nya telah menjadikan pelayanannya terprogram, terarah dan
sistematis. Apalagi hal tersebut didukung oleh “perangkat-perangkatnya” yang
berjalan pada relnya masing-masing. Aras Majelis Agung berposisi sebagai
pengambil kebijakan (strategis):
menentukan arah dan tujuan (visi-misi)
GKJW yang terangkum dalam setiap produck-produck hukumnya (misal: PKP). Arah
dan tujuan pelayanan GKJW kemudian dijemaatkan, diterjemahkan ditingkat local
oleh jemaat-jemaat se-GKJW (tataran operasional),
yang disesuaikan dengan kondisi jemaat masing-masing dengan koordinasi Majelis
Daerah (koordinatif).
Munculnya tema dalam setiap PKP pastilah tidak lepas dari peran serta
Jemaat dan Daerah melalui laporan-laporan dan usulan-usulan sidang. Tim perumus
PKP ataupun Komperlitbang MA sudah tentu juga mengakomodir dari berbagai
masukan dan pergumulan real yang terjadi, baik local jemaat, situasi-kondisi
yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat dan (mungkin juga) negara. PKP yang telah terbentuk itulah kemudian
menjadi arah kebijakan Majelis Agung yang (harus) dilakukan oleh Jemaat-jemaat
se-GKJW. Itu artinya Program Kegitan Pembangunan (PKP) terbit dulu, baru
kemudian Program Kegiatan Tahunan (baca:Projem Tahunan).
Sesuai dengan arahan Komperlitbang MA (dalam Program Jemaat sebuah pengantar; DUTA edisi tiga 2008), Projem
adalah Program Kegiatan Jemaat jangka menengah, yang diharapkan dalam
penyusunanya tidak ada keterputusan antara tahun pertama dengan berikutnya.
Sehingga baik program maupun kegiatan dilakukan secara berkesinambungan (kontinuitas). Tetapi kalau diperhatikan
dengan cermat penyusunan PKT di Jemaat-jemaat sebenarnya sudah mengarah kesana.
Mengapa? Karena PKT yang disusun oleh jemaat semua berdasar pada PKP yang
notabene berlaku selama 6 tahun. Contoh: PKT tahun 2005 di jemaat,
itu disusun berdasar PKP IV: Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi
semua orang. Dan itupun dilakukan secara berkesinambungan dalam PKT-PKT
selanjutnya dengan “roh” yang sama, yaitu PKP IV. Maaf, sehingga agak
berlebihan kalau menganggap nantinya Projem akan lebih terarah dan sistematis
daripada PKT. Apa iya?
Sekilas PKT (dalam satu PKP) dan Projem tidak jauh berbeda, alias
sama. Lha kalau yang normatif itu strategis
diacu operasional (dan
koordinatif), ini mau dibalik Projem) diacu PKP, apa sudah tepat??
Hal diatas seakan-akan menjadi sungsang.
Mengapa demikian? Komperlitbang MA menganjurkan Jemaat segera menyusun Program (dalam
jangka waktu enam tahun kedepan) yang disebut Projem dan dari seluruh Projem
se-GKJW akan dipakai sebagai bahan acuan penyusunan PKP. Apa tidak keblinger...? Setiap Jemaat tentunya memiliki arah dan
kebijakan “roda pemerintahan” yang berbeda: stressing
program, teologi, warna, dll., karenanya dikawatirkan terbitnya Projem
tanpa “jalur hukum” PKP akan memunculkan Projem-projem “liar”. Tidak menutup
kemungkinan justru tim perumus PKP V (2011-2016) akan mengalami kesulitan
merangkum seluruh Projem se-GKJW menjadi tema PKP yang baru.
Menurut hemat saya kalau toh Komperlitbang MA mengusulkan
dibentuknya Projem, apalagi sudah di dok dipersidangan elit MA, OK. Tetapi hal
itu harus ada rel yang jelas; tidak cukup hanya visi-misi GKJW dan PRKP.
Perangkatnya harus lengkap, artinya PKP harus sudah terbit, sebelum terbitnya
Projem. Mengapa? PKP adalah arah dan kebijakan GKJW enam tahunan, yang
dijemaatkan melalui PKT (baca: dan juga Projem).
Kalau Projem disusun untuk kepentingan
sebagai acuan penyusunan PKP itu artinya Projem terbentuk tanpa payung tema
PKP, tanpa arahan yang jelas dari Majelis Agung, dan (mungkin) tanpa semangat Patunggilan Kang Nyawiji. Apakah sistem
pemerintahan GKJW sudah berubah?
![]() |
chart 1 |
Sistem Evaluasi Program
(PKP-PKT) Yang Tepat
Sejak GKJW ber-PKT sampai dengan sekarang (mohon maaf kalau salah) sistem evaluasi secara konkrit belum nampak
dari program-program yang telah disusun, baik ditingkat MA, MD, maupun MJ. Sejauh
mana keberhasilan dan kegagalan kita dalam ber-PKT-PKP belum dapat diukur
dengan jelas. Ini akan nampak dalam persidangan-persidangan di lingkup
pelayanan GKJW. Majelis hanya disibukan dengan mengkritisi biaya operasional
program: terlalu besar kek, pembengkakan kek, dll; dan berapa jumlah program
dalam satu komisi: berjalan berapa dan tidak berapa, mengapa demikian? Evaluasi
memang dilakukan, tetapi masih bersifat parcial,
per komisi dan per mata program. Belum secara keseluruhan per PKT artinya tahunan
atau per PKP selama berlangsungnya PKP.
Kalau toh dilakukan evaluasi secara menyeluruh, itu tetap akan
mengalami kesulitan karena perangkatnya belum tersedia. Belum adanya tolak ukur
yang diterbitkan oleh MA GKJW untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan
kegagalan dalam berprogram. Yang dievaluasi jelas, tetapi mana faktor ukur dan
pembandingnya sehingga sebuah program dikatakan berhasil atau gagal. Apa ukuran
keberhasilan dan apa ukuran kegagalan sebuah program atau katakan PKT-PKP? Indikator
yang menggambarkan sebuah program berhasil atau tidak harus ada supaya kita
mengerti sejauh mana telah melaksanakan program dengan baik dan berhasil.
Contoh: pelaksanaan PKP IV (2005-2010), dengan tema: “Wujudkan Keluarga Allah yang menjadi Rahmat bagi semua orang” di Jemaat
Kududadi.
Untuk mengatakan
pelaksanaan PKP diatas berhasil atau gagal dilaksankan di Jemaat Kududadi, harus ada indikator yang mampu
mengukurnya, maka disusunlah indikator-indikatornya. Pelaksanaan PKP IV
dikatakan berhasil jika:
- Tingkat konflik rumah tangga di jemaat kurang dari 10 % dari jumlah keseluruhan kepala keluarga.
- Tidak adanya perselingkuhan dan perceraian dalam keluarga.
- Tidak terjadinya kehamilan diluar nikah.
- Terbentuknya Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau koperasi.
- Adanya penurunan tingkat pengangguran sebesar 50 %.
- Adanya kenaikan HR tenaga gereja.
- Terbentuknya hubungan antar gereja dan lintas umat beragama (KAUM).
Indikator diatas
jelas dan bisa diukur. Dengan indikator diataslah kemudian Majelis Jemaat
menilai sejauh mana tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam ber-PKP. Kalau
ternyata selama tahun 2005-2010, berlakunya PKP IV, Jemaat Sidomulyo tidak
mampu mencapai seperti apa yang dimaksud dalam indikator diatas berarti ia belum
berhasil (jika tidak mau dibilang gagal).
Hal-hal seperti diatas itulah (menurut saya) yang perlu dilakukan
oleh Majelis melalui Komperlitbang atau tim perumus sebagai sebuah refleksi
atas pemberlakuan program-programnya.
Refleksi Pelayanan Pastoral PKP-PKT
Tentunya semua setuju jika setelah merampungkan pelayanan dilakukan sebuah perenungan atau refleksi
atasnya. Karenanya setiap pelaku dan penyelenggara baik PKT maupun PKP, di
setiap lingkup kemajelisan (MJ, MD, dan MA) ambilah waktu untuk diam sejenak. Merenungkan
atas segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah pelayanan. Kita mengevaluasi
diri: Sudahkah program yang dijalankan sesuai dengan tema kerja? Apakah sasaran
kegiatan sudah tepat? Dan apakah program
yang dijalankan merupakan jawaban atas kebutuhan warga atau hanya keinginan komisi? Ada (aksi)
pelayanan pastoral, ada refleksi pelayanan pastoral. Heeeh... tah???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar