GKJW Pro

GKJW Pro
Majelis Jemaat GKJWPro

Kamis, 15 September 2011

MENGGALI ULANG TEOLOGI GKJW: Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba


MENGGALI ULANG TEOLOGI GKJW:
Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Oleh Pdt. Imanuel Teguh Harisantoso, S.Si)


Pembahasan mengenai teologi gereja mau tak mau harus diawali dengan pengakuan tentang adanya suatu krisis yang sedang terjadi, baik dalam pemahaman konsep ber-teologi – refleksi – maupun dalam pelaksanaannya – aksi. Karena itu sebagai sebuah gereja sudah selayaknya kita mengkaji ulang konsep teologi kita. Sudahkah GKJW selaku gereja yang tumbuh di Jawa Timur “membangun” sebuah teologi kontekstual yang mampu menjawab perjumpaan iman dan kebudayaan (baca juga: kebiasaan) setempat? Atau memang gereja (secara sengaja) menganggap teologi barat yang selama ini mempengaruhi pola hidup bergereja di Jawa Timur – GKJW khususnya – sebagai sebuah jawaban atas pergumulan dan persinggungan Injil dan pengalaman?
Tulisan ini bukan bermaksud menjawab seluruh pergumulan iman yang muncul dalam kehidupan berjemaat, tetapi merupakan rangsangan (kecil) untuk menggelitik minat  “pemikir-pemikir” Kristen, secara khusus GKJW untuk menggumuli masalah teologi GKJW.

GKJW: Hidup dan Panggilannya
Sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa GKJW, “sebagai persekutuan orang percaya di dunia ini mengalami dan menghayati pergumulan rangkap atau pergumulan yang bersisi-dua. Sisi yang satu adalah pergumulan dengan Tuhan Allahnya (vertikal) dan sisi yang satu lagi adalah pergumulan dengan masyarakat dan dunia dimana gereja itu ada dan hidup (horisontal)”, (Tata dan Pranata GKJW; 1996, iii-iv). Artinya gereja semakin menyadari bahwa hidupnya merupakan suatu gejala sosiologis dari keseluruhan tata hidup masyarakat majemuk. Dalam keseluruhan – realita hidup bermasyarakat – itulah gereja dipanggil untuk menempatkan hidup dan panggilannya. Dalam Tata Gereja (1996), “Greja Kristen Jawi Wetan dipanggil oleh Tuhan Allah untuk ikut serta melaksanakan rencana karyaNya di dunia ini (Jawa Timur?, pasal 2). Juga bertanggung jawab atas permberlakuan kasih, kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera bagi masyarakat, bangsa dan negara”, (pasal 4).
Dalam menempatkan hidup dan panggilannya sebagai teman sekerja Allah di dunia, gereja (GKJW) tidak boleh menjadi gereja yang stagnan dan mandeg, melainkan harus tetap berkarya (baca: bertumbuh) “sesuai” dengan perkembangan dunianya.
GKJW selaku bagian dari Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia – bahkan dunia – harus mampu menunjukan perannya sebagai pengemban suara kenabian, guna mewartakan dan mewujudnyatakan kedamaian, keadilan dan kasih secara terus menerus. Gereja tidak diam,  menutup mata dan telinga terhadap gejala-gejala sosial yang mengarah pada budaya individualisme dan hendonisme. Tidak apatis tetapi secara aktif, kreatif  dan inovatif dalam keterlibatan dan sumbang-sihnya bagi pertumbuhan bangsa dan kelestarian budaya.
Selanjutnya, gereja juga harus memainkan peran sebagai seorang “pastor” (peran pastoral) di tengah situasi dan kondisi bangsa yang carut-marut. Ia mendampingi (pastoral care) masyarakat yang tidak terbatas pada umat (GKJW) dan bukan umat, tetapi dengan tulus, iklas mencurahkan perhatian bagi “kesembuhan” tata sosial – yang sudah mulai meninggalkan budaya ke-timur-an – saat ini.
Yang terutama adalah gereja harus mampu menghadirkan citra Sang Khalik dalam hidup dan panggilannya di dunia. Gereja, baik atas nama pribadi (makna teologis ekklesia) maupun umat (institusi) “menjadikan” dirinya sebagai “Kristus” yang hadir dalam setiap situasi. Ubi Christus ibi ecclesia, dimana ada Kristus disitu ada gereja dan sebaliknya, ibi ecclesia ubi Christus.

Menggagas Teologi Kontekstual: Teologi Kenduri Sebuah Uji Coba
Sebelumnya, kita mesti memahami apa teologi itu? Teologi adalah sebuah penghayatan iman Kristen (yang muncul) pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dan asumsi dasar dari teologi kontekstual disini, bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan Firman-Nya, Allah yang hadir dalam Rupa Manusia Yesus adalah Allah yang menyatakan kehendak-Nya di sepanjang masa sejarah umat manusia. Artinya, bahwa teologi harus memperhatikan tradisi yang ada. Karena tradisi adalah sumber kasaksian tentang upaya umat Kristen untuk mencari penyataan Allah dalam pengalaman praksis manusia dan memahami kehendak Allah di sepanjang zaman.
Teologi kontekstual adalah teologi yang fungsional. Teologi yang terasing dari konteksnya ia berada di “awang-awang”, tidak membumi dan tidak akan mampu berfungsi menjawab pergumulan yang ada. Teologi yang fungsional (baca: berfungsi) adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life.”  Ia mengalami perkembangan – lestari –  “sesuai” dengan kondisi zamannya.  Teologi kontekstual merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif dan eksistensial antara “teks” dan “konteks”; antara “kerygma” dan kenyataan hidup yang kontekstual.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara mempertemukan kabar kesukaan dalam Alkitab dengan kehidupan praksis dan atau menemukan core Injil dalam budaya setempat? Tradisi kenduri, misalnya. Pengalaman penulis berjemaat di GKJW selama ini, menjumpai tradisi kenduri (baca juga: kenduren atau selamatan) dalam jemaat meskipun tidak sedikit yang “dibalut” dengan kata “syukuran”. Kebiasaan (baca: adat) masyarakat Jawa yang beragama Kristen, baik yang berdomisili di kota, terlebih di pedesaan selalu mengadakan kenduri dalam peristiwa-peristiwa tertentu sebagai tenger (peringatan). Sejak seorang ibu hamil (pitonan=7 bulan), melahirkan (brokohan, pasaran, selapanan, tedak siti, ulang tahun) sampai dengan “peringatan” peristiwa kematian (3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, bahkan pendhak 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun,  dst.).   Setiap peristiwa tersebut selalu diwarnai dengan kenduri, selamatan untuk memohonkan berkat dan doa restu bagi yang bersangkutan (yang di selameti) dan juga kirim doa bagi orang  yang sudah meninggal.
Yang menarik (bagi penulis ketika menjalani masa vikariat di Jemaat Bedali) adalah yang mengadakan kenduri tidak sedikit anggota Majelis Jemaat (yang notabene Penatua atau Diaken). Tidak hanya itu, bahkan “doa” kenduri dibawakan dalam dua versi. Pertama, disampaikan oleh “tetua adat”. Biasanya “pendoa” menguraikan doanya sesuai dengan uba-rampai sajian kenduri. Apapun jenis hidangan sesajen “diterangkan” artinya dalam doa, misal (kurang-lebih demikian), “skol suci lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para sakabatIpun (kalau muslim, ditujukan kepada Muhammad Rasululah), pisang ayu kangge mbok dewi Pertimah....) Selanjutnya, “doa” dilanjutkan oleh sesepuh jemaat – bisa jadi Penatua, Diaken, Vikarist (dan mungkin Pendeta). Doa ini disampaikan secara Kristen.
Ini mengingatkan saya pada doa dan atau tembang yang dilantunkan Coolen dalam pengajaran moral-nya kepada penduduk Ngoro, “Gunung Semeru kang winarni tenger tanah pulo Jawi, tetepo anggen kawulo tetani, ing karemenane Sri-sesono kang warni pari. Ingkang ngideni Allah ingkang mohosuci, Iyo ilah a-ilelah Yesus Kristus Roh Allah” (Philip van Akkeren; 1994, 124). Ia juga melakukan hal yang sama dengan masyarakat Jawa-Kristen sekarang ini, yakni mencampur-adukan rumusan teologi antara kepercayaan Jawa dengan kekristenan. Sinkritisme-kah?  Atau justru yang dilakukan mereka adalah peng-kontekstual-an teologi? Tidak mudah memang untuk menjawabnya, karena jawaban yang dibutuhkan bukan sekedar YA atau TIDAK.  
Hal ini (sebenarnya) sangat berkaitan dengan kepercayaan pribumi sebelum agama-agama besar dunia merambah tanah Jawa, yakni “agama” animisme, dinamisme, dan kepercayaan pada roh orang mati. Bagi orang Jawa setiap benda (baik mati maupun hidup) mempunyai daya. Ada roh-roh atau tuhan yang menungguinya, yang biasanya disebut danyang. Nah, kepada danyang-danyang penunggu atau penguasa benda-benda itulah “doa-doa” ditujukan, termasuk uba-rampai kenduren: Apem untuk roh orang yang sudah meninggal, jenang abang dan jenang putih bagi danyang air dan tanah atau daratan. Pisang untuk mbok dewi Pertimah, dll.
Dalam doa kendurenan orang Jawa-Kristen dan contoh doa yang dibawakan Coolen, memang mengikuti tradisi yang ada. Padahal dalam iman Kristen doa hanya ditujukan kepada Tuhan saja, tidak kepada yang lain. Dilihat dari sini jelas yang mereka lakukan salah. Mereka tidak kritis terhadap budaya yang ada, tetapi yang patut dicermatri adalah adanya tambahan doa yang disampaikan “tua-tua jemaat”, yang melambangkan bahwa penguasa dari seluruhnya adalah Tuhan Yesus yang imani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Perjanjian Lama, bahwa ada ilah-ilah lain selain Yahwe. Dan yang paling berkuasa adalah YAHWE.
Sebagaimana sudah disinggung (sedikit) diatas, bahwa kenduren dan atau selamatan yang dilakukan oleh orang Jawa-Kristen adalah buah dari uangkapan syukur atas keberhasilan yang diperoleh. Yakni tanah tempat mereka menanam mengasilkan buah dengan baik. Air yang dibutuhkan sebagai sumber penghidupan tersedia. Yang istimewa mereka terbebas dari hama, penyakit atau gangguan dari roh-roh yang diyakini penunggu tempat tersebut. Selanjutnya, memohon doa restu tidak hanya kepada sanak-saudara atau tetangga yang di undang kenduri,  tetapi juga kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal untuk memberkati keluarga atau pekerjaan selanjutnya.
Dan kenduren itu sendiri, menurut saya adalah rumusan teologi orang Jawa dalam menyikapi hubungannya dengan Tuhan. Itu artinya jika kita deal-kan secara kreatif dan inovatif dengan Injil, antara “konteks” kenduren dan “teks” tidak ada yang perlu dipermasalahkan sebagai sebuah pertentangan. Justru sebaliknya, harus diarahkan dan diberi makna Kristen seperti halnya upacara bodong suku Toraja.
Berangkat dari pengalaman tersebut, yang kemudian saya sebut pengalaman teologi   sebagai orang Jawa, kita harus tetap memelihara tradisi tersebut dengan tidak memandang sebelah mata atau menganggapnya sebagai yang kafir, tetapi diterima sebagai kasanah teologi Jawa.
Karenanya dalam menggagas teologi kontekstual (yang khas GKJW): teologi kenduri sebuah uji coba, yang perlu diperhatikan (paling tidak) adalah pertama, doktrin. Sebagai kelompok agama, memang perlu membangun kehidupan imaniah secara sistematis. Tetapi sangat penting kita memahami latar belakang munculnya sebuah doktrin atau ajaran. Bagaimana latar belakang sosial-budayanya, kondisi lingkungannya, zamannya, dll. Supaya kita tidak jatuh pada “terpenjara oleh doktrin”, tetapi lepas dari frame Alkitab. Alkitablah dasar utama kita merumuskan pemahaman teologi yang kemudian kita refleksikan dalam konteks tertentu.
Kedua, mengembangkan sikap pastoral kultur.  Sikap mau mengerti terhadap budaya setempat. Tidak serta-merta menolak atau meremehkan budaya yang ada lantaran tidak mengerti apa falsafah budaya atau adat-istiadat tersebut muncul. Dengan pastoral kultur dikembangkan sikap kristis terhadap apresiasi budaya yang dipertahankan, sehingga mampu memberikan sumbangan bagi pembinaan penghayatan iman, entah menyangkut refleksi atau aksi iman.
Ketiga, mengembangkan sikap transformasi budaya (Richard Nieburh). Prinsip yang perlu dipegang adalah: bukan menerima atau menolak, tetapi menerima bagian tertentu dari budaya dan menolak bagian tertentu dari budaya. Karena memang tidak ada budaya Kristen, tetapi yang  ada adalah budaya setempat yang diwarnai iman Kristen. Sehingga dalam kaitannya dengan kenduren, bagaimana kita men-transformasi-kan budaya kenduren menjadi budaya yang bernafaskan iman Kristen. Sanggupkah anda????

2 komentar:

  1. kulanuwun! Numpang bicara semoga berkenan.
    Hal kenduri, mengapa kita hindari? Tapi juga perlu waspada alias hati-hati, Alkitabiyah itu sungguh wigati.Jangan kita mengedepankan "skol suci lan ulam sari dipun tujukaken dhumateng nabi isa lan para sakabatIpun", kados ingkang boten trep bab punika, Mila badhe jumbuh menawi dipun maknani (katrangan)mekaten:
    1. Sekul tumpeng (gunungan): Maknani bilih etuking pitulungan kita pinangkanipun saking sawibing Allah ingkang maha luhur, komentari bla..bla...bla...
    2. Ingkung, saratipun kedah jaler, mulus, tanpa cacad: Lambang pakaryanipun Sang Kristus nebus dosaning manusa. Jaler, lambang pangwasa; mulus lambang ksucen; tanpa cacad lambang kasampurnan. Bla...bla..bla.. mang tambahi piyambak.
    3. Lawuh, jajan pasar sauba rampenipun: Lambang para bangsa ingkang sampun kacakup ing pakaryaning sang Kristus. Bla..bla.. bla...
    4. Tumpeng, ingkung sauba rampenipun padatan dipun wadhahi tampah (tenong). Tampah/tenong; lambang bumi (jagat) ingkang sampun winengku ing sih rahmatipun Allah.
    Dados jejeripun: G.Allah sampun damel slametan kangge kawilujenganipun manusa/ jagat. Sumangga sami kita tameni.
    Demikian sapala atur mugi wonten ginanipun, nuwun, GY mberkahi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nuwun dulur wiloso tambahannya. Yang saya maksudkan dalam tulisan diatas perihal "skol suci lan ulam sari" adalah pengalaman yg pernah terjadi. Biasanya pendoa dalam kenduren "tukang ujub" itu menyesuaikan dengan agama yang punya kajad. Kalau islam "ditujukan kepada muhamad" sdang kalau kristen "ditujukan kepada nabi isa", berangkat dr pengalaman tersebut maka perlu pendapingan kultur terhadap kenduren itu sendiri. Pastoral culture penting untuk memberikan pencerahan terhadap hubungan antara budaya dan iman.

      Hapus

ADVEN-NATAL DAN TEOLOGI DISABILITAS BAGI ANAK REMAJA[1]

  Imanuel Teguh Harisantoso [2] 1.      GKJW menyebut “ibadah adalah berhimpunnya warga untuk menghadap dan mewujudkan persekutuannya deng...